Sabtu, 11 Februari 2017

Aku Tidak Se-Desperate itu.

Aku tidak se-desperate itu untuk menikah. Hanya saja tekanan dari berbagai arah memaksaku. Aku juga sebenarnya berpikir sudah saatnya,  hanya saja mungkin kuasa Tuhan berkata lain. Aku bisa membuat rencana, tapi tak bisa menjalankannya sendirian.  Seandainya menikah bisa dilakukan seorang diri,  tentu aku tak perlu repot-repot menunggu.  Hari ini pun bisa.  Tapi, menikah sesungguhnya itu melibatkan 2 keluarga dan tidak dengan biaya yang sedikit.  Ketika pacarku bilang, "kita bisa menikah, hari ini pun kalo ada uang." Entah kenapa kalimat itu tidak melegakan.  Seperti berkata, "aku akan membeli mobil kalo nanti sudah kaya", lalu kapan kayanya? Aku bertanya-tanya,  kapan uang itu akan ada? Kalau seandainya dia mengatakan, "aku sedang mengusahakan supaya kita bisa cepat menikah", mungkin itu lebih baik. Tapi tetap saja rasanya tidak ada kepastian.  Di saat seperti ini aku hanya berpikir lebih baik tidak punya pacar, sehingga tidak ada yang kuharapkan dan sedikit kekecewaan yang kurasakan.  Aku juga tidak perlu merasa malu pada keluarga dan orang di sekitar. Sampai usia ini, punya pacar tapi tidak dinikahi, bahkan rencana pun tidak ada. Rasanya seperti tidak punya muka. Masih lebih baik ketika tidak punya pacar.
Saat punya pacar yang bilang siap untuk menikahi tapi menunggu sampai punya uang,  aku mulai berpikir, "apa sebaiknya aku mencari yang lain?" Setiap kali pikiran itu muncul selalu mempertimbangkan betapa sulitnya mencari orang yang bisa diajak membicarakan hobi. Di sisi lain aku berpikir, disini aku menunggu seseorang yang belum pasti akan meminangku atau tidak, apakah tidak memungkinkan di luar sana ada seseorang yang tengah siap untuk meminangku. Mungkin saja orang diluar sana itulah jodohku. Aku tiska percaya pada hal-hal seperti jodoh, belahan jiwa, cinta sejati dan lain sebagainya, tapi tetap saja aku mempertimbangkan hal itu juga, siapa tau hal-hal yang bersifat emosional itu benar adanya.  Aku mungkin terdengar egois, tapi aku juga memikirkan mengenai pacarku,  bagaimana jika seandainya bukan aku jodoh untuk pacarku. Bagaimana jika berhubungan denganku membuatnya jauh dari jodohnya? Sama seperti aku yang mulai menjauh dari jodohku?  Oh ayolah.. Semakin kupikirkan ini menjadi semakin masuk akal. Aku menjadi takut untuk menghalang-langi jodoh orang lain, karena itulah aku selalu berkata padanya, "bagaimana kamu saja". Aku berkata begitu sambil menyembunyikan maksud sebenarnya. "Ya bagaimana kamu saja, setiap keputusan yang kamu buat akan mempengaruhi keputusan yang kubuat, aku sudah memberi statement, seharusnya kamu mulai berpikir ke arah mendukung statement itu, karena aku tidak se-desperate itu untuk menikah dan itu pun juga tidak harus dengan kamu meskipun kamu adalah pilihan yang lebih baik".
Kalau saja tidak ada tekanan untuk menikah,  aku mungkin tidak harus segencar ini menegaskan apa yang ingin dan yang tak kuinginkan dalam sebuah pernikahan. Sedari jauh aku sudah memikirkan, kalaupun aku tidak menikah aku bisa menjadi orang tua angkat seorang anak, karena impianku bukan menjadi seorang istri tapi lebih kepada menjadi seorang ibu. Meski begitu alangkah baiknya bila aku bisa menjadi kedua-duanya. 
Mungkin aku kurang gencar, kurang tegas dalam menyampaikan maksudku, terlalu memikirkan kondisi pacar dan keluarga, berusaha bersabar. Ya, orang lain tidak melihat itu, jadi seharusnya aku bisa menahan perasaan malu dan kecewa ini lebih lama. Di saat aku sudah tertekan seperti ini, mana mungkin aku memberi penekanan pada pacarku yang kuyakin akan menjadi bumerang bagi diriku sendiri. Yang kuyakini, bukan jawaban melegakan nan menentramkan jiwa yang kudapatkan. Aku mungkin tidak punya tameng untuk berlindung. Memikirkan itu saja sudah membuat hati menjadi sakit apalagi kalo itu benar-benar terjadi. 
Aku tidak se-desperate itu untuk menikah, hanya saja tekanan di luar diriku jauh lebih besar, aku menjadi sulit menghela napas, tidak bisa memberi jawaban, tidak bisa memberi senyum nan tulus. Hanya ingin mengatakan "biarkan aku dengan hidupku! Stop mengurusi hidupku! Urusi urusanmu sendiri!" Ibarat gunung berapi, saat ini kalimat itu masih sekedar magma di dalam perutku. Suatu saat nanti bisa saja aku benar-benar akan memuntahkannya. Bila stok sabarku sudah habis.  😂