Selasa, 26 Desember 2017

Itterasshai

Malam ini, 26 Desember 2017, aku, Gungmas, Gustu dan ajik nganterin Masa ke airport. Jam 11 malam ini dia akn berangkat ke Jepang selama dua minggu untuk memperbaharui visanya dan bertemu dengan keluarganya.
Entah apakah aku termasuk beruntung atau bagaimana. Seharian ini aku terus memikirkan kapan waktu yang tepat untuk memberitahunya perasaanku dan mendengarkan apa jawabannya. Saking galaunya aku merasa ingin menjedotkan kepalaku ke tembok dan aku memang benar-benar melakukannya meskipun tidak di tembok, tapi di pilar kayu yang ada di warung pinggiran pantai Kuta. Lol.

Seharian ini sosoknya terus bermunculan dalam benakku. Suaranya seolah-olah bisa kudengar. Mataku secara otomatis mencari sosoknya. Begini rasanya galau.

Besok akan kutuliskan detailnya agar suatu saat nanti aku tidak lupa. :)

Senin, 25 Desember 2017

Sitting Alone on the Sand at Kuta Beach

Hari ini, aku mencoba melakukan sebuah gerakan. Mengikuti Masa melakukan kegiatan membersihkan pantai Kuta. That's the plan. But, it was not going okay. Pada akhirnya aku bahkan tidak bisa menyapanya saat dia bekerja. Orang sepertiku yang pasif dan sulit mendekati orang rasanya apapun yang kulakukan tidak akan menghasilkan apa-apa. Usaha yang kulakukan sepertinya tidak berarti apa-apa. Aku tidak kemana-mana. Aku stuck di tempat yang sama lagi dan lagi. I want to do something about it but it seems like it also will not going well. Yameta to omoutta.
Ini kedua kalinya aku duduk sendirian di pantai Kuta. Di atas pasir yang terbilang putih. Dengan angin yang berhembus dengan kencang, cukup dingin hingga membuat bulu kudung merinding. Suara ombak yang berdebur bagaikan irama alat musik. Sepertinya aku harus bersiap-siap untuk masuk angin. Tapi, aku telah mempersiapkan obat. Selalu sedia payung sebelum hujan adalah salah satu motoku. Haha.

Pagi tadi hujan mengguyur cukup awet, kupikir seluruh Bali pasti sedang dilanda hujan. Seperti hujan di dalam hatiku. Ada badai disana yang kelihatannya tenang tapi sepertinya mematikan. Ada suara ombak disana yang meraung-raung seperti mengikuti terjangan angin yang menggebu-gebu. Rain in my heart. Munhkin prase itu cukup bagus untuk dijadikan sebuah judul novel. Ada yang mau memakainya, silakan.

Dalam dinginnya angin, aku masih bisa mendengar canda tawa pengunjung pantai. Dari tempatku duduk aku bisa melihat beberapa orang meluncurkan papan selancarnya di dalam air, menghadapi ombak. Ada juga wisatawan asing yang tengah berenang melawan dinginnya air dan angin. Aku saja yang hanya duduk menonton merasa begini dingin, bagaimana mereka?
Di sisi lain, ada penjaja makanan yang berjalan menyusuri pantai. Ada juga yang duduk menunggu seperti yang dilakukan Gustu dan Ajik di warung. Tak lupa, di hadapanku tertumpuk sampah kiriman yang entah datang darimana, baru saja dikumpulkan oleh petugas kebersihan secara gotong royong. Aku membantu sedikit meskipun tidak begitu berarti.

I wonder, is there someone noticing me? I'm not sure. Selain petugas kebersihan, sampai saat ini belum ada satu orang pun yang kuajak berbicara. Termasuk Masa. Padahal aku tadinya ingin mengamatinya dan mengambilkan video untuknya tapi seperti yang kukatakan tadi semua tidak berjalan dengan lancar. Kenapa aku seperti ini? Aku sendiri heran. Haha.

Hari ini, entah kenapa ada helikopter yang lewat beberapa kali di wilayah pantai ini. Helikopter merah yang tak bisa kulihat mereknya. Haha.

Kalau saja aplikasi blogger android bisa memposting foto, pasti sudah kutautkan banyak foto di tulisanku. Sayangnya, itu kekurangan terbesar aplikasi ini. Tapi, tak mengapa.

Catatan hari ini: di dunia ini ada banyak hal yang ingin kulakukan paling tidak satu kali dalam hidupku.

Bagaimana Aku Akan Melawan Alam Semesta?

Sebelumnya, Selamat Hari Natal :-*

Sayang sekali moment natal ini aku merasa sedikit lesu. Setelah akhirnya dengan doa dan usaha keras aku sampai di tempat ini, akhirnya aku harus menghadapi kenyataan bahwa mungkin aku hanya tak bisa melawan alam semesta.

Semalam aku bermimpi kehilangan anting-anting baik yang sebelah kiri maupun yang sebelah kanan. Artinya, aku kehilangan harapan, kehilangan kepercayaan terhadap diri sendiri dan orang lain yang bersifat khusus. Itu sebenarnya mimpi buruk yang menjadi nyata.
Aku memang telah menghadapi itu. Kehilangan harapan akan sesuatu. Seperti saat ini. Saat aku telah tiba disini, orang yang kuharapkan ternyata akan segera meninggalkan Bali. Jadi, waktu untuk bisa melihatnya hanya hari ini.
Aku merasa alam semesta sedang berusaha mengatakan padaku untuk berhenti. Segalanya berjalan dengan tidak normal, tidak sesuai harapan. Aku mungkin tidak sanggup menghadapinya dengan senyuman. Jadi, apa yang harus kulakukan?
Bagaimana aku akan melawan alam semesta?

Tapi, aku sudah bertekad bahwa ini akan menjadi yang terakhir. Aku mungkin tidak bisa berhenti dengan segera. Tentu harus ada waktu yang harus kujalani dan kulewati untuk bisa overcome terhadap apa akan terjadi. Intuisiku cukup kuat. Aku sepertinya menjadi lupa akan perasaan bahagia dan berdebar-debar yang kurasakan di jalan kemarin. Bagaimana senyum yang tak bisa kusembunyikan. Tak ada yang tahu gejolak macam apa yang ada di dalam dada ini. Aku kelewat bahagia dalam kesendirianku, tak bisa membagi dengan siapapun. Bila kubagi, mungkin ini akan terdengar konyol.
Saat ini yang bisa kurasakan hanyalah rasa sesak, sedih, kecewa, takut, semua perasaan negatif yang entah kenapa harus kusembunyikan dibalik senyuman. Aku harus tetap tersenyum agar tak ada yang tahu perasaan negatif ini. Lagipula aku juga tak mau membaginya dengan siapapun.

Aku juga bermimpi tentang Aris, mantan pacarku yang baru saja melangsungkan pernikahan. Dalam mimpiku dia mencariku yang sedang dalam kekecewaan dan memberikan pilihan untuk kembali bersamanya. Karena perasaan kecewa yang sedang kurasakan akupun menerima ajakannya bahkan bermesraan dengannya.

Entah apa arti mimpi itu. Mungkin aku harus mencari informasi lainnya tentang mimpi.

Hari ini benar-benar sangat lesu. Seperti perekonomian pantai Kuta yang juga lesu. Mungkin selesu itu. Masa telah meninggalkan pantai Kuta yang tengah diguyur hujan. Aku datang dia pergi. Sepertinya alam semesta benar-benar ingin mengatakan sesuatu tentangku dan dia. Apakah itu berarti aku dan dia tidak bisa menjadi "kami" atau "kita"? Benar-benar sesak rasanya memikirkan hal ini. Dadaku sakit, tenggorokanku sakit, mataku terasa berair bahkan air mata itu tak tahan ingin meluap.

Tuhan, beri aku keajaiban Natal. :) 

Ini sebuah curahatan hati yang kuposting di ig.

Aku sudah membulatkan tekad ini,
Dengan seluruh daya dan upaya,
Usaha yang walaupun sangat kecil,
Doa yang seperti tanpa harap,
Bagaimana aku akan melawan alam semesta?

Meski kukeraskan hati,
Meski kukuatkan bathin,
Meski kusempurnakan raga,
Ada hal yang tak bisa diraih,
Saat tangan malaikat itu menyapaku,
Aku hanya bisa tersenyum,
Sampai tangan itu menjauh dariku,
Aku masih ingin tersenyum,
Bagaimana aku akan melawan alam semesta?
Saat ia mencoba memberitahuku untuk berhenti,
Bagaimana caraku tetap tersenyum?
Aku takut,
Mencoba mengakhiri dengan cara yang sempurna,
Bagaimana alam semesta memberikan jalannya?

Ada rasa yang harus dikubur,
Ada waktu yang harus dikenang,
Ada pendaran cahaya dari mata yang harus padam,
Ada tangan yang tak bisa berpegangan,
Tapi senyum harus tetap mengulum.
Bagaimana aku akan melawan alam semesta?

Kamis, 21 Desember 2017

Sebuah Tanggal Penting Yang Terlupakan

Tanggal 20 Desember 2006 adalah tanggal yang selama 10 tahun tak pernah absen dalam ingatan. Hari itu adalah hari kematian seseorang. Bagiku dia adalah sosok yang mungkin akan mapu membuatku meninggalkan segalanya demi dia. Bahkan bila dia masih hidup saat ini dan mau menerimaku, aku akan rela meninggalkan apa saja demi dia. Aku juga rela seandainya nyawaku bisa ditukar dengan nyawanya.
Dewa Putu Santiadi. Pemuda yang lahir tanggal 22 Januari 1987, umurnya lebih tua setahun satu hari dariku. Aku jatuh cinta padanya menjelang umurku yang ke 17.
Saat itu, 31 Desember 2004, secara tak terduga dia muncul di depan rumahku sambil tersenyum mengatakan bahwa dia adalah anak teman ibuku. Aku dan dia pernah menghabiskan masa kecil bersama, keluargaku dan keluarganya punya hubungan yang cukup dekat. Tapi, saat dia berumur 7 atau 8 tahun, dia dan keluarganya pindah, sehingga kami pun berpisah. Aku tidak begitu ingat keberadaannya tapi dia mengingatnya meskipun tidak begitu baik. Dia pemuda yang ramah, suka tersenyum, pandai bicara, suka mengungkapkan guyonan, senang membuat orang lain tertawa. Dari segi fisik, dia tinggi dengan rambut lurus. Dia benar-benar sosok pemuda idamanku waktu itu. Aku menggilainya. Kehidupan masa SMA-ku di pertengahan kelas 2 hingga kelas 3 kujalani dengan memikirkannya, mencoba lebih dekat dengannya. Aku rela mendatangi sekolahnya dengan alasan mengantar temanku yang punya pacar di sekolah yang sama. Aku juga rela mendatangi rumahnya yang terbilang jauh dari rumahku dengan alasan main ke Bendungan Palasari. Kalau dipikir-pikir, sampai saat ini pun ternyata caraku mendekati seseorang masih seklasik itu dan itu sangat lucu dan lugu. LOL.
Sebenarnya aku bukan tipe perempuan yang percaya pada adanya cinta pandangan pertama, tapi pada Dewatu sepertinya itu yang terjadi padaku. Aku menyukai semua yang ada pada dirinya. Sayangnya, perasaan itu tidak pernah tersampaikan. Aku bahkan tidak tau apa yang dia rasakan terhadapku. Sampai pada suatu siang bertepatan dengan tanggal hari ini, aku yang sedang menjadi suporter bagi temanku yang sedang lomba nyanyi mendapat telpon dari ibu yang mengabari tentang kematian Dewatu. Awalnya, aku tidak tahu detailnya. Aku pulang sesegera mungkin dan mendapati rumah kosong. Hanya ada nenek di rumah sebelah.
Aku menghampiri nenek yang kemudian memberitahuku bahwa kedua orang tuaku telah pergi ke rumah duka.
Aku hanya bisa menangis.
Kakiku lemah, seluruh tubuhku lemas. Sambil terus menangis aku berharap bahwa itu hanyalah mimpi buruk. Tapi sepertinya aku tidak pernah bangun dari mimpi buruk itu.
Sepulang dari rumah duka orang tuaku memberitahuku detail penyebab kematiannya, kecelakaan motor. Sore itu di tanggal 20 Desember 2006, Dewatu meminta ijin pada ibunya untuk membeli sepatu ke kota. Sepatu itu rencananya akan dia pakai untuk ikut tes kepolisian. Pada saat meminta ijin dia mengatakan hanya pergi sebentar. Menurut cerita, ketika dia sudah sampai di jalan raya, melaju dengan cukup kencang, sampai di sebuah tanjakan yang tidak begitu curam disertai tikungan dia mau menyalip kendaraan lain tapi dari arah berlawanan juga ada kendaraan sehingga dia pun akhirnya tertabrak. Selama beberapa tahun aku melewati tempat yang aku yakini sebagai lokasi kecelakaan itu selalu berhasil membuat perasaanku sedih dan menangis. Aku patah hati cukup lama, bahkan sampai hari ini pun kematiannya masih kutangisi. Padahal aku dan dia tidak memiliki ikatan spesial. Baginya mungkin aku hanyalah adik yang sudah lama tidak dia temui.
Aku ingat di malam setelah pengabenannya aku bermimpi dia dalam tubuh anak kecil memakai pakaian penari di dekat sebuah pura. Melalui mimpi itu, sepertinya dia ingin mengatakan bahwa dia mendapat tempat yang layak. Menurut kepercayaan orang Bali, setiap orang yang meninggal, ketika badan kasarnya telah kembali pada buana agung maka atma yang masih memiliki sifat-sifat awidya (roh) masih belum suci sepenuhnya, dipercaya masih berada di Pura dalem, berada dalam kerajaan para roh. Masing-masing roh itu akan melakukan pekerjaan disana. Dan pekerjaan yang cukup mulia dan dipandang terbagus adalah sebagai penari. Maka dari itu, aku senang dia mendapat tempat yang bagus, hanya saja aku akan lebih senang bila dia tetap hidup untuk waktu yang lebih lama. Wanti-wanti aku mengharapkan keajaiban. Dalam setiap doa, sambil menangis aku berkata, "Bagaimana pun caranya, aku ingin dia hidup, tukarkan dengan nyawaku. Keberadaannya di dunia jauh lebih berguna dibandingkan keberadaanku, kumohon Tuhan lakukan sesuatu." Padahal aku tahu, keajaiban itu hanya ada dalam film.
Hari ini tanggal 21 Desember 2017, berarti sudah 11 tahun 1 hari. Baru kali ini aku lupa hari peringatan kematian Dewatu. Tapi, tanpa sadar kemarin aku menyebut namanya, memintanya untuk membantuku mencarikan jodoh, mungkin lebih tepatnya membuat seseorang menjadi jodohku. LOL.
Karena memikirkan orang itu aku jadi lupa pada hari peringatan.
"Dewatu, buatlah Masa jadi jodohku!"
LOL

Sabtu, 02 Desember 2017

My Brother is Getting Married

Semuanya menjadi semakin jelas sekarang. Membenahi rumah adalah awal yang sudah kupikirkan sejak lama. "Ah, adikku sepertinya akan segera menikah". Aku sebagai kakak yang masih single, bahkan sedang tidak memiliki pasangan ini merasa lega. Sekitar setahun lalu aku mengusulkan hal tersebut kepadanya. "Silakan menikah duluan." Aku memberinya ijin.

Aku bukan menganut anti-mainstream, juga tidak terikat pada budaya ketimuran, bila adik menikah melangkahi sang kakak maka sang kakak akan sulit menikah, kalau itu benar-benar terjadi maka ya sudahlah, aku tidak usah menikah, meskipun aku sangat menginginkannya.

Sejak kecil, aku hidup dengan memikirkan masa depan. Sampai seberapa tinggi sekolahku, di umur berapa aku akan bekerja, berapa penghasilanku, apa yang akan kubeli dengan uang milikku sendiri, di umur berapa aku akan menikah, dengan orang yang seperti apa, apa pekerjaannya, berapa anak yang kuinginkan, apa jenis kelaminnya, rumah seperti apa yang ingin kutinggali, berapa jumlah kamar, seberapa besar garasinya, seperti apa tamannya, bagaimana aku akan menghabiskan masa tuaku, bahkan sampai bagaimana aku akan mati. Aku sudah memikirkan semua itu sejak SD meskipun tentu saja dengan gaya pemikiran alay, tidak seperti saat ini.

Dulu, entah kenapa memikirkan masa depan begitu mulus, seolah jalannya begitu licin hingga mudah dilewati. Sekarang, segalanya berjalan serba lambat. Bukan waktu, tapi aku yang melangkah dengan sangat lambat, terlalu berhati-hati, terlalu waspada, selalu was-was, setiap saat merasa awas. Aku tidak bisa mengimbangi kecepatan waktu. Tahu-tahu sekitar sebulan lagi umurku 30 tahun!

Dulu, aku berpikir bahwa usia ideal perempuan untuk menikah adalah 23 tahun. Aku memikirkan itu sejak SMP. Ya. Aku ingin menikah di usia 23! Aku pernah punya tekad seperti itu. Di SMA aku pernah punya pikiran untuk menikahi pria Jepang.  Mungkin sejak itu aku memendam impian untuk berlibur ke negara itu. Saat itu aku berpikir, tidak apa-apa bila itu hanya sekedar angan. Aku tidak bisa mengontrol sampai sejauh mana otakku bisa berpikir. Bahkan aku pernah berpikir untuk tinggal dan hidup di luar negeri bahkan menjadi warna negara lain.

Semua bayangan akan masa depan berubah-ubah seiring berjalannya waktu dan pengalaman hidup yang kualami. Tadinya kupikir dalam hidup, aku ingin jatuh cinta satu kali, pacaran satu kali, menikah pun hanya satu kali. Semua berubah saat aku belum menyadari bahwa aku hidup untuk belajar dari pengalaman, aku bukan tipe manusia yang bisa serta merta belajar dari pikiran-pikiran yang sebagian besar tak rasional.
Jadi, meskipun aku tidak pernah mengalami masa kejayaan, aku pernah mengalami masa kemunduran dan tenggelam jauh ke lubang hitam seolah aku tak bisa lagi menemui pijakan.
Itu terjadi di tahun 2009. Aku putus dari pacar yang usianya lebih muda 2,5 tahun dariku. Kalau kupikirkan lagi periode itu, aku tidak paham apa yang telah membuatku begitu terpuruk saat itu. Aku hanya bisa berkesimpulan bahwa saat itu aku terlalu muda dan tidak berpengalaman.
Berkat seorang sahabat dan keluarganya aku berhasil bangkit dari keterpurukan itu. Lalu, selama periode pertengahan 2009 saat aku mulai memiliki akun facebook sampai pertengahan 2010 aku memiliki pacar online. Aku juga berteman dengan teman-teman online. Itu seperti kehidupan baru. Di dunia online aku bebas berekspresi, hampir tidak mengenal rasa malu. Kalau mengingat masa itu sekarang sebagian diriku merasa malu tapi juga merasa sedikit bersyukur, "aku melewatinya dengan baik" pikirku.

Aku telah belajar banyak dari hal-hal yang terjadi dalam hidup tapi tetap saja sepertinya itu tak pernah cukup. Katakan saja seperti menemukan pasangan hidup. Hari ini mungkin aku merasa sangat mencintai seseorang, sangat menginginkannya dan ingin menghabiskan hidup dengannya, berpikir bahwa hanya dia seorang yang akan membuatku bahagia, tapi bukankah ada kemungkinan di masa depan aku justru akan merasakan hal yang sama terhadap orang lain. Dulu aku tidak berpikiran seperti itu. Dulu aku berpikir "mungkin aku akan mati jika berpisah dari orang ini." Tapi waktu berjalan aku aku masih tetap hidup. Itu pengalaman yang berharga bagiku. Saatu saat semua hal itu akan menjadi hal konyol di masa sekarang bahkan di masa depan dan di masa depannya lagi akan ada hal-hal konyol lainnya yang mungkin terjadi, tak ada yang pernah tahu.

Saat ini perasaanku benar-benar campur aduk. Aku berusaha membawanya dengan pikiran santai dan tenang seperti biasanya. Aku tidak mungkin menunjukkan tangisanku di hadapan orang-orang yang berbahagia. Lagipula, suatu saat tangisan ini akan menjadi hal yang konyol juga.

Aku akan segera memasuki usia 30an, tapi sungguh aku tidak pernah merasa diriku cukup dewasa untuk memiliki usia itu. Jiwa dan gaya pemikiranku mungkin masih usia belasan. Mungkin ada hubungannya dengan lingkungan keseharianku yang kuhabiskan bersama anak-anak.

Menjelang usia 30an itu, aku sudah menentukan jalan hidupku. Ada begitu banyak pilihan jalan dan setiap jalan akan membawaku pada tempat yang berbeda. Tentu setiap mengambil langkah aku telah memikirkannya matang-matang, mekipun aku tidak tahu apakah jalan yang kuambil adalah jalan yang terbaik. Dan ada beberapa kali dalam hidupku aku mengambil jalan yang teramat egois karena aku merasa perlu untuk menyelamatkan diri sendiri. Ya, aku memiliki sistem pertahanan diri yang cukup baik yang kadang-kadang mengesalkan. Seperti ketika aku memutuskan untuk balikan dengan mantan lalu memutuskan untuk putus di saat dia telah memikirkan tentang pernikahan. Itu bukan keputusan yang mudah tapi aku merasa perlu untuk melakukannya. Demi menyelamatkan diriku dan orang lain.

Di antara pembaca yang sedang membaca tulisan blog ini, adakah yang pernah berpikir, "tidakkah aku sedang menjaga jodoh orang lain?".

Pertanyaan itu tiba-tiba terlintas dalam kebuntuan pikiranku tentang lamaran yang kunjung datang, dan pembahasan mengenai arah sebuah hubungan yang menemui solusi yang pasti. Karena aku yakin pada intuisiku, aku tak pernah membuatku keputusan gegabah dalam hidupku, jadi kuputuskan saat itu untuk tidak gegabah. "Mau sampai kapan kebuntuan ini akan terjadi? Dan apakah akan terus ada pengulangan?" Karena aku benci ketika pemikiranku mulai terkekang dan buntu. Aku menyadari betul bahwa aku berpikir dengan cara yang berbeda dan tak segan untuk membuat sebuah keputusan. "Jika tidak sekarang, kapan lagi?" Menjadi pribadi yang egois mungkin adalah keahlianku. Tapi aku tidak berpikir begitu. Saat aku membuat keputusan itu aku telah memikirkan berbagai aspek, dan mencoba melihat dari berbagai sudut pandang. Ini terkesan seperti sebuah pembelaan. Aku menyadari betul di satu sisi aku akan menjadi pihak yang bersalah dan dipersalahkan, tapi dari sisiku aku merasa telah mengambil keputusan yang tepat. Aku menyalahkan diriku sendiri atas semua penderitaan yang orang lain rasakan. Penyesalanku hanyalah aku melibatkan banyak orang dan melukai mereka semua padahal mereka tak bersalah. Tapi, jika dipikirkan dengan cara rasional seharusnya tak ada yang tersakiti. Atau setidaknya aku berpikir bahwa rasa sakit dan terluka yang dialami semua orang akan hilang seiring berjalannya waktu. Lagipula, aku takkan lupa pernah melakukan kesalahan hingga membuat orang lain terluka. Aku tak kan pernah lupa karena itu merupakan sebuah pembelajaran bagiku.

Saat itu yang ada dalam pikiranku ada kepasrahan. Tak apa bila aku tak menikah seumur hidupku daripada aku merasa menderita menikahi orang yang tak kucintai dan membuat orang lain menderita karena aku tak mencintainya. Setiap hal pasti memiliki sesuatu untuk disyukuri dan aku mensyukuri semua hal yang terjadi. Rasa sakit dan rasa terluka akan membuat setiap orang belajar untuk lebih berhati-hati, aku pun belajar untuk lebih berhati-hati agar tak melukai orang lain lagi ke depannya ataupun agar diri sendiri tak sampai terluka. Meskipun sepertinya itu hal paling sulit dalam hidup ini.

Dalam beberapa waktu ini aku harus siap-siap untuk terluka. Karena aku tidak bisa menghindarinya aku berusaha mempelajari seperti apa sakitnya. Dan tanpa sadar aku juga telah berusaha memikirkan apa obat yang tepat. Entahlah apakah waktu akan cukup?
Bila aku harus mengingatnya dan membahasnya aku hanya bisa menangis dalam diam. Aku tak punya tempat untuk mengungkapkan perasaan campur aduk ini. Di hadapan orang lain aku hanya bisa tertawa untuk menyembunyikan kegugupan di dalam hatiku sambil berkata dengan penuh canda. Di saat seperti ini, aku lebih memilih terluka sendirian daripada melukai banyak orang bila kuperlihatkan lukaku. Ini masih belum seberapa. Aku masih baik-baik saja.

Sebenarnya aku sangat berharap akan ada pengobat luka dalam hidupku. Entah kenapa sepertinya ini akan sulit bagiku. Kadang aku ingin berteriak dan menuntut kepada Tuhan kenapa beliau menciptakan makhluk sepertiku. Oh okay,  di luar sana juga banyak makhluk sepertiku yang bertebaran. Apa mereka juga menuntut hal yang sama?

Apa ini bayaran atas keegoisan tang telah kulakukan?

Aku tidak merasa salah karena mengharapkan kebahagiaan.

Aku iri pada setiap orang yang hidup bahagia dalam cinta.

Senin, 13 November 2017

Kamu adalah Orang yang Baik

Pernah suatu kali kamu mengatakan, "Kamu adalah orang yang baik". Saat itu aku bertanya-tanya, apakah kata-kata itu hanya formalitas  semata? Baik bagi siapa maksudmu? Baik dalam ruang lingkup apa?
Sementara kamu mengatakan bahwa wanita yang kamu suka adalah wanita cantik. Cantik seperti apa maksudmu? Apakah itu cantik secara fisik? Atau cantik secara pribadi?
Lagipula, aku bahkan tidak termasuk ke dalam kategori manapun.
Aku hanya sedang kebingungan. Aku gelisah seorang diri menerka-nerka apa yang harus kulakukan. Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa, bagaimana aku menangani ini.
Aku selalu memikirkan kemungkinkan terburuk yang mungkin terjadi, lalu mulai membayangkan bagaimana perasaanku saat itu.
Aku mulai mempertanyakan, bagaimana jika seandainya kamu tak seberharga itu untuk kupendami cinta.
Mungkin lebih baik melihatmu memeluk wanita lain agar aku cukup terluka sehingga aku bisa melupakanmu. Bila itu memang harus terjadi, aku masih ingin menyunggingkan senyum terbaikku kepadamu.
Perasaan ini tidak mudah. Aku merasakannya seorang diri. Kamu tahu tapi kamu mungkin tidak bisa merasakannya. Kamu tahu tapi kamu mungkin tidak ingin mempedulikannya.
Aku hanya bisa diam. Menunggu keajaiban. Bila hal itu memang ada, seharusnya ada sesuatu yang terjadi. Tapi, kenapa hanya aku yang merasakannya?
Secara mengejutkan aku kehilangan kepercayaan diriku. Merasa rendah diri. Seandainya aku wanita cantik yang ideal bagimu. Seandainya aku bisa menjadi wanita sepadan denganmu, mungkin aku tidak akan merasa seperti ini.
Kamu mungkin akan mengejarku.
Seharusnya aku mencari teman utuk berkonsultasi tapi, bagaimana bila itu menganggu orang lain. Lagipula, setiap orang sudah memiliki masalahnya masing-masing.
Aku hanya dalam kebingungan.
Mungkin Tuhan masih memberi ujian.
Semua akan indah pada waktunya.
Kata-kata itu hanya mampu membuatku bersembunyi sementara seperti sedang berada dibalik topeng.
Tapi, memang benar bila ini belum saatnya bagiku.

Jumat, 10 November 2017

A Dream About Preparing Our Wedding

Pagi ini bertepatan dengan Hari Penampahan Kuningan, aku terbangun dari mimpi. Sebuah mimpi yang membahagiakan tapi juga menyedihkan.
Di dalam mimpi itu, keluarga Bali yang telah dianggap keluarga oleh Masa menanyaiku apakah aku mau menikah dengan Masa. Aku sendiri tidak berpikir lama, tentu saja aku menjawab "mau".
Alhasil, sesegera mungkin mereka menyiapkan pernikahanku dan Masa. Dalam masa-masa itu, aku yang tidak mengerti apa-apa hanya bisa menerima. Ajik dan Gustu kelihatan senang sekali. Gungmas membantuku menyiapkan pakaianku. Saat dia mengajakku memilih selendang, dia memakaikan sebuah selendang lalu melepaskannya lagi dan meletakkannya lagi pada deretan pilihan selendang yang banyak sekali dengan berbagai macam warna. "Bagaimana dengan bajunya?" Tanyaku. Dia hanya mengatakan bajunya sudah ada. Lalu aku teringat bahwa aku mempersiapkan pernikahanku tanpa memberitahu orangtuaku. Gungmas mengatakan semua sudah diatur, kamu tidak perlu memikirkan itu. Dan tiba-tiba aku melihat keluargaku. Aku seperti tengah berada di halamn rumah di merajan keluarga besar. Mereka tampak sibuk. Mungkin mempersiapkan pernikahanku?
Saat aku melihat keluargaku, kakak sepupuku menitipkan ponselnya padaku, tapi saat berjalan aku malah menjatuhkannya di atas batu. Ponsel itu kelihatan baik-baik saja tapi saat kuambil casingnya agak membuka, saat kutekan untuk menutupnya malah sisi lain yg terbuka. Sampai akhirnya casing belakangnya lepas. Seperti tidak pas pemasangannya.
Dan mimpiku pun berakhir.
Aku tersadar dari mimpi dengan perasaan yang penuh di dada kiriku. Aku merasakan perasaan yang bahagia, masih terbawa suasana di dalam mimpi. Bahkan saat aku membuat tulisan ini. Perasaan penuh itu masih ada.
Meskipun begitu, aku juga merasa sedih. Aku sedih karena semua yang terjadi itu hanya di dalam mimpi. Dan ada kemungkinan mimpi itu memiliki arti yang sangat jauh berbeda dari yang terlihat. Jadi, mungkin mimpi itu tidak benar. Mungkin juga mimpi itu adalah ekspresi dari rindu yang kurasakan terhadapnya. Perasaan rindu ini benar-benar terasa menyakitkan, sampai-sampai ingin menangis, dan aku benar-benar menangis.
Itu terjadi dua hari yang lalu.
Di hari Senin aku melakukan sebuah petualangan solo. Dari rumah (Negara) aku berangkat menuju kampusku di Singaraja, membutuhkan waktu 3 jam untuk sampai disana. Setelah berkeliling sebentar di kota itu, urusanku di kampus selesai, aku menemui temanku, Retno di rumahnya di Sukasada. Dia telah menikah dan memiliki anak. Bahkan anak keduanya akan segera lahir. Dia hidup dalam keluarga kecil yang bahagia.
Perjalananku kulanjutkan menuju Denpasar. Perjalanan ini juga membutuhkan waktu 3 jam. Di Denpasar aku bertemu dengan Hery. Temanku yang satu ini akan segera menikah. Lebih tepatnya dia akan menikah di tanggal 23 Nopember ini. Aku menemuinya jauh hari karena di tanggal itu aku tidak bisa datang. Hery adalah satu-satunya teman curhat dan gila-gilaanku yang masih lajang, jadi ketika dia bilang mau menikah rasanya seperti anak perempuan yang mau ditinggal menikah oleh bapaknya. Aku turut bahagia, lega tapi juga sedih karena aku tidak bisa lagi sebebas dulu chatting dengan dia. Satu persatu temanku yang berlainan gender akhirnya menikah. Pertanyaannya, aku kapan? Bisakah semua terjadi seperti di mimpi?
Saat malam menjelang aku dan Hery sudah menyelesaikan makan kami dan menutup obrolan, kami pun berpisah. Aku berangkat menuju Kuta, menjemput temanku, Gungmas yang bekerja di salah satu hotel bintang lima disana. Perjalanan menuju hotel itu benar-benar lama karena aku salah mengambil jalur. LoL
Tapi, aku bisa sampai ke tempat itu dengan selamat. Lalu, kami beranjak menuju pantai Kuta. Disanalah, di parkirannya aku bertemu Masa. Dia telah bersiap akan pulang menuju kosnya. Begitu juga dengan keluarga temanku, Ajik dan Gustu.
Bertemu Masa dalam kondisi seperti itu membuatku benar-benar malu. Aku tidak sanggup mengatakan sepatah katapun. Hanya bisa tersenyum. Kalau mengingat kejadian itu rasanya aku ingin berteriak. LOL
Keesokan harinya aku mengantar temanku bekerja lalu ke pantai Kuta sendirian berharap orang yang kutemui pertama kali adalah Masa. Tapi, sampai matahari meninggi dia belum juga muncul. Mungkin sekitar jam 11 dia baru datang di saat aku tengah membantu mempersiapkan warung. Aku tidak bisa berkata-kata, hanya bisa tersenyum dan memandanginya. Entah kenapa aku tidak bisa berkata-kata.
Masa duduk di warung sebelah dan memesan makanan, lalu datang seorang bencong menggodanya. Lol. Dia bahkan membuat story di instagram menampilkan si Okama itu, haha, aku benar-benar iri dengan bencong itu. Aku iri dia bisa ngobrol dengan bebasnya dengan Masa. Aku iri dia bisa duduk berdampingan dengan Masa. Aku iri dia bisa terlihat begitu ceria di hadapan Masa. Sementara aku hanya bisa tersenyum dan memandanginya.
Sekembalinya dari bekerja, Masa bertemu dengan beberapa orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan Gustu. Dia menerima anggur dari seseorang lalu segera mendekatiku dan menawariku anggur itu. Aku kaget dan tidak paham maksudnya tapi aku mengambil anggur itu dua biji. Dia sepertinya bermaksud supaya aku mengambil lebih banyak tapi aku tidak paham. LOL. Kesulitan terbesar kami adalah di bahasa. Mengesalkan sekali tapi disitulah menariknya.
Yang paling membuatku tak bisa berhenti tersenyum adalah saat aku memandanginya, dia akan melihat kearahku sambil tersenyum. Aku suka itu. Aku suka saat pandangan kami bertemu. Aku suka saat dia melihat ke arahku. Meskipun sama-sama tidak bisa mengatakan apa-apa. Aku hanya merasa itu begitu berarti dan dadaku terasa penuh. Maksudnya penuh dengan bunga. LOL.
Siang harinya Masa meninggalkan pantai, seperti biasa tanpa mengatakan sepatah katapun, dia tiba-tiba saja menghilang. Padahal siang itu aku berencana mengikutinya bekerja. Tapi, ya sudahlah. Saat sore menjelang jam 6 dia baru datang. Dan melanjutkan bekerja. Sementara aku harus beranjak untuk menjemput Gungmas. Tapi sebelum menjemput Gungmas, aku berjalan menuju pantai dan duduk di atas pasir putih dengan pendaran cahaya matahari senja yang akan terbenam sambil mencari sosok Masa di tengah keramaian. Benar-benar ramai. Benar-benar sulit menemukannya hingga tanpa kusadari dia telah ada di depan mataku tapi dengan jarak yang cukup jauh. Aku mengambil beberapa fotonya. Dan saat kuperhatikan beberapa foto sunset yang kuambil, di salah satu foto ternyata ada dia. Aku hampir menangis melihatnya. Berkali-kali kusebut, "oh my God". Aku hampir tidak percaya pada foto yang telah kuambil.
Meskipun aku sangat ingin mengikutinya, aku tidak bisa. Aku harus segera menjemput teman.
Keesokan harinya temanku bekerja pagi, Gustu mengantar Ajik ke puskesmas untuk mengecek kondisi kesehatan Ajik yang tampak buruk. Hari itu aku sangat berharap bisa bertemu Masa di warung, aku sudah menyiapkan skenario pernyataan cinta di dalam otakku. Tapi, mungkin memang belum rejeki. Hari itu Gustu tidak ke warung. Kami tidak ke Kuta. Aku sedih. Tapi, aku tidak bisa menunjukkannya. Meskipun ingin, aku juga tidak bisa menghubungi Masa. Hari itu aku menangis diam-diam. Saking rindunya dengannya, saking tidak bisanya perasaan itu diungkapkan, saking kerasnya perasaan u harus kutahan, tidak bisa mengeluh kepada siapapun, tidak bisa mengadukan kesedihanku pada siapapun, tidak bisa berbuat apa-apa. Benar-benar menyiksa. Tapi, aku bisa mengatasinya. Daijoubu.
Hari itu, pertama kalinya aku minum bir. Gustu menawariku minum bir, awalnya aku menolak tapi dia menawarkan bir Bintang lemon yang mengandul kadar alkohol rendah. Rasanya seperti "tuak wayah", juga mirip Green Sand, seperti minuman soda biasa. Meskipun begitu aku meminumnya sedikit-sedikit dan perlahan. Aku berusaha keras menghabiskan setengah gelas yang diberikan padaku. "Tidak buruk" pikirku. Mungkin lain kali aku akan minum bir itu lagi. LOL.
Dan itulah kisah perjalanan sedih yang kualami.
Menyenangkan, penuh petualangan, seru, dan nostalgic.
Keesokan harinya di hari Kamis, pagi hari, aku bersiap pulang kembali ke Negara. Kali ini aku tidak mengirimkan pesan apa-apa kepada Masa. Aku hanya menitipkan pesan pada Gustu, karena hanya dia yang paling sering bertemu dan mengobrol dengannya. Entah pesanku disampaikan atau tidak. Lol.
Masa tidak mungkin mengirimiku pesan.
Aku memang tidak memiliki harapan tapi aku masih ingin berusaha. Aku tidak bisa begitu saja berpaling. Meskipun aku tidak bisa bersamanya kupikir aku juga tidak ingin bersama orang lain. Lagipula sedari awal aku telah membuat keputusan bahwa aku tidak akan menikah dengan orang yang tidak kucintai dan yang tidak bisa membuatku jatuh cinta. Jadi, mungkin menikah itu hanya bisa kunikmati di dalam mimpi.

Jumat, 03 November 2017

Ah I am Human

I feel empty in the crowd,
Can't bear the loneliness,
It is me the weird one here,
Why is that?
I don't know,
Everything seems to be not in its place,
Such thing like light is not shine as its own,
It's no one fault,
It is me being the strange one,
Can't see what everyone are seeing,
Can't feel what everyone are feeling,
It's no one fault,
It's just me being lonely,
No one to talk to,
Can't speak up,
Everything is burried deep inside,
It'll never go up, "I should just give up"
The side of mine who scared of being hurt told me that,
That words make it even worst,
Because the other side just keep on silence,
Keep on waiting for miracle to come,
It's hurt,
But also grateful for the pain, "Ah, it makes sure I'm a human"
It's just natural,
As time pass me by,
Will the pain gone?
Will the emptiness become fullness?
Will the loneliness become happiness?
Can time tell me the answer?

Minggu, 29 Oktober 2017

Laksamana Matahari

Hay kamu,
Namamu telah terpatri dalam benakku selama beberapa tahun ini,
Kamu yang mungkin suatu saat nanti akan mengisi hari-hari sepiku dengan tawa dan canda,
Kamu yang suatu hari nanti akan menjadi pelipur laraku,
Ingin kupastikan hari itu akan datang,
Hari saat aku akan bertemu denganmu,
Hari saat aku akan membawamu ke dunia ini.

Laksamana Matahari,
Namamu adalah hasil pemikiran panjangku,
Otakku ini penuh dengan delusi,
Aku banyak bermimpi,
Aku penuh dengan harapan,
Meskipun aku juga dipenuhi rasa takut,
Aku takut hari itu tidak pernah tiba dalam hidupku,
Aku takut kamu tidak pernah hadir dalam hidupku,
Apa yang harus aku lakukan?

Diri ini tidak pernah sempurna,
Tapi, aku telah banyak membuat draft tentang masa depan,
Aku ingin memastikan kamu hidup dengan baik,
Saat hari itu tiba, aku yakin tidak ada apapun di dunia ini yang mampu mengalahkanmu atas diriku,
Kamu akan menjadi duniaku,
Kamu akan menjadi segalanya bagiku,

Hey Laksamana Matahari,
Aku berharap kamu akan seperti matahari,
Hangat,
Adil,
Dan selalu bersinar,
Kamu adalah bintang bagi semua makhluk,
Aku berharap bisa mendidikmu seperti apa yang kuharapkan,
Kamu tak harus sama persis seperti dalam bayanganku,
Hanya saja ada sedikit harapan bahwa kamu akan melebihi ekspektasiku,
Kamu boleh nakal,
Kamu boleh setiap hari pulang dengan luka,
Asal itu luka demi kebaikan,
Aku tidak melarangmu berkelahi,
Asal itu membela yang lemah dan demi keadilan,

Kamu tak harus pintar,
Aku lebih ingin hidupmu penuh petualangan,
Di akhir pekan dibanding ke mall, aku lebih ingin mengajakmu berkemah,
Tak apa meskipun kita berkemah di kebun belakang rumah,
Atau mungkin di halaman rumah,
Aku tak ingin hidupmu berpatokan pada angka-angka,
Aku tidak mau kamu terlalu berambisi,
Hidup untuk memenuhi ambisi hanya akan memberikan beban berat,
Aku ingin hidupmu santai,
Aku juga ingin kamu berpikiran santai,
Seperti di pantai,

Bila nanti ayahmu si pekerja pantai itu, namamu takkan sama,
Tapi aku ingin "matahari" melekat padamu,
Aku akan selalu menunggumu,
Kapan pun kamu mau, datanglah.
Aku selalu menantikanmu.

Selasa, 24 Oktober 2017

Aku Masih Akan Hidup 50 Tahun Lagi

Jika usia rata-rata manusia 70 hingga 80 tahun, maka aku masih mempunyai sisa hidup 40 hingga 50 tahun lagi. Itu akan menjadi waktu yang sangat lama.
Di usiaku yang menjelang 30 ini saja meskipun merasa sudah cukup memahami kehidupan, nyatanya masih banyak hal yang tidak bisa kupahami.
Sebut saja satu pertanyaan yang tiba-tiba muncul dalam benakku ketika melihat buah mangga yang masih kecil di halaman sekolah, buah yang awalnya kulihat kecil-kecil semakin hari semakin membesar. Otak jahilku bertanya-tanya, "Kapan mangga itu bertambah besar? Tahu-tahu sudah segede itu."
Aku cukup mencintai ilmu biologi jafi jawaban logisnya adalah, semakin hari sel dalam buah mangga mengalami pembelahan, dan itu adalah pembelahan normal. Yang menjadi masalah adalah, aku tidak bisa melihat dengan mata bulatku secara langsung bagaimana hal tersebut terjadi. Maka setiap hari kuanggap apa yang kupelajari itu telah memuaskan rasa penasaranku. Tapi itu tidak sepenuhnya benar.
Aku mengabaikannya setiap hari karena berpikir memikirkan hal tersebut tidak begitu berguna, aku tidak akan mendapat jawaban yang membuatku puas.
Setelah dipikir-pikir, ada berapa banyak hal di dunia ini yang kuabaikan hanya karena hal tersebut kupikir tidak akan pernah kudapatkan jawabannya?
Berapa banyak hal yang telah kujauhi, kuhindari dan aku telah melarikan diri darinya hanya karena aku tidak akan pernah tahu jawabannya. Mungkin juga tidak mau tahu.
Apakah sisa hidupku yang terlama 50 tahun itu mampu memuaskan rasa penasaranku terhadap hal-hal yang terjadi di dunia ini?
Meskipun begitu, bahkan bila aku harus terlahir kembali setelah kematianku di masa ini, aku masih ingin lahir dan menjalani kehidupan seperti hidupku saat ini. Tidak ada yang ingin kuubah. Meskipun aku harus hidup seorang diri.
Aku percaya bahwa Tuhan adalah the Great Planner, apakah beliau mempunyai rencana-rencana dalam masa depanku? Apakah semua itu akan terjadi seperti apa yang telah dirancangkan? Apa yang terjadi padaku adallh apa yang kubutuhkan. Selama hidup aku mempercayainya. Meskipun selalu terasa menyakitkan bahwa apa yang paling kuunginkan tidak ada dalam rencana-rencana Tuhan untukku.
Meskipun aku sangat ingin tahu apa yang akan terjadi dalam hidupku bila aku memaksakan kehendakku.
Entah berapa kali aku harus memohon, "kali ini saja kumohon, kali ini saja, kumohon, kali ini saja"
Meskipun tetap saja di dalam hati aku meyakini bahwa apa yang paling kuinginkan tidak akan pernah kudapatkan. Atau paling tidak "belum saatnya". Akan ada waktu yang tepat. Entah kapan. Atau entah dengan situasi dan kondisi yang bagaimana.
Bila aku tidak menyerah mungkin aku bisa mewujudkan paling tidak satu dari sekian banyak hal yang paling kuinginkan.
Bila aku harus memilih, meskipun hidup di masa sekarang harus menyakitkan, aku masih ingin tetap hidup seperti ini di kehidupan selanjutnya.
Aku sedang menjalani karmaku, inilah peranku dimana di duniaku akulah pemeran utamanya.

Sabtu, 21 Oktober 2017

Ohisashiburichiii~

Halo!
Sudah lama aku tidak menulis.
Selain sibuk, aku juga tidak mendapat inspirasi untuk menulis. Hari-hariku tidak begitu bersemangat.

Sudah sejak beberapa hari yang lalu sebenarnya aku ingin menulis, terutama menuliskan mimpi yang menurutku aneh. Ya memang setiap mimpi itu aneh LOL

Sekitar dua hari yang lalu aku terbangun dari tidurku sekitar jam 3 pagi. Saat bangun aku masih bisa mengingat mimpi yang kualami. Dalam mimpi itu aku bersama dengan Aris, mantan pacar berondongku yang bahkan tidak pernah muncul sekelebat pun dalam kehidupan sehari-hari. Tiba-tiba malam itu aku bermimpi menuju ke suatu tempat dengannya. Tempat itu sejenis tempat makan self-service. Awalnya aku berjalan dengannya sambil mengambil beberapa bulatan bakso dan bahan lain yang hendak dimasak. Sampai di tempat makan aku melihat sebuah meja kosong dan mulai berpikir, "kita akan makan di tempat ini lagi?"

Aku dan Aris akhirnya duduk berhadapan di tempat itu, lalu aku pergi ke arah dapur untuk mencari alat masak. Anehnya di restoran u tidak ada pelayannya. Aku mencari alat masak tapi tidak ketemu. Aku menyerah lalu kembali duduk. Pada saat itulah aku melihat Aris memperhatikan ke arah layar yang tengah menampilkan video. Di dalam video itu aku melihat diriku sendiri dengan dua orang gadis lainnya sedang melakukan suatu kegiatan, aku tidak ingat, aku hanya bisa menyimpulkan yang kulakukan dalam video itu hanya bermain-main di padang rumput dan mengobrol dengan kedua gadis yang tidak kukenal itu. Di dalam video itu aku dan kedua gadis itu mengenakan kimono hitam dengan dalaman putih, persis seperti siswa jepang pada jaman dahulu.
Setelah itu aku tidak ingat apa yang terjadi, mungkin aku langsung terbangun dari mimpi.

Akhir-akhir ini hampir setiap malam aku bermimpi dan biasanya aku tidak ingat mimpi apa saja itu. Hanya saja dalam kehidupan nyata aku sering merasa "dejavu". Seolah-olah aku pernah mengalami ini dan itu entah itu memang pernah terjadi atau hanya pernah muncul dalam mimpi. Aku terkadang sampai bingung membedakan mana yang kualami dalam mimpi dan mana yang benar-benar terjadi dalam kehidupan nyata.
Kupikir ada yang salah dengan memori di otakku. Tapi aku yakin bukan sesuatu yang berbahaya

Sekian.

Kamis, 05 Oktober 2017

Suddenly Feels Really Sad Then Cry

Dalam perjalanan pulang dari tempat kerja tadi, tiba-tiba ada perasaan sedih merasuk ke dalam dada.
Tanpa dikomando air mata mulai mengalir.
Ini bukan pertama kalinya terjadi seperti ini.
Otakku terlalu banyak memikirkan hal yang sejatinya tidak perlu.
Bukan hal yang penting tapi tak bisa berhenti memikirkannya.
Di satu titik yang entah kenapa muncul dalam pikiran, "hari ini aku diminta sembhyang di merajan almarhum kakek (ayah dari ibu) karena ada sesuatu yang hanya harus aku" terlintas seperti itu dalam benakku.
Aku mulai bertanya-tanya, ada apa? Kenapa hanya aku? Apa kakek memiliki karma tertentu terhadapku? Atau aku yang telah memiliki karma tertentu pada kakek, mungkin dari masa sewaktu aku masih bayi.
Aku mulai berpikir bahwa mungkin ini akan ada hubungannya dengan kelanjutan perjalanan takdirku. Terutama jodoh. Saat itulah perasaan sedih menyelimutiku, air mataku mulai mengalir.
Aku hanya menduga-duga, mungkin ada sesuatu yang diberikan kakek padaku saat aku masih bayi lalu sampai pada akhir hayatnya beliau tidak ingat untuk mengambilnya kembali.
Ini hanya spekulasi.
Kebenarannya akan kuketahui nanti, jika paman (kakak dari ibu) tidak keberatan memberitahuku.

Hari ini, aku berpikir tentang takdir dan jodoh. Kedua-duanya adalah hal yang tidak bisa dipisahkan. Bagiku, takdir dan jodoh memiliki kaitan dengan karma.
Sejak dulu aku bertanya, kenapa meskipun saling mencintai dua orang tidak bisa hidup bahagia bersama, atau mengapa meskipun tidak saling mencintai tapi dua orang bisa hidup bahagia. Dan mengapa meskipun dikatakan berjodoh dua orang tidak bisa saling mencintai atau pun menemui happy ending.
Entah sejak kapan aku mulai memahami alasan-alasannya. Takdir dan jodoh adalah hasil dari karma. Takdir bisa diciptakan karena adanya karma. Begitu pun jodoh. Jodoh itu tidak harus bahagia, karena jodoh adalah untuk memenuhi karma.
Aku akan fokus pada jodoh karena saat ini aku galau karenanya. Dalam pemahamanku, jodoh bukan berarti harus bersama, bukan juga berarti harus saling mencintai. Bahkan dengan orang yang tidak sengaja kita temui di jalan pun kemungkinan memiliki jodoh dengan kita. Bisa jadi suatu saat di waktu yang tepat di masa yang telah digariskan kita akan bertemu lagi dengan orang yang sama lalu membuat ikatan. Di saat itulah ada jodoh dan takdir mulai membuat jalannya.
Atau mungkin sebaliknya, karena seperti itulah takdirnya. Apakah kemudian ikatan itu bertahan lam atau tidak itu tergantung dari karma kita, bahkan seberapa kuat ikatan itu tergantung dari karma kita. Bisa saja suatu saat di waktu yang tepat, ikatan itu tiba-tiba putus. Tidak ada yang tahu.
Kadang kupikir semua ini hanya khayalanku belaka. Aku terlalu banyak berpikir, aku terlalu banyak mempercayai hal-hal di luar nalar.
Mungkin ini hanya fantasiku semata.
Hanya karena aku memiliki perasaan yang kuat bahwa aku tengah menunggu seseorang, bahwa orang itu suatu saat akan kutemui. Dan, aku juga merasakan sesuatu yang kuat bahwa dalam hidupku ini aku mungkin tidak bisa mencapai happy ending dalam hubungan cinta.
Mungkin karena itulah aku selalu merasa sedih di waktu-waktu tertentu. Meskipun kadang-kadang aku bertanya, apa arti dari rasa sedih itu?

Senin, 25 September 2017

Gunung Agung Berstatus "Awas"

Sejak Jumat malam status Gunung Agung telah mencapai level IV (awas) yang berarti bahwa kapan saja memungkinkan untuk terjadinya letusan.
Menurut kabar dari teman-teman dari sosial media di daerah Karangasem dan sekitarnya telah terjadi gempa vulkanik maupun tektonik berkali-kali dalam skala ringan hingga sedang.
Aku masih berharap letusan itu tidak terjadi. Tidak ada yang mengharapkan hal tersebut.
Sebagai warga Bali yang tinggal di bagian paling barat Bali, aku dan rekan-rekan disini tidak bisa memberikan bantuan moral, hanya bisa berupa materi.
Pagi ini, sebagai pesan awal kepada siswa-siswa kelas IV di kelasku, aku memberikan sedikit pengarahan tentang bahayanya Gunung Agung apabila sampai meletus. Kuceritakan sedikit tentang peristiwa meletusnya Gunung Agung di bulan Maret tahun 1963 yang berlangsung selama satu tahun hingga Januari 1964.
Yang kuceritakan adalah bagaimana yang guruku ceritakan sewaktu aku masih di sekolah dasar. Aku juga menyamakan dengan cerita nenek yang mengalami peristiwa itu, membaca sejarah singkat Gunung Agung dan menonton video bagaimana letusan itu terjadi dan dampaknya.
Siswa-siswaku punya karakter senang mendengarkan hal-hal yang bagi mereka menarik, jadi, selama beberapa waktu mereka terdiam dan setelah selesai menyampaikan ceritaku, beberapa dari mereka mulai berkomentar.
"Wah, ngeri, Bu, ya", "Takut, Bu", "mudah-mudahan tidak meletus"
Setelah itu, aku mengimbau siswa-siswaku untuk menyiapkan masker dan cara penggunaannya apabila letusan itu sampai terjadi. Dampaknya akan sangat luar biasa. Abu vulkanik di udara, kemungkinan hujan asam, dan terjadi penggelapan di langit. Mungkin tidak hanya di Bali tapi juga sampai ke luar pulau.

Disini aku masih memiliki tugas negara yang tak bisa kutinggalkan. Sebenarnya ingin sekali terjun langsung ke daerah bencana untuk membantu. Tapi, dengan materi pun aku rasa cukup. Hanya bisa berharap keadaan ini segera membaik.

Sejak Jumat lalu, memang kondisi langit tidak seperti hari-hari biasanya. Tiba-tiba terjadi hujan ringan, bahkan di minggu malam terjadi hujan cukup lebat di Bali barat dan kemungkinan di beberapa titik di seluruh Bali. Matahari sepertinya enggan menampakkan wujudnya. Aku sedikit takut memikirkan ini sebagai pertanda. Pertanda bahwa letusan itu akan terjadi (?) Entahlah. Berkali-kali memohon kepada Tuhan agar hal itu tidak sampai terjadi. Seandainya manusia dan alam bisa berkompromi.

Tapi, lihat sisi baik dari adanya bencana ini. Manusia-manusia saling membantu tanpa pandang bulu. Meskipun tentu saja sisi buruknya tak kalah menarik. Binatang-binatang peliharaan ditinggalkan. Hewan-hewan ternak dijual murah. Ada yang terpisah dari keluarga. Dan ada saja yang memanfaatkan situasi untuk mencuri di rumah-rumah yang ditinggalkan pengungsi.
Yah, semua ini ada hikmahnya.

Kami semua berdoa supaya tidak terjadi letusan Gunung Agung. 🙏

Sabtu, 23 September 2017

Pikiran Tradisional atau Modern (?)

Beberapa waktu belakangan ini aku tidak bersemangat untuk membuat postingan.
Entahlah, setiap kali mau menulis sesuatu aku seperti kehabisan ide, bahkan saat aku menulis postingan ini.
Beberapa waktu lalu aku akhirnya mengungkapkan rahasiaku pada rekan-rekan sekantor, bahwa aku kini berstatus jomblo. Seperti dugaanku, rekan-rekan kerjaku heboh. Mereka panik seolah aku baru saja melakukan kesalahan besar dalam hidupku. Seperti dugaanku pula, mereka mulai berpikir untuk mencarikanku kenalan, menjari cowok jomblo lainnya, mencarikan siapa saja yang available.
Aku hanya bisa berkata, "Gak usah, gak perlu sampe gitu", berkali-kali. Sebenarnya aku malu bila ada yang hendak memperkenalkanku dengan seseorang. Seperti beberapa minggu yang lalu aku terpaksa harus menemui seorang cowok hanya karena yang mengenalkannya adalah teman ibuku yang sudah seperti ibu bagiku.
Ada rasa tidak enak untuk menolak meski pada akhirnya cowok itu tidak tertarik padaku. Aku sangat bersyukur.
Lalu pada kasus pengungkapan status jombloku pada rekan kerja yang sepertinya mulai kusesali tapi juga entah kenapa aku cukup lega mengakuinya karena aku tidak akan mendapatkan pertanyaan-pertanyaan seputar mantan dari teman-temanku.
Jika ini diriku 10 tahun yang lalu, aku tidak akan memilih untuk menjomblo. Aku mungkin akan bereaksi dengan cara yang berbeda. Mungkin aku tidak akan menulis postingan. Tapi, ini adalah diriku yang sekarang. Orang-orang mungkin berpikir aku terlalu naif, mungkin juga mereka pikir aku bodoh, atau mungkin ada juga yang berpikiran berbeda. Hanya saja, sebagian besar tidak membenarkan posisi jomblo yang kusandang.
Mulai dari "sudah umur", mungkin maksudnya bukan waktunya lagi untuk berpetualang. Wanita akan sulit melahirkan di usia 30an, keburu kehabisan stok cowok (hello?), atau yang lainnya.
Setiap kali nasihat orang-orang selalu membuatku berpikir satu hal. Mereka sama seperti diriku 5 sampai 10 tahun yang lalu. Berpikiran idealis. Tapi, bahkan idealis itu sendiri berbeda-beda bagi setiap orang, hanya saja intinya sama.

Salah satu contoh pikiran idealis, cewek harus menikah di usia 20 agar tidak kesulitan melahirkan.

Dalam hati aku menjawab, apa kabar ibu-ibu yang melahirkan di usia 40an? bukankah mereka juga masih bisa melahirkan?

Contoh lain, kamu pegawai negeri, punya gaji tetap, pasti mudah mencari suami.

Jawabanku dalam hati, mungkin itu hanya tidak berlaku padaku. (?)

Yang lain lagi, mau kukenalkan pada seseorang yang juga sedang jomblo?

Dalam hati aku bahkan tidak bisa berkata-kata.

Masih lajang di usia menjelang 30 memang membawa dampak psikis yang sangat besar bagiku. Dan ternyata dampaknya juga berlaku bagi orang-orang di sekitarku. Yaahh, karena mereka peduli. Tapi, sayangnya aku sedang tidak membutuhkan kepeduliaan semacam itu.
Bahkan ketika seseorang mengajak berkenalan, tiba-tiba menjadi girang setengah mati setelah mengetahui aku jomblo, mungkin dia berpikir itu lampu hijau, oh please, tolong jangan berdelusi. Kenapa tidak ada yang bertanya padaku, "apa kamu sedang menyukai seseorang?". Bukankah itu pertanyaan yang sangat penting?

Tidak ada yang tahu betapa kerasnya hatiku. Hanya dengan memikirkannya saja aku merasa sudah mau menangis. Bayangkan, kamu sedang jatuh cinta pada seseorang yang tidak kamu ketahui bagaimana perasaannya terhadapmu, takut untuk bertanya, kamu bingung tidak tahu harus bagaimana, kamu takut terluka dan kecewa, tapi kamu bahkan gak bisa berpaling darinya. Sementara di sisi lain ada banyak pilihan yang bisa dengan mudah dipilih seperti memencet tombol-tombol di touchscreen. Tapi, hati yang keras ini seperti telah memahat wajah dan nama hanya untuk satu orang.

Orang-orang seperti melupakan esensi dari sebuah hubungan.

Di hidupku, aku telah melihat berbagai bentuk ketidakharmonisan hubungan. Mulai dari pertengkaran, perselisihan, perceraian, kebisuan (?). Semua itu membuatku tidak paham akan apa yang sebenarnya diinginkan setiap orang dalam hubungannya dan dengan apa sebenarnya mereka membangunnya. Tapi, kemudian itu membuatku berpikir lebih keras. Memiliki kekayaan, memiliki pekerjaan, memiliki cinta dan kasih sayang saja tidak cukup.
Dan ini salah satu pengalaman pribadiku. Di usiaku yang ke 25 tahun, aku mulai menyadari apa yang yang kuinginkan dari seseorang. Di tahun itu menjelang kelulusanku dari universitas, aku mengalami kebuntuan dalam hubungan. Aku tidak tahu apakah orang-orang juga memungkinkan untuk mengalaminya atau tidak, hanya saja pada saat itu, aku berpikir, "ini gak akan berhasil, aku merasa aku tidak bisa merasa bahagia".
Aku memutuskan hubungan itu. Lalu memulai sebuah hubungan dengan orang lain. Berselang satu tahun hubungan itu pun harus berakhir. Dan merasa bahwa bebanku telah hilang.
Kenapa sebuah hubungan bisa menjadi beban bagiku? Aku pun tidak paham, meski aku mencoba untuk memikirkannya tidak ada jawaban. Sampai akhirnya aku menyerah pada apa yang sesungguhnya aku cari. Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku balikan dengan mantan. Sedari putus dengannya aku memang sempat berpikir bahwa suatu saat nati mungkin kami akan kembali bersama. Kupikir ini takdir.
Tapi apa? Berhubungan lagi dengan mantan membuatku sadar bahwa selama ini aku telah mengambil langkah yang salah. Tidak. Bukan mengenai balikan dengan mantan. Tapi, tentang konsep kebahagiaan dalam hubungan.
Pikiran yang sama terus muncul. "Aku tidak merasa bahagia". Dan akhirnya, aku memutuskan untuk sendiri. Awalnya kupikir aku harus mempercayai kesempatan kedua itu. Rupanya kesempatan kedua yang diberikan padaku untuk membuatku menyadari banyak hal dalam hidup ini. Tuhan tahu benar bagaimana cara membuatku belajar. Karena aku cukup tumpul dalam hal-hal semacam ini (?).

Orang berpikir usia matang berarti harus terburu-buru, tergesa-gesa, harus segera, jangan ditunda-tunda, dan aku lelah mengatakan bahwa aku santai saja. Tentu saja aku tidak bisa mengatakan "Aku sudah meminta adikku untuk menikah duluan dan mungkin di saat aku sudah memastikan bahwa aku tidak akan menikah dalam hidupku ini, aku akan meminta adikku dan istrinya memproduksi seorang anak yang akan kujadikan sebagai anakku, untuk persiapan masa tuaku nanti, setidaknya hanya agar ada yang mengurusku kelak".
Tidak mungkin kan?
Meskipun itu adalah pikiranku yang sebenarnya.
Meskipun itu adalah niatku yang sebenarnya.

Usia matang berarti bahwa aku membutuhkan seseorang? Ya..setidaknya aku tidak pernah mengatakan aku terlalu sibuk untuk cinta. Entahlah, aku membutuhkan seseorang yang bisa membuatku jatuh cinta. Seseorang yang mungkin sudah kutemukan tapi sekali lagi harus kukatakan, aku menemukannya tapi dia tidak menemukanku.

Orang-orang berpikiran terlalu tradisional. Atau mungkinkah itu adalah pikiran modern? Sebenarnya aku hidup di jaman apa sampai-sampai aku percaya pada rasa jatuh cinta, takdir dan semacamnya? Sebenarnya siapa yang berpikir tradisional? aku atau orang-orang?

Senin, 04 September 2017

Gebrakan Dalam Bersosial Media

Hari ini, sejak kemarin tepatnya, di sosial media Facebook tak ada hentinya aku menerima pemberitahuan video-ku di share seseorang (ralat: banyak orang) yang sama sekali tidak kukenal.

Itu hanya video sederhana tentang pembuatan ketupat untuk sarana upakara "sesayut" yang memang sengaja kubuat untuk sekadar berbagi. Siapa sangka video tersebut menarik minat banyak orang untuk menonton dan berbagi.

Aku merasa ini sedikit menakutkan. Ini pertama kalinya semenjak aku bergabung di facebook postinganku memperoleh respon sedemikian besar. Dan tiba-tiba aku menerima banyak "Friend Request". Di satu sisi aku senang, tapi di sisi lain aku takut.

Alasan ketakutanku hanya satu, aku takut menjadi orang yang tidak sesuai ekspektasi orang yang meng-add-ku. Aku memang seperti ini dan selalu berubah-ubah. Aku bukan pribadi yang akan selalu memposting hal-hal yang positif dan berguna sepanjang waktu. Makanya aku menjadi takut.

Di lain sisi, aku sangat memilih berteman di sosial media. Jadi, kurang lebih, aku juga bingung harus bagaimana. Tidak mungkin serta merta menerima semua request tersebut. Belum lagi request yang memang sudah lama menumpuk. Ada seratus lebih. Dan mungkin kan terus bertambah. Sama seperti jumlah video shares nantinya.

Tapi, aku mulai berpikir untuk meneruskan kegiatan bermanfaat ini. Mungkin akan ku upload di youtube. Siapa tahu mendapat respon yang sama juga. LOL

Hari ini, disela-sela friend request dari orang tak dikenal dan pemberitahuan video share, aku menerima sebuah pesan messenger. "Huh, siapa orang ini memakai nama seaneh ini", pikirku merasa tidak kenal. Setelah dicermati baik-baik, anehnya aku merasa sedikit "tahu" tentang orang itu setidaknya dari pesan yang dia kirim. "Sepertinya orang ini kenal aku", pikirku selanjutnya. Dan, taraaaa.. kulihat profilnya. Sialan. Out of the blue, mantan pacar di tahun 2010an yang sebenarnya tidak begitu kuanggap tiba-tiba mengirim messenger? Setelah sekian lama?

Tapi entah kenapa aku sedikit merasa curiga. Mungkin itu bukan dia, melainkan pacarnya yang entah kenapa tahu tentangku, yang aku bahkan tidak pernah peduli. Tunggu, ini sama sekali bukan niat buruk, aku tidak pernah peduli bukan karena aku sangat tidak acuh, hanya saja aku tidak mau dipengaruhi oleh hal-hal yang berhubungan dengan mantan. Setidaknya aku tidak pernah merasa ingin tahu. Aku menghindari mereka-mereka itu hanya karena kupikir itu sudah berlalu, lagipula aku tidak memiliki kepentingan apa-apa terhadap mereka.

Apa itu terlalu dingin?

Berapa banyak teman yang telah kuhilangkan dari kehidupanku hanya karena alasan semacam itu?

Berapa banyak kesempatan silaturahmi yang kugagalkan hanya karena alasan semacam itu?

Tapi, aku sangat sadar, aku hanya berpikir untuk hidup hari ini dan hari esok. Hari kemarin biarlah menjadi satu hari yang telah berlalu. Memikirkannya toh tidak bisa membuatku menjadi kaya. Atau pun juga tidak bisa membuatku menjadi kenyang.

Meskipun begitu, di satu sisi aku juga senang. Pribadi dingin dan tak acuhku yang sudah akut itu tidak begitu saja membuatku tak mengindahkan sapaan orang yang kukenal. Jadi, tidak ada salahnya menjawab, dan sekedar berbasa-basi.
Meskipun sekali lagi aku curiga itu sebenarnya bukan dia.

Sebenarnya, kalau memang benar yang mengirimiku pesan adalah sang pacar, ini bukan pertama kalinya bagiku mengalami hal semacam ini. Istilahnya, seseorang merasa terusik oleh keberadaanku. Mungkin sekedar ingin memastikan satu dan lain hal. Beberapa pacar temanku sempat melakukan hal yang sama. Aku hanya berpikir, "mereka masih labil".

Yah, dan cukup sekian untuk hari ini.
By the way, lagi-lagi Masa menghilang. Di "live"  terakhirnya dia tampak tidak sehat. Mudah-udahan saja ini bukan pertanda buruk karena aku juga memikirkan kemungkinan kesibukannya mempersiapkan acara tahunan rutinnya di daratan Mongolia. Semoga ini bukan firasat buruk.

Minggu, 03 September 2017

Perasaan Down yang Mudah Sekali Muncul

Sebagai perempuan, lajang di usia matang, mudah sekali untuk merasa down.

Ya, aku down akhir-akhir ini.

Pertama, karena aku jatuh cinta pada seorang pria yang tidak memiliki ketertarikan padaku.

Kedua, karena pria yang kucintai itu tidak memiliki ketertarikan padaku.

Ketiga, karena dia sama sekali tidak memiliki ketertarikan padaku.

Dan aku pun down.

Sebenarnya, aku ingin sekali setidaknya satu kali dalam hidupku, ketika aku jatuh cinta pada seseorang orang itu juga jatuh cinta padaku. Semacam takdir?
Oh ayolah, apa hanya aku disini yang percaya pada takdir?
Oke, ini tahun 2017, memangnya masih ada hal-hal semacam itu?

Tapi, aku selalu mempercayainya. Itu semacam fantasi bagi setiap wanita, mungkin.
Itu juga fantasi bagiku.
Bertemu dengan seseorang yang ditakdirkan untukmu, orang yang selama ini mencarimu, dan orang yang selama ini kamu tunggu, lalu kamu dan dia saling menemukan. Bila hal seperti itu ada, itu pasti sesuatu yang paling romantis yang pernah ada di dunia ini.

Tapi, semua kisah tidak bisa seideal itu. Hidup di dunia nyata, tidak semua seperti apa yang ada dalam bayangan, dalam fantasi. Kalau tidak nyata ya anggap saja sedang bermimpi. Jadi mungkin selama ini aku lebih banyak hidup dalam dunia mimpi.

Seperti mimpi yang pernah kualami. Kamu yang meraih tanganku dan menggenggamnya, apa maksud semua itu? Apa mimpi itu hanya bunga tidur yang tak ada artinya? Sayang sekali, itu membuatku menjadi terlalu banyak berharap. Aku menjadi bingung.

Bila benar kamu ditakdirkan untukku, aku bingung memikirkan bagaimana masa depan denganmu. Aku mulai memikirkan seperti apa kamu terhadapku nanti. Tapi, di sisi lain juga ada keraguan. Mungkin kamu dan aku bertemu bukan untuk bersama.
Dan lagi-lagi, aku jatuh cinta padamu bukan untuk ditakdirkan menjadi pendamping hidupmu.

Aku sudah mulai menghindarimu.

Kita memang tidak bertemu selama waktu yang cukup lama, bahkan tidak berkomunikasi. Apa yang tidak bisa kukatakan secara langsung, aku telah menuliskannya tapi itu pun tidak sampai kepadamu.

Kemudian aku berpikir, mimpi itu mungkin hanya pesan yang menyampaikan bahwa kamu membutuhkan bantuanku. Ya, karena beberapa hari setelah mimpi itu, kamu jatuh sakit. Aku berusaha keras memberitahukan orang-orang terdekatmu, yang kamu anggap keluarga itu untuk memperhatikanmu. Semua menjadi sulit ketika mereka juga mengalami masalah kesehatan. Tapi, aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

Sampai disitu saja peranku. Dan itu tidak memiliki arti apa-apa bagimu.

Haaahhh.. entah kenapa di saat aku jatuh cinta, aku seperti jauh dari cinta yang berbalas. Tapi, ini adalah sesuatu yang luar biasa dalam hidupku. Aku merasa bangga pada diriku sendiri karena berani membuat keputusan.

Di saat aku resah dan gelisah memikirkan diri sendiri yang masih lajang di usia menjelang 30 tahun, aku justru berani membuat keputusan luar biasa dalam hidupku. Melepaskan seseorang pergi dari kehidupanku dan menbiarkannya menjalani hidup yg seperti yang dia harapkan.

Ini hal baiknya.

Aku down karena cintaku tak terbalas, di sisi lain aku bahagia dan bangga pada diri sendiri karena "mantanku" mulai menata hidupnya kembali. Dia mulai melakukan hal-hal yang dia suka, mulai bergaul dengan orang-orang yang menjadikan dirinya keren, dia mulai berkembang, dan lalu oh dia berfoto dengan seorang wanita. Itu membuatku senang. Ini kedua kalinya aku membuktikan bahwa dia hidup dengan lebih layak tanpa adanya aku. Seharusnya aku tak pernah lagi membawa dia ke dalam kehidupanku yang membuatnya penuh kesialan. Aku ibarat badai dan awan gelap mungkin dalam hidupnya, dan semua itu sudah berakhir.

Dan aku, apa yang akan kulakukan dengan hidupku?
Sejak awal aku sudah memikirkannya.
Aku tidak takut untuk membuat keputusan itu, karena sudah kupikirkan dengan matang. Aku sudah memantapkan hatiku.

Karena jatuh cinta akan menjadi hal yang mustahil dalam hidupku, saat itu aku berpikir, "aku akan sulit bahagia bila terus seperti ini, aku tak mungkin jatuh cinta pada siapa pun, itu akan menjadi hal termustahil yang akan terjadi, mungkin aku juga tidak akan pernah menikah, bila memang aku tidak menikah, aku akan mengadopsi anak untuk memeliharaku di hari tuaku nanti".

Tapi, tak lama berselang, ternyata aku jatuh cinta. Aku jatuh cinta dengan begitu cepat sampai aku meragukannya, apa ini benar-benar cinta atau hanya fantasiku belaka. Mungkin sampai saat ini pun aku masih ragu.
Aku jatuh cinta pada orang yang tak pernah terpikirkan dalam hidupku. Ini berbeda dari jatuh cinta dengan karakter 2D di anime atau manga. Tapi, rasanya orang yang membuatku jatuh cinta ini tak jauh berbeda dari karakter anime atau manga. Dia pasti terlalu jauh dari jangkauanku. Bukan sesuatu yang bisa kumiliki.

Maka dari itulah aku down.
Anggap saja aku sedang jatuh cinta pada karakter 2D.

Rabu, 30 Agustus 2017

Try to Remember the Kind of September

Sebentar lagi bulan September,
Tidak ada yang istimewa dengan bulan ini,
Hanya saja aku selalu teringat akan lagu tentang September,
September adalah awal dari musim gugur,
Musim yang ramah,

September sebentar lagi akan hadir,
Sementara aku masih disini,
Tetap seperti ini,
Masih dalam persembunyian,
Masih dalam dunia kecil yang berbatasan dengan tembok yang tebal,
Belum ada yang bisa menembusnya,
Kecuali aku sendiri yang ingin keluar,
Tapi,
Mungkin aku masih harus disini lebih lama lagi,

Disaat keramahan September akan menyapa,
Aku masih disini dalam kegelisahan,
Percayalah,
Ini bukan inginku,
Kalau aku punya kemampuan aku ingin melakukan lebih,
Aku ingin berusaha lebih lagi,
Aku tidak ingin berdiam diri saja,
Kau tahu aku tak seperti itu,

Saat September datang lagi,
Disaat itu mungkin menjadi masa yang kesepian,
Hujan mungkin akan jatuh lebih sering,
Udara mungkin akan menjadi lebih hangat,
Tapi itu tak cukup untuk mencairkan kebekuan di dalam hati,
Ah percayalah,
Ini bukan inginku,
Sungguh aku pun ingin melebarkan sayapku,
Aku juga ingin terbang melayang ke langit,

Kalau saja aku bisa,
Aku ingin menggapai sinar-sinar penuh harapan itu,
Aku juga ingin menjadi pemberi kehangatan,
Meraih cahaya,
Mencuri kehangatannya,
Membaginya dengan yang lain,
Dengan begitu kebekuan itu mungkin akan sedikit berkurang,

Aku tidak ingin terus-terusan menghela napas,
Aku tidak ingin terus-terusan merasa harus menyerah,
Aku ingin sekali bisa meneriakkan segala yang ada di dalam hati,
Aku ingin memperjuangkan sesuatu yang kuyakini
Tapi,
Selalu saja,
Perseteruan di dalam diri tak bisa berhenti,
Aku lelah,

Bangunkan aku saat September berakhir.

Minggu, 27 Agustus 2017

Aku Bisa Paham Bila Tak Ada yang Paham Tentang Apa yang Kupahami

Sebenarnya aku ingin juga sesekali menulis hal-hal yang berguna di blog. Tapi, menulis sesuatu yang berguna itu tidak mudah. Aku harus mencari informasi kesana kemari, menyelidiki, menganalis. Pada akhirnya hal yang paling mudah ditulis adalah apa yang ada di dalam pikiran, di dalam hati, di dalam sanubari. Meskipun semua itu pada dasarnya hanyalah uneg-uneg.

Apa terlihat sekali kalau aku tidak punya teman curhat manusia?

Sejujurnya di dunia ini tidak ada satu manusia pun yang kupercayai untuk melampiaskan uneg-uneg di dalam hati. Hey, tidak ada satu pun manusia yang bisa dipercaya. Orang lain terlalu mudah menilai, terlalu mudah memberi cap, terlalu mudah merasa mengerti padahal tidak paham apa-apa. Orang lain kadang merasa terlalu percaya diri ketika dicurhatin. Kadang-kadang ada juga yang saat dicurhatin suka nyahut. Hello, orang curhat butuh didengarkan bukan disahut!

Akhirnya sudah lama jiwa ini menyerah untuk mempercayai manusia sebagai tempat curhat. Mungkin juga pada dasarnya aku terlalu pemalu untuk mengutarakan perasaanku pada orang lain.

Sejak SMP aku suka menulis diary. Menulis hal-hal yang terjadi dalam satu hari atau beberapa waktu menjadi sesuatu yang menyenangkan. Aku bisa berekspresi sesukaku, tidak ada yang menginterupsi, tidak ada yang menatap dengan pandangan miring, tidak ada yang mencapku terlalu ribut.

Aku bisa memahami bila orang lain tak bisa paham. Jadi, maklumi aku yang hanya bisa menulis. Aku ingin mengutarakan saja semua yang kurasakan. Tak peduli siapa yang membaca dan apa tanggapan pembaca. Aku hanya ingin menulis.

Jumat, 18 Agustus 2017

I Forgive You

Kali ini tentang mantan.

Beberapa waktu lalu, aku melihat status mantan di facebook. Melalui statusnya itu aku tahu bahwa dia masih merasa tidak puas dengan keputusan sepihakku untuk putus, meskipun dia sudah menerimanya, mungkin tidak seratus persen. Padahal sudah cukup lama rasanya. Mungkin terlalu banyak hal yang dia sesali, mungkin selama denganku dia mengorbankan terlalu banyak hal sehingga menjadi sulit melepaskan diri. Aku bisa memahami itu. Aku juga pernah mengalaminya sekitar 8 atau 9 tahun yang lalu. Apa aku sudah menjadi lebih dewasa sekarang, aku sama sekali tidak tersulut untuk membalas, untuk membuat pembenaran, dan terlebih-lebih aku tidak merasa kasihan. Tunggu. Mungkin bagiku tidak tepat kalau mengatakannya sebagai rasa kasihan karena di dalam diriku aku menyesalkan juga mengapa hubunganku dan dia berakhir seperti ini. Butuh 9 tahun bagiku untuk menghadapi hal-hal seperti ini, untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana menanganinya. Tuhan tahu bahwa aku sangat lelet dalam hal-hal seperti ini, tidak heran beliau memberiku banyak ujian.

Aku menyayangkan status mantan. Kupikir semua sudah clear saat itu. Kapan itu? Awal Mei? Bukankah itu sudah hampir 4 bulan yang lalu? Dia baru membahasnya sekarang? Baru merasa galau sekarang? Baru sadar sekarang? Apa itu berarti bahwa dia juga tipe yang lambat? Yang berarti juga dia belum lulus dari ujian yang sama? Hanya Tuhan yang tahu. Tapi, terlepas dari semua itu, aku merasa lega. Aku lega sudah tidak berpacaran dengannya lagi. Meskipun aku akan dicap buruk oleh teman-temannya, oleh keluarganya, oleh orang tuanya, oleh orang yang hanya sekedar kenal dengannya atau denganku. Itu tidak apa-apa. Toh bukan mereka yang merasakan. Bukan mereka pula yang membuatku kenyang, atau terbebas dari panas dan hujan. Tapi, untung juga ada orang yang peduli pada mantanku untuk berbagi cerita, meskipun itu adalah cerita sedih. Dan aku mungkin perlu mengingat-ingat kapan terakhir kali dia menceritakan hal yang membahagiakan. LOL
Entah kenapa dalam memoriku yang tersimpan hanyalah perasaan berat, entah dimana lembaran memori yang memberi rasa ringan. Yang kuingat hanya keluhan-keluhan. Tapi, aku juga ingat banyak sekali pengorbanannya.

Aku mungkin tidak tahu berterima kasih, tapi aku tidak berpikir bahwa adalah hal yang baik mempertahankan sebuah hubungan hanya karena rasa terima kasih.

Aku saja yang mungkin menjadi tidak paham. Esensi sebuah hubungan adalah untuk menjadi bahagia. Bahkan bila hubungan itu harus berakhir adalah juga demi kebahagiaan. Jadi, intinya sekarang, hanya aku yang ingin bahagia. Maka dari itu hanya aku sendiri yang mengetahui hal-hal yang akan membuatku bahagia. Tapi, bahagiaku ternyata tidak serta merta membuat orang lain juga bahagia. Contohnya adalah mantan.
Dia tidak paham akan arti sebuah kebahagiaan bagiku. Aku juga tidak paham arti kebahagiaan baginya. Sekarang aku menyadari bahwa kebahagiaanku bukan kebahagiaannya. Aku menyesalkan hal itu.

Aku merasa beruntung telah melepaskan diri darinya. Kalau tidak, mungkin hidupku akan terus berada dalam tekanan.

Sebenarnya, aku benar-benar tidak paham hal-hal apa yang bisa membuatnya bahagia. Selama denganku dia tidak pernah mengatakan tidak bahagia, tapi ketidakbahagiaannya mungkin bukan karenaku. Selama ini dia dalam tekanan yang secara tidak langsung membuatku merasa tertekan. Dia mengeluhkan bisnis kecil-kecilannya yang selalu tidak dapat untung. Itu membuatku khawatir, aku mengkhawatirkan tentang masa depanku bila nantinya menikah dengannya. "Apakah dia akan terus-terusan mengeluh?" Selalu itu yang terpikir olehku. Seolah aku tidak paham kondisinya. Oke, mungkin aku memang tidak paham. Aku tidak paham dimana letak bagusnya mengeluhkan masalahmu pada orang yang notabene ingin kamu nikahi. Mengeluhkan masalah keuangan, masalah bisnis, kondisi keluarga yang secara ekonomi memang tidak mampu, sementara disisi lain menikah membutuhkan banyak biaya. Ah, aku benar-benar tidak tahan. Semua itu membebaniku. Dia tidak pernah paham. Padahal aku sudah mengatakannya berkali-kali, bahwa aku tidak suka dia mengeluh. Anehnya dia mengatakan dia hanya ingin curhat. Dia ingin orang yang dia cintai memahami kondisinya. Oke, anggap saja aku tidak bisa memahami, jadi tolong jangan curhat padaku. Memangnya apa gunanya curhat dengan orang yang tidak bisa memahamimu?
Aku masih bisa mencoba untuk lebih memahami. Aku juga mencoba memikirkan solusi, tapi pada saat bersamaan solusi apapun terasa buntu. Dia tidak mengerti bagaimana jalan pikiranku dan aku juga tidak mengerti jalan pikirannya.

Mungkin permasalahannya cuma satu, apa yang dia rencanakan tidak sama dengan apa yang kurencanakan.

Dalam pikiranku, saat menjalin hubungan lagi dengannya, aku ingin ini untuk yang terakhir kali. Aku tidak ingin lagi mempedulikan apakah ke depannya aku hidup bahagia atau tidak. Aku ingin tidak terlambat menikah. "Paling tidak, enam bulan lagi aku pasti akan dinikahi." Pikirku yakin. Toh aku dan dia sudah pernah gagal sebelumnya, aku yakin kali ini pasti akan ada perubahan, akan ada kemajuan, akan ada sinkronisasi.
Lalu apa?
Enam bulan berlalu begitu saja.
Nyaris tanpa tanda.
Hanya ada wacana.
Aku mulai gelisah. Aku sudah mengorbankan waktu dan tenaga menunggu selama enam bulan. Oke, akan kutunggu sedikit lagi, paling tidak 3 atau 6 bulan ke depan akan ada kabar. Paling tidak pembicaraan tentang tanggal.
Lalu apa? Hampir setiap hari aku harus mendengar keluhan tentang seretnya kondisi keuangannya. Tentang tidak berkembangnya toko rintisannya. Tentang usahanya mencari pinjaman untuk bisa menikah, tentang hal-hal yang harus dilakukan agar aku dan dia bisa menikah. Paling tidak, pada saat itu aku bisa memaklumi kondisinya, ya tidak perlu acara besar, bahkan upacara pun sederhana saja asal sah, menikah di Griya pun aku tak masalah. Meskipun itu bisa saja menjadi hal yang paling nista yang akan dilakukan orang di keluargaku. Aku tidak masalah. Yang kumau hanya disahkan sesegera mungkin. Aku malu dengan usiaku yang semakin tua, aku malu pacaran lama-lama tanpa kepastian, aku malu melajang. Apapun akan kujalani demi menghindari cap "perawan tua".
Itu yang kupikirkan saat itu.
Sampai pada suatu hari, saat aku membahas mengenai pernikahan dengan dia, aku merasa ada ketidakikhlasan darinya ketika menerima bahwa aku tidak mau pindah tempat kerja. Saat itu mungkin akar permasalahannya. "Kalau aku tinggal disana aku kerja apa?" Dia bertanya seolah pikirannya mulai buntu.
Dalam hati aku terkejut, "Hah? Dia mempertanyakan pekerjaan padaku?" Bahkan kalau dia tidak bekerja dan hanya mengurus kebun di tempat yang kutinggali saja aku tidak masalah. Mau dia jadi kuli bangunan, jadi pegawai swasta, atau menerima tawaran ibuku membuka toko disini juga aku tidak masalah. Ibuku yang memberi ide untuk mengajaknya tinggal disini dan bersedia membuatkan lapangan pekerjaan. Tapi, dari cara dia bertanya, aku merasa seolah dia mendapat tekanan hebat. Pada saat yang sama semua rencanaku dan ibuku seolah retak sedikit demi sedikit. Tidak bisa diharapkan. Dia bahkan tidak bisa memikirkan pekerjaan apa yang akan dia lakukan bila pindah ke tempatku. Saat kuutarakan niat ibuku untuk membuatkan toko untuknya, entah apa jawabannya, aku bahkan tak ingat. Aku tahu dia tidak senang. Dari gelagatnya aku sudah menyadari dia punya keinginan untuk memiliki pekerjaan selevel denganku. Gajiku tidak besar tapi konsisten.
Lalu tawaran itu datang.
Dia mengatakan padaku bahwa dia mendapat tawaran untuk menjadi sekretaris desa atau apalah, yang katanya selevel pegawai negeri sipil. Saat itu, aku sudah mulai hilang harapan. Aku yakin dia akan menggunakan alasan pekerjaan itu untuk menarikku kesana kalau seandainya dia menerima pekerjaan itu. Maka dari itu aku memberinya pilihan, "Aku rasa aku tidak perlu mengulang lagi keputusan bulat yang sudah kukatakan. Kalau kamu menerima pekerjaan itu maka aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini."
Kupikir semua sudah clear pada saat itu. Tapi, ternyata tidak semudah itu berbicara dengan dia. Aku tahu dia sangat menginginkan pekerjaan itu. Sebenarnya aku sangat yakin dia akan memilih pekerjaan itu lalu ya sudahlah, berarti dia bukan jodohku. Karena aku yakin sebenarnya dia tidak ikhlas ingin tinggal disini. Aku telah memberikan dia tekanan yang begitu hebat, yang mungkin dirasakan oleh pria yang akan "nyentana" padahal dia tidak dalam status itu.
Berkali-kali dia membahas mengenai peluang pekerjaan itu, berkali-kali pula aku memberinya pilihan yang sama, meskipun sebenarnya aku sudah bosan, dan dalam hati sudah dongkol memikirkan betapa lambatnya sistem problem solvingnya, dia bahkan tidak tahu mana prioritas dalam hidupnya. Aku bahkan sudah menyarankannya untuk menerima pekerjaan itu, dengan resiko berpisah denganku. Sebenarnya aku merasa senang saat itu, "akhirnya aku punya alasan untuk mengakhiri hubungan buntu ini" hati kecilku berkata.
Tapi, dia berkata telah menolak tawaran itu. Astaga. Teriakku dalam hati. Apa itu artinya dia ingin mengatakan bahwa dia rela mengorbankan apa saja demi aku? Tapi, kenapa aku merasa tidak senang?
Alasannya mungkin terdengar rumit. Aku tidak paham dengan jalan pikiran orang yang tidak mempunyai mimpi. Dia sepertinya salah satunya. Mungkin dia mempunyai mimpi hanya saja mimpinya terlalu sulit untuk diwujudkan. Lalu dia beralih pada hal-hal lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan mimpi itu. Aneh. Dia tidak punya passion. Dia berpatokan padaku. Seandainya dia anakku, aku mungkin akan merangkulnya dan memeluknya erat, lalu memberikannya arahan menuju mimpinya. Tapi, ini berbeda. Dia seorang pria dewasa yang seharusnya bisa lebih memikirkan mana yang baik untuknya. Lalu kenapa, meskipun dia tidak ikhlas dia berkorban untukku. Dia tampak tak bahagia. Terlihat dari pembahasan mengenai hal yang sama (lagi) -tentang pekerjaan sekretaris desa- yang tampaknya belum move on padahal sudah dia tolak. Dia menyatakan penyesalannya, padaku. Aku turut menyesal. Aku sedih. Aku terpukul. Aku menangis dengan perasaan menderita. "Kenapa aku dihadapkan lagi dengan hal semacam ini dari orang yang sama?" Tanyaku dalam hati dengan perasaan yang hancur karena merasa telah membuat orang lain tidak bahagia. Aku telah membuat seseorang menjadi tidak bahagia karena memilihku. Itu benar-benar membebani. Seolah ada berton-ton beban yang menimpaku. Dia tidak akan paham rasanya. Karena selama ini yang dia lakukan hanyalah menuntut dariku, menuntut agar aku berfokus padanya, mencintainya, tidak lagi memikirkan mantanku yang sebelumnya (memangnya kapan aku memikirkan mantan? -seolah dia tahu segalanya tentangku, padahal dia sama sekali tidak tahu apa-apa). Kalau dia tahu, dia tidak akan curhat hal-hal yang bagiku tidak penting itu. Kalau dia tahu, dia tidak akan mengeluhkan masalah-masalah sepele di tokonya padaku. Kalau dia tahu, dia tidak akan meminta pertimbanganku untuk menerima pekerjaan penting itu atau tidak. Kalau dia tahu, dia seharusnya rela melepasku. Dia seharusnya tahu aku sudah meneriakkan alarm darurat untuk segera dinikahi.

Dia seharusnya menyadari bahwa aku tidak bahagia.

Setelah masalah pekerjaan sekretaris desa itu usai meskipun masih sering dibahas olehnya sehingga membuatku muak, dia sertakan pula masalah keuangan dalam pembahasan. Dia sudah berusaha mencari pinjaman tapi belum berhasil. Oke aku bisa bersabar. Karena hal ini sudah dibahas berkali-kali aku sudah hapal. Entah kenapa semua itu harus dibahas berkali-kali. Aku nggak bodoh. Diberitahu sekali saja rasanya sudah cukup bagiku, aku paham, fix, selesai masalah. Sudahlah nggak udah dibahas lagi, cukup.
Tapi apa?
Aku merasa diriku dianggap terlalu bodoh untuk bisa memahami kondisi keluarganya. Kadang aku berpikir, sebenarnya jawaban apa sih yang dia harapkan? Karena sepertinya aku tidak pernah menjawab dengan benar. Apa seharusnya pada saat itu aku mestinya mengatakan, "Bagaimana pun kondisi keluargamu, aku bisa paham, aku menerima kamu apa adanya, aku mencintai kamu, aku rela melakukan apapun demi kamu" begitu? Lalu dia akan kembali lagi membahas masalah dari awal? Ya Tuhan, ampuni aku. Aku tidak akan mengatakan hal segamblang itu. Apa tidak cukup jelas dari "penerimaan-penerimaan" yang sudah kulakukan selama ini? Menikah di griya, oke. Tidak ada pesta, oke. Upacara sederhana, oke. Keluargaku tidak punya, oke. Kami tidak punya tanah, oke. Sawah yang kami garap adalah sewaan bukan milik kami, oke. Semuanya, oke. Apalagi? Itu tidak cukup? Memangnya apa yang pernah aku tuntut?

Untuk kesekian kalinya, aku merasa diperlakukan seperti orang idiot olehnya.

Pernah suatu kali aku mengatakan aku tidak bahagia. Dia bertanya, "Apa sih yang menyebabkan kamu tidak bahagia?" Lalu, hal yang menurutku riskan itu berujung pada, "Kenapa sih masih mengingat-ingat tentang mantan?"

"Hah?"

Oke, aku menyerah. Aku tidak paham. Cukup. Tidak usah dibahas. Lalu dia mulai mengoceh lagi. Demi Tuhan, aku ingin hubungan yang damai. Yang tanpa prasangka, tanpa curiga, yang tanpa pertengkaran, yang bisa sejalan, yang seiya sekata, tapi mungkin memang bukan jalannya aku menemukan hubungan semacam itu. Aku merasa buntu.
Suatu hari, di tengah kebuntuan itu, aku mulai mendapatkan pikiran-pikiran aneh. Tidakkah hubungan ini menjadi penghambat bagiku untuk bertemu jodohku? Atau lupakanlah mengenai jodohku (karena kupikir aku tidak akan pernah jatuh cinta dalam hidupku), bagaimana dengan dia? Mungkin saja di luar sana jodohnya telah menunggunya. Tidakkah keberadaanku menghambat jalan jodohnya? Abaikan tentang jodohku yang entah berada dimana, dengan siapa, dan apa yang sedang dia lakukan. Bagaimana dengan dia? Aku tidak bahagia dengannya. Bukan berarti dia tidak boleh bahagia. Aku ingin dia bahagia. Aku ingin dia mendapatkan apa yang dia inginkan, yang tidak mungkin dia dapat dariku. Aku ingin dia menikmati hidupnya. Aku ingin dia bahagia dengan orang yang bisa mencintainya dengan tulus. Aku ingin dia merasakan kebahagiaan dalam sisa hidupnya. Aku tidak ingin dia membuang-buang waktu denganku, menjalani hal yang jauh dari nuraninya. Aku ingin dia melakukan hal-hal yang dia suka.
Abaikan tentangku, tentang mimpiku untuk menikah sebelum usia 29, tentang mimpiku untuk memiliki anak di usia 30, tentang mimpiku memiliki keluarga kecil yang bahagia, tentang hidup yang penuh dengan senyum dan tawa tanpa beban, tentang hal-hal yang ingin kulakukan setelah menikah. Lupakan semua itu. Saat itu aku benar-benar merasa tidak membutuhkannya lagi. Aku ingin sendirian. Aku ingin melepas semuanya. Semua rasa jenuh, beban, bosan, muak, tersakiti, kegelisahan, kebuntuan. "Ikhlaskan semuanya", bisikku dalam hati sambil menangis. Mungkin belum saatnya. Kucoba menguatkan diri.
Abaikan semua gunjingan orang, abaikan usia yang semakin tua, abaikan harapan orang tua, abaikan harapan adikku yang sudah siap menikah, abaikan semuanya. Ikhlaskan. "Kamu berhak meraih kebahagiaan". Setelah sekian lama, aku mengucapkan kalimat itu lagi. Kalimat yang sebenarnya sangat egois. Sambil berlinangan air mata, aku menguatkan diri. Kutahan rasa sakit, rasa kecewa, rasa penyesalan, semuanya. Aku bukan siapa-siapa yang berhak membuat orang lain menjadi tidak bahagia. Aku bukan siapa-siapa yang berhak membuat orang lain mengorbankan banyak hal untukku. Aku bukan siapa-siapa yang membuat orang mencintaiku dengan membabi buta. Aku tidak pantas. Semua hal itu terlalu berharga bila untuk orang sepertiku. Aku tidak seberharga itu untuk diberi banyak pengorbanan.
Mimpiku adalah meraih kebahagiaan.
Aku tidak bisa mewujudkannya bila terus bersama dia. Dan aku mulai tidak yakin bahwa dia akan bahagia bersamaku.
Paling tidak aku paham bagaimana rasanya ketidakbahagiaan dalam sebuah hubungan. Ada contoh nyata dalam hidupku. Dan mereka masih hidup. Lihat bagaimana mereka hidup. Mereka hidup dalam satu atap tapi sama-sama tidak bahagia. Orang tuaku.
Aku hanya merasa bila hubunganku dengannya dilanjutkan, bahkan bila aku harus memaksakan diri menikah dengannya, aku yakin keadaanku dan dia akan sama seperti keadaan kedua orang tuaku. Tidak ada keseimbangan. Tidak saling mendukung. Saling mencurigai. Tidak bisa saling memahami. Tidak pernah seiya sekata. Seperti ada tembok transparan tebal yang memisahkan mereka.
Aku tidak menginginkan hal seperti itu terjadi.
Pada saat itulah, keputusanku bulat untuk berpisah dari dia. Dia berhak meraih kebahagiaan. Aku juga berhak meraih kebahagiaanku sendiri.
Itulah yang menjadi tolok ukur keputusan itu.
Itulah bagaimana aku dengan begitu cepat dan tepat mengakhiri sebuah hubungan, dengan melalui pemikiran panjang, melihat dari berbagai sudut pandang. Lihat sisi positifnya.
Pada saat itu aku juga telah memikirkan bahwa selama beberapa waktu aku harus tahan dengan rengekan, curhatan di sosial media yang membicarakan tentang keburukanku, keluhan, tangisan, banyak hal buruk yang akan menimpaku, tapi, semua itu akan berakhir suatu saat nanti. Karena aku memiliki keyakinan bahwa setiap orang menghadapi kegagalan untuk suatu saat siap menghadapi kesuksesan.

Suatu saat nanti, entah kapan. Aku berharap dia bahagia bersama orang lain yang mencintainya dengan setulus hati.

Aku telah memaafkan semua pengorbanan sia-sia yang telah aku dan kamu lakukan selama ini. Aku telah memaafkanmu untuk waktu yang telah terbuang, bukan tanpa arti, karena ini memberikan pelajaran bagiku, entah bagimu.
Aku memaafkanmu atas sakit, kecewa, lelah, semua perasaan negatif yang telah kamu ciptakan untukku, meskipun itu tidak kamu sadari. Semoga maafku akan membukakan jalan jodohmu.
Terima kasih karena kamu pernah hadir dalam hidupku. Terima kasih kamu pernah memberikan harapan-harapan besar dalam hidupku. Terima kasih kamu telah berkorban begitu banyak untukku. Terima kasih atas pengalaman yang berharga ini. Ini menjadi pelajaran bagiku.
Maafkanlah aku telah mengecewakanmu. Maafkanlah aku agar pintu jodoh terbuka untukku.

🙏

Selasa, 15 Agustus 2017

Anata no Sobani Itai

Melalui blog-mu aku tahu kamu sedang sakit. Memang sejak beberapa hari belakangan ini aku merasa ada yang aneh.
Beberapa waktu lamanya, kamu yang biasanya menulis blog lebih dari dua kali sehari sudah seperti kebutuhan makan bisa-bisanya tidak update. Saat itu aku merasa janggal.
Atas dasar ketidaktahuan, temanku pun tidak memberi kabar tentangmu, akhirnya kamu mengupdate blog dan mengatakan diri sedang demam tinggi.
Aku tidak bisa melakukan apa-apa.
Aku ingin sekali berada disana, disisimu saat kamu sedang sakit.
Kamu membutuhkan seseorang, meskipun itu bukan aku, aku ingin ada orang yang menjagamu.
Apa yang harus kulakukan?
Hontou ni, anata no sobani itai.
Suki na hito, odaijinishite kudasai.

Minggu, 13 Agustus 2017

Hey Kamu, Orang Yang Terikat Benang Merah Denganku

Apakah itu kamu?
Yang muncul di mimpiku, memegang tanganku.
Apakah itu kamu?
Orang yang terikat benang merah takdir denganku.
Apakah itu kamu?
Orang yang sepanjang hidupku kutunggu.
Apakah itu kamu?
Belahan jiwaku yang telah lama terpisah.

Apakah pada akhirnya kita akan bersama?

Sebenarnya aku diliputi keraguan, apakah benar mimpi berjalan denganmu lalu kamu memegang tanganku berarti kamu adalah jodohku, atau aku akan segera bertemu jodohku. Apakah jodohku mengambil wujudmu dalam mimpiku? Atau dia benar adalah kamu. Aku tidak yakin 100%. Aku tidak pernah yakin sepenuhnya. Tapi, jauh di dalam hatiku yang terdalam, aku percaya akan satu hal. Bahwa kita dipertemukan oleh takdir. Entah takdir itu sebagai pasangan yang terikat benang merah, atau hanya ikatan hutang masa lalu. Tapi, aku mempunyai firasat yang kuat saat membaca tulisan dalam blogmu. Bagaimana perjalanan hidupmu membawamu sampai di tempat ini, bertemu dengan orang yang kukenal, hingga akhirnya kita bisa berkenalan dan bertatap muka. Bukankah ini hal yang luar biasa? Aku jatuh cinta padamu bahkan sebelum kita bertemu. Ada perasaan aneh yang kurasakan. Tapi, aku tidak paham apa itu.

Aku dan kamu, seperti apapun kita nanti, aku sedang berusaha mengikhlaskannya. Bila seandainya bukan kamu orangnya, aku hanya bisa mensyukuri semuanya, setidaknya aku bisa memahami apa yang disebut jatuh cinta. Meskipun begitu, aku juga tidak tahu berapa persen perasaan jatuh cinta yang kurasakan. Aku belum pernah mendapat ujian itu. Setidaknya selama ini, sejak aku mengenalmu, ada banyak hal yang berubah dalam diriku. Aku mulai mengurangi berpikiran negatif, berusaha menjadi positif, menjadi lebih banyak tersenyum, menjadi lebih ingin menjalin silaturahim dengan sahabat, kerabat, menjadi banyak bersyukur, dan sangat sedikit mengeluh. Aku menjadi pribadi yang lebih baik, kurasa. Kecuali bila kita membicarakan mengenai tindakan sehari-hari. Aku masih pribadi yang malas. Lol.

Aku meyakini bahwa pertemuan kita adalah takdir.

Bila saja kita bertemu di waktu-waktu sebelumnya, aku yakin perasaan yang kumiliki saat ini tidak akan pernah terjadi. Kamu tahu, Tuhan tahu benar bagaimana mengatur segalanya. Dia tahu benar pribadi macam apa aku ini. Aku yang harus banyak belajar dari pengalaman, harus melalui berbagai macam hal untuk dapat lebih memahami tentang satu hal. Aku memahami sesuatu dengan sangat lambat. Bahkan untuk memahami bahwa yang kubutuhkan adalah perasaan jatuh cinta dengan pasangan saja butuh waktu bertahun-tahun dan menjalani dengan berbagai macam orang. Hanya pada saat aku pacaran untuk pertama kali di usia menjelang akhir 20 tahun aku pernah merasa hidupku sempurna. Hanya saja saat itu aku belum dewasa. Diriku yang labil belum saatnya bertemu denganmu.

Masa-masa awal hingga pertengahan umur 20an adalah masa yang penuh dengan ketidakpastian. Yang kulakukan adalah penerimaan. Seperti yang banyak orang katakan padaku, lebih baik dicintai daripada mencintai. Jadi, aku mengabaikan rasa jatuh cinta. Tanpa jatuh cinta, aku berusaha mencintai seseorang yang notabene mencintaiku. Sampai pada titik dimana aku merasa sedang membuang-buang waktu. Aku telah membuang waktu berharga baik itu waktuku maupun waktu orang lain.

Terhadap mantan pacar yang terakhir, yang katanya sudah siap untuk meminang namun selalu mengeluhkan biaya pernikahan, yang membuatku selalu berpikir bahwa bagiku dia telah banyak berkorban, dan telah banyak menderita, tetapi justru itu menjadi senjata yang membuatku berpikir bahwa hubungan itu tidak sehat. Harapannya supaya aku bahagia tapi justru segala macam usaha yang dibarengi keluhan itu membuatku merasa sebaliknya. Aku tidak bahagia diperlakukan seperti itu. Hatiku menangis menahan perasaan tidak bahagia itu. Seperti ada beban berton-ton di dalam dadaku, aku sulit bernapas, kemana pun kakiku melangkah seperti menemui jalan buntu. Tidak tahu kepada siapa aku mengadu. Tidak bisa membagi beban itu dengan siapapun.
Sampai pada akhirnya setelah melalui proses berpikir yang panjang, keputusan untuk mengakhiri hubungan itu membulat sempurna. Yang kupikirkan saat itu hanyalah, "lebih baik sekarang sebelum semua menjadi sangat  terlambat". Saat itu aku tidak peduli, umur yang sudah semakin tua, pandangan orang tentangku, pandangan orang tuaku, pikiran orang lain, aku tidak ingin memusingkannya. "Aku punya hak untuk merasa bahagia. Lebih baik hidup sendiri daripada hidup berpasangan tapi tidak bahagia". Orang tuaku adalah sampel yang sempurna untuk situasi itu. Mereka bersama tapi sama-sama tidak bahagia.
Apakah hal itu yang kemudian membuatku terobsesi dengan perasaan bahagia?
Entahlah.

Yang kutahu, di saat hati ini melepas beban, merasa lega, datang temanku yang sudah begitu lama tidak kutemui, tak ada angin tak ada hujan, hanya kebetulan dia sedang libur, dia datang ke rumah membawa kabar tentang seseorang.

Setelah kupikir-pikir, ini seperti telah ditakdirkan. Tapi sekali lagi, entah takdir apa itu. Hal itu masih menjadi rahasia Tuhan.

Hey, kamu, orang yang terikat benang merah denganku, apakah itu kamu yang muncul dalam mimpiku memegang tanganku?
Jika itu kamu, balas messengerku! Lol.
Hahaha 😂

The Red Thread of Destiny

Adakah yang percaya pada "takdir benang merah"?

Kalau kamu percaya, berarti kita sama. Haha

Walaupun sulit dipercaya, tetapi dalam hati aku sangat yakin bahwa setiap manusia di dunia ini lahir dengan terikat pada benang merah dengan belahan jiwanya.

Ikatan itu tidak terlihat.
Tetapi, ikatan itu ada.

Aku selalu memikirkan mengenai hal ini sejak lama. Beberapa kali aku sempat menyerah untuk mempercayainya. Beberapa kali pula aku sempat mengabaikannya. "Untuk apa mempercayai hal yang belum tentu akan kita temui dalam hidup ini?" Itulah yang sering terlintas.
Meskipun, di dalam lubuk hati yang terdalam, aku masih mempercayainya, masih menunggunya, mempercayai bahwa "orang itu" pasti ada. Entah dimana dia saat itu, entah dia sedang bersama siapa, entah apa yang sedang dia lakukan. Aku percaya bahwa suatu saat, di suatu masa, di hari yang tepat dan saat yang tepat, aku pasti akan bertemu dengannya.

Mungkin dia sering muncul dalam mimpi mengambil wujud orang lain.

Sempat terlintas dalam pikiran, ketika memimpikan seseorang yang tak jelas wajahnya, "apakah itu kamu?" Pertanyaan itu muncul tiba-tiba. Ketika memimpikannya, ada perasaan lega di dalam hati. "Seseorang sedang berusaha menemukanku" atau "Seseorang yang ditakdirkan untukku, mungkin juga di saat yang sama sedang memikirkanku." Itu yang kupikirkan.

Apakah aku juga muncul dalam mimpinya?

Bisakah sinyal-sinyal itu tidak diberikan dalam waktu yang bersamaan? Sehingga, aku mungkin merasa tertarik duluan sementara dia mungkin masih berkutat dengan hal lain. Apakah aku terlalu memikirkannya sampai-sampai aku berpikir dialah orangnya? Atau apakah aku menerima sinyal yang salah?
Ketika mungkin dia muncul dalam mimpiku, aku penuh harapan, sementara dia yang tak terpikir sedikitpun tentangku belum memperoleh sinyal apa-apa? Bisakah sinyal itu datang bersamaan? Semacam kepercayaan yang sama? Mungkin?

Tuhan, aku sudah kebal dengan ujianMu. Sekarang aku telah menjadi sedikit lebih dewasa, apakah sekarang masih belum saatnya?

Selama hidup ini, selama 29 tahun lebih, aku mengalami berbagai macam hal yang kuyakin itu sebagai ujian dari Tuhan. Aku lahir di keluarga seperti apa, bagaimana aku dibesarkan, dengan siapa aku berinteraksi, dengan siapa saja aku menjalin hubungan, seperti apa hubungan yang kujalani, bahkan bagaimana reaksiku terhadap dunia, semua itu adalah hal-hal yang telah digariskan padaku. Aku memahami bahwa semua itu adalah untuk menjadikanku manusia yang lebih baik. Semua itu berasal dari Tuhan. Hal-hal yang terjadi di dunia ini, baik ataupun buruk, semua adalah ujian dari Tuhan. Maka tak heran, ketika aku mengalami masalah yang sama berulang-ulang, "ah, aku belum lulus dari ujian ini" itu yang terlintas dalam benak.

Ketika aku masih merasa gelisah tentang belahan jiwa, hatiku tak henti-hentinya memberikan pemberontakan. Hatiku dan otakku terlalu sering berseteru.

Hal itu beberapa kali terjadi.
Ketika menjalin sebuah hubungan yang sepertinya tidak akan berakhir bahagia, hatiku menangis. Entah kenapa, aku sadar betul tangisanku bukan karena aku merasa tersakiti. Aku hanya meratapi diri, merasa putus asa, merasa menemui jalan buntu. Begitu menyadari bahwa "ini tidak sehat", dengan usaha keras aku akan bangkit. Aku akan berdiri, memberanikan diri, ini harus diakhiri. Karena itulah, tak butuh waktu lama bagiku untuk move on. 

Pada kenyataannya, semua hal yang kualami di masa lalu memberiku banyak pelajaran. Lalu timbul sebuah kepercayaan di dalam diriku, "semua ini harus kualami, harus kujalani, harus kulalui demi masa depan".

Ketika bertemu dengan seseorang, baik itu yang menyenangkan dan tidak menyenangkan, baik ataupun buruk, aku mulai berpikir, "entah aku atau orang ini yang mempunyai hutang denganku di kehidupan sebelumnya, sehingga di kehidupan ini kami dipertemukan kembali". Aku mempercayai bahwa setiap orang di dunia ini memiliki ikatan yang tak kasat mata. Karena begitu banyak manusia di dunia, benang merah tanda ikatan itu mungkin saja bergesekan, berikatan, kusut, menjadi memusingkan, yang bukan ujung bertemu ujung mungkin disalahartikan, begitu banyak hingga butuh waktu lama untuk mencari solusinya. Aku kini berpikir, mungkin banyak juga orang yang tak bisa meluruskan benang merahnya dengan takdir hidupnya sehingga menerima begitu saja benang merah yang kusut. Mungkin itu penyebab banyak orang di dunia yang menjadi tidak bahagia.

Bilamana benang merahku tak kusut?

Kapan saatnya aku mengetahui bila benang merah yang terikat padaku sudah tak kusut lagi dan sudah menemukan ujung yang tepat? Kapan sebenarnya saat itu akan tiba? Bagaimana aku akan mengetahuinya?
Sampai saat ini, hal itu menjadi misteri.
Meskipun begitu, aku masih takut meminta pada Tuhan untuk bertemu dengan orang itu. Bagaimana bila ternyata orang yang ditakdirkan untukku bukanlah orang yang kucintai? Bagaimana bila orang yang kucintai saat ini sesungguhnya tidak ditakdirkan untukku?

Aku takut.

Jadi, sebenarnya aku belum lulus dari ujian ini.

Apakah begitu kusutnya benang merah takdirku sampai-sampai aku harus mendapat ujian terus menerus? Meskipun aku mengeluh lelah, aku masih tak mau menyerah. Aku percaya bila aku kuat Tuhan akan melakukan sesuatu untukku.

🌸

Sabtu, 12 Agustus 2017

Again! A Strange Dream Came to Me

A sign-like dream came to me.
It was strange.
My night full with dream these pass few days.
The other day,
I dreamt about the person I like honding my hand.
The after that,
I dreamt about my friend dan her family visit my house (hideout).
And just a while ago, a dream about my own self.
In my dream,
I lock the house door of my family house (my brother's house),
First, I lock the front door,
then maybe side door,
And then, I lock the back door.
All I could think in my dream, I lock the door so that there'll be way my father can enter the house because we leaving the house.
Just like how my mother did (in real life).
What is that suppose to mean?

Then, in my dream,
I was carrying a big basket with green things on my head.
While carrying thing, I walk on a small soil path
I was watched by someone from the back, but I feel like the watcher is me. Because I could see myself walking that path.
The path I was walking on is a small soil path with a lot of plant.
On the right side, there's a hill,
And on the left side there's a cliff.
Some of the things I was carrying fell to the ground.
I was angry to my mother who walked with me on the right, I told her help me take the things that fell back to the basket on my head.
I was angry because the things on my head was too many and heavy.
I couldn't take that fell things by my own self.
After my mother put the fell things to its place, I saw a path in front of me.
It was a bridge with a single and small wood and pipe(?).
That bridge connect a soil I stand and an island-like in front of me.
In my heart, with afraidness and anxiety,
"I have to walk that brigde" I said.
Then, without anymore long-thinking, I walked on that brigde.
While walking, I could hear the sound of waves, and I could see cloude.
Because it was really high.
Under me was a deep cliff,
But, I passed that bridge without problem.
It was a neverland-like island, or sangri-la-like (?).
Because the land is so high.

In that island, without anything on my head,
I walked on a road.
As I walk, the road I was walking on gradually higher to the top.
When I was at the top, I was standing while gaze to the sky.
Blue sky with a lot of cloude.
Then my eyes notice a moon-like thing hanging on the sky.
Was it a meteor?
It was round and rough.
I was about to take my phone, thinking that I'll take a photo of that thing while thinking of Masa.
I was thinking to show that thing to him.
That thing the slowly fell.
"Eh? It's falling!" I shout with panic.
I was thinking, what will happen if that moon-like thing fell to the ground?
But, that thing was falling slowly as it pass a club of cloude, gradually it looks bigger, and stop falling as it near the ground.
Then, that's the end of my dream.

I think, I understand what the meaning of that dream. I think, I am now, will somehow face my destiny. I'll walk a path that is fragile, dangerous, small, I'm afraid, scared, but I can evantually pass it to that island.
But, is it true? Is it really like that?
It is a sign from God.
I don't mind walking on that path, as long as I can pass every cliff, every waves, the hardness, afraidness, everthing.
To be with you (?).
The person I like.

I don't know why, but deep inside my heart I feel like you are the person who is destinied by redstring with me.
The person I was waiting my whole life.
But, I don't make any progress.
We don't make any progress.
So, what should I do?
Am I exaggerating thing?
Don't you have the same feeling?
Is it only on my mind?
Just my fantasy?
I'm afraid of having high hopes.
What should I do?