Minggu, 02 Oktober 2016

Ketika Foto-foto Prewedding Muncul di Beranda Socmed

"Oh sial...I don't want to see this!"
Pikiran itu muncul begitu saja saat melihat ada foto prewedding atau foto pernikahan di beranda socmed Facebook. Ada perasaan iri, benci, dan tidak bisa bahagia melihatnya. Jangankan memberi komentar atau ucapan selamat, kalau bisa aku justru ingin menyembunyikan tampilan itu. Tidak ingin melihat bahkan tidak ingin membaca komentar, qoute dan segala macam tentang foto-foto itu. Aku benci. Kalau dilihat lebih lama, aku akan merasa semakin iri dan benci dan pada akhirnya aku akan menangis. Aku sudah berhenti mengharapkan moment bahagia seperti itu. Entah kemana perginya pikiran positif 6-8 bulan yang lalu, saat ini aku sudah tidak bisa merasakannya lagi, tidak bisa kupikirkan lagi. Apa memang begini sensitif seorang perempuan lajang yang akan menginjak usia 30th? Yang sudah bosan dengan pertanyaan "Kapan nikah?", yang sudah bosan mendengar orang tua memberi alasan ke orang lain "Belum ada niat nikah mungkin.." He to the loooooo.... Gak bisa diem ya... Dipikirnya aku batu. Dipikirnya aku tidak sakit hati. Kalau bisa aku ingin sekali berteriak, menyuruh mereka diam. Diam! Gak usah tanya, gak usah komen, kamu semua gak ngerti apa-apa! 
Dipikirnya mudah di usia yang seharusnya sudah punya anak dua tapi masih  lajang mendapat pertanyaan semacam itu. Dipikirnya aku sesantai itu. Aku ingin sekali santai, tapi tekanan pertanyaan itu tidak bisa membuat santai, ditambah semakin banyaknya teman, kenalan, bahkan saudara yang sudah dan akan menikah. Dipikirnya mudah, memangnya mau menikah bisa tinggal ngomong saja?! Mikir! Memangnya yang menentukan menikah itu bisa satu orang? Heloowww... sudah cukup aku menjawab, "Tunggu saatnya." Sudah cukup becandaannya, sama sekali gak lucu! Aku bukan batu! Aku bisa sakit, aku bisa depresi. 
Kemana perginya pikiran positif 6-8 bulan yang lalu? Kemana perginya optimisme saat itu? Aku kecewa. Semua memberikan tekanan hebat padaku. Semakin berusaha menghindar semakin besar impact-nya padaku. Semakin lama hanya pikiran negatif yang muncul di benakku. "Bisa gak, gak nanyain soal itu? Memangnya kamu sudah bener ngurus diri sendiri? Jangan sok-sokan ngurus urusan orang!" Kurang lebih kalimat itu yang rasanya ingin aku lemparkan kepada orang-orang yang bertanya tanpa memikirkan perasaanku itu. Apa aku terlalu serius menanggapinya? Apa aku terlalu ambil hati? Meskipun kenyataannya aku hanya menjawabnya dengan senyum, masih berusaha sopan, sambil berusaha menyimpan perasaan terluka. 
Beberapa waktu yang lalu, saat pacar adikku mampir ke rumah, bapak dengan sengaja menanyainya, "Gimana, ada rencana menikah?" di hadapanku. Kalau saja aku tidak menjaga perasaan orang lain, kemungkinan besar aku dan bapak sudah bertengkar hebat mengenai sopan santun. "Kamu punya anak perempuan yang lebih tua yang belum menikah, apa maksudnya menanyai pacar anak kedua soal pernikahan? Aku gak masalah kalau memang mereka ingin menikah duluan, masalahnya yang ditanyai perempuan. Apa sih wewenang perempuan untuk menyatakan dia akan menikah atau tidak?! Memangnya yang akan melamar dia?!" Aku memendam kalimat itu di dalam hati. Tangan sudah mengepal karena geram. Rasanya benar-benar tidak ingin mendengar pertanyaan yang terucap tanpa ampun itu! Sudah ada begitu banyak hal yang membuatku membenci kedua orang tuaku, sekarang ditambah hal-hal semacam ini. Tolong jangan buat aku membenci kalian lebih dari ini. Cukup drama yang kalian tunjukkan selama ini, jangan tambah drama lagi. 
Sampai saat ini aku bahkan tidak tahu kapan aku akan menikah. Sudah berbagai macam alasan pernah kugunakan untuk menjawab pertanyaan mengenai pernikahan. Mulai dari pacar masih lanjut kuliah, pacar masih merintis karir, pacar lagi bangun rumah, belum dilamar, belum ada pembicaraan, belum ada planning. Dan aku benci mengatakan alasan itu berkali-kali. Lalu, aku hanya bisa menjawab dengan senyum. 
Di suatu waktu saat orang-orang tahu pacarku dari daerah yang jauh, mereka berkata, "Jangan cari yang jauh-jauh, yang deket-deket aja." Aku hanya menjawab dengan senyum. Beginilah akibat lidah tak bertulang, orang ngomong seenak jidatnya. Kalau aku tidak memperhitungkan perasaan orang lain, mungkin sudah aku skakmat kalimat mereka. "Kok kamu yang ngatur? Memangnya orang yang berasal dari dekat rumah bisa menjamin hidup lebih baik. Oke, aku memang tidak bisa menjamin pacarku bisa lebih baik, tapi tidak ada yang bisa memberi jaminan. Memangnya hidupmu sudah baik sekali sampai-sampai berani ngasi nasihat ke orang lain?!" Isi hatiku dibalik senyumku adalah seperti itu. Isinya pernyataan sinis, menghakimi. Masalahnya, aku kesal. Mungkin karena aku orang yang seperti ini makanya sampai saat ini aku tidak menikah. Aku menyadari betul dibalik sikap mengalah dan memikirkan perasaan orang lain ada sosok egois dalam diriku. Aku egois dengan tidak membiarkan orang lain, berpikir, berkata, berbuat melebihi hak-haknya terhadapku. Memangnya kamu siapa? Memangnya kamu yang memberiku makan? Memangnya kamu yang menghidupiku? Seenaknya saja kamu mengatur hidupku. Memangnya hidupmu sudah baik? Seenaknya memberi nasihat padaku.
Dan disini aku menangisi semua ini. Tidak mampu berbuat apa-apa, tidak mampu melakukan lebih, cenderung tanpa harapan. 

*Kalo aku hidup di dalam dunia Psycho-Pass, aku yakin koefisien kriminalku cukup tinggi untuk menjadi seorang kriminal laten*
Pasalnya, aku terlalu banyak menyimpan pikiran negatif di dalam kepalaku dan isi hatiku juga cenderung negatif, berisi cacian, makian, amarah, ditambah dengan kekecewaan dan kesedihan yang terpendam dan bertumpuk-tumpuk. Rasanya ini sudah menjadi sebuah penyakit.