Rabu, 03 Juni 2015

My Mother

It's about my mother.
Ibuku bukanlah seorang ibu yang mungkin diharapkan oleh setiap anak. Ibuku orang yang arogan, tidak dewasa, kurang bersyukur, suka menyalahkan orang lain, egois, dominan, selalu ingin menang sendiri dan bukan seorang pemaaf. Semakin bertambah umur, semakin mengenal ibuku, aku semakin menyadari, ibuku bukan seorang ibu yang baik. Ibuku tidak pernah mengajarkanku bagaimana menjadi ibu rumah tangga yang baik, yang diajarkan padaku adalah bagaimana menjadi wanita yang mandiri tanpa tergantung pada laki-laki. Ibuku tidak pernah mengajarkanku bagaimana melakukan pekerjaan rumah tangga dengan baik, yang diajarkannya adalah bagaimana melakukan pekerjaan yang bisa menghasilkan uang. Sejak kecil aku terbiasa bekerja karena ibu. Aku mengalami masa kecil yang berat karena ibu. Tapi, semua itu berguna menjadikanku manusia yang kuat.

Sejak kecil aku tidak ingin menjadi seperti ibu. Ibuku bukan orang yang bahagia. Ibuku tidak menikmati hidupnya. Ibuku selalu berpikir bahwa hidupnya menderita dan tidak ada yang lebih menderita darinya di dunia ini. Ya, begitulah ibuku, tidak pernah bersyukur. Ibuku selalu ingin lebih. Diam-diam selalu ingin mengalahkan orang lain, memiliki lebih daripada orang lain. Tapi, ibuku pekerja keras. Hanya saja ibuku tidak pernah bahagia dalam kehidupan rumah tangganya sendiri. Ibuku yang membuatku menghabiskan masa kecil dengan menyesali kelahiranku sendiri. Karena ibuku, aku takut menjadi wanita dewasa yang seperti ibu.

Kalau saja ibuku sedikit lebih bersyukur, sedikit lebih menikmati hidupnya, sedikit lebih menghargai apapun miliknya, seharusnya ibuku menjadi wanita paling bahagia di dunia. Kadang kupikir ibuku jauh lebih menikmati hidupnya dalam masalah. Ibuku selalu bermasalah dengan bapak. Apa memang seperti itu orang dewasa? Setelah menikah bertahun-tahun justru kehidupan rumah tangganya semakin tegang, semakin renggang, selalu bergeriliya tanpa ada satupun yang mau melakukan gencatan senjata. Kupikir mereka sedang bosan. Karena itulah selama bertahun-tahun pula aku menyaksikan peperangan itu dalam diam, menjadi nonblock, tidak bisa memihak salah satu. Dan diam-diam pula aku hanya bisa menangis. Hatiku hancur lebur sampai sekarang pun.

Ibuku bukan orang yang mau mengalah, juga bukan orang yang mudah meminta maaf, apalagi memaafkan. Kadang kupikir, musuh terbesar ibuku dalah bapak. Setiap kali berperang, ibuku selalu menyebut-nyebut segala masalah yang sudah lewat bertahun-tahun lamanya, berulang-ulang, tidak ada habisnya. Aku sendiri sampai bosan. Tidak ada masalah baru. Semua hanyalah mengenai masalah lama yang belum kelar. Coba saja ibuku tidak lagi membahas hal-hal yang sudah lewat, seharusnya ibuku bisa menatap jauh ke depan. Seharusnya ibuku bisa tidak membebani dirinya dengan masalah masa lalu yang sudah tidak berarti lagi bagi bapak, dan bahkan bagiku. Seharusnya ibuku bisa kebih bahagia menjalani kehidupan rumah tangganya.

Sejak kecil aku selalu berpikir, jika kedua orang tuaku bercerai aku harus ikut siapa? Aku selalu sampai pada kesimpulan bahwa aku tidak ingin hidup dengan salah satunya. Daripada harus memilih salah satu, aku lebih baik tidak hidup bersama mereka. Begitu dewasa aku berpikir, kenapa orang tuaku tidak bercerai juga? Ibuku yang selalu menyebut kata 'cerai' ternyata tidak benar-benar berani melakukannya dan selalu menjadikan anak-anaknya sebagai alasan. Aku merasa bersalah. Karena keberadaanku, ibuku mengalami masa-masa yang tidak bahagia. Kalau saja aku tidak pernah ada, adik-adikku tidak pernah ada, apakah ibuku akan bercerai dari bapak? Apakah ibuku bisa bahagia?

Tampaknya, aku membawa beban penyesalan yang terlalu besar dalam hidupku. Tapi, semua itu justru membuatku belajar. Suatu hari nanti, kelak, saat ada seorang pria yang mau mencintaiku apa adanya, aku ingin menjadi seorang istri yang baik, aku ingin menjadi ibu yang baik bagi anak-anakku kelak, dan kalau aku tidak bahagaia dengan rumah tanggaku, aku ingin menyimpannya sendiri dan tidak menjadikan anak-anakku sebagai alasan untuk bertahan. Kuharap pria yang nantinya menjadi suamiku juga tidak menjadikan anak-anak sebagai alasan untuk mempertahankan rumah tangga. Anak-anak bukan pilar yang harus mempertahankan rumah yang sudah mau roboh.

Aku harap ibuku bisa lebih bersyukur dalam hidupnya.