Minggu, 25 Februari 2018

If Only

Sudah beberapa kali terselip dalam angan, "jika saja aku bisa mengubah semua ini di masa depan".

Seperti yang kutuliskan dalam postingan sebelumnya bahwa usia terpanjangku mungkin hanya sampai 70-80 tahun. Itu berarti aku akan hidup sekitar 40-50 tahun lagi. Itu waktu yang sangat lama.

Aku telah memikirkannya. Aku tak menemukan hal berarti yang bisa kubanggakan dari hidupku saat ini. Meskipun begitu aku merasa cukup bersenang-senang dan ada sedikit guna meskipun aku merasa tidak lengkap. Orang melihat dengan sudut pandang yang berbeda jadi tidak akan pernah paham akan apa yang sebenarnya kurasakan dan kupikirkan. Aku mempunyai pekerjaan yang bagus, gaji yang bagus, memiliki hari libur, tapi aku merasa tidak memiliki apa-apa. Aku melakukan semua ini untuk diriku sendiri dan itu terasa tidak berarti. Aku mulai merasa lelah. Di tempat kerja mulai terasa tidak menyenangkan dengan rekan kerja yang entah kenapa mulai rutin memojokkan rekan kerja lainnya. Sejak kapan mereka seperti itu? Aku merasa seperti kembali ke tempat kerja lamaku. Aku tidak betah, merasa sendirian, merasa terpojok, padahal bukan aku yang mereka pojokkan, merasa mungkin di belakangku mereka juga memojokkanku. Entah sejak kapan auranya berubah sangat kelam. Aku menjadi mudah tersinggung dan mudah lelah. Apa mungkin sebenarnya hanya aku saja yang berada dalam kondisi psikis yang buruk? Entahlah. Mungkin aku perlu berubah sedikit.

Jika saja semua dapat kuubah di masa depan. Di masa depan nanti aku masih ingin menjadi diriku sendiri, dengan kepribadian seperti sekarang ini, dengan begitu kekurangan yang kumiliki, dengan begitu banyak pertanyaan, keluhan, protes dan pikiran-pikiran anehku, dengan begitu sedikitnya potensi yang kumiliki, sifat pasif yang tak bisa kutangani, dan dengan hati yang sekuat baja, ah tidak, untuk yang satu ini aku berbohong, hatiku sama sekali tidak sekuat baja. Hatiku lebih pada kaca, tapi aku berpura-pura bahwa itu adalah baja. Tak apa, aku mencintai diriku apa adanya.

Di masa depan nanti, mungkin 130 tahun lagi. Perhitungannya, paling lama 50 tahun lagi aku akan mati lalu mungkin aku akan butuh waktu sekitar 50-100 tahun kemudian untuk terlahir lagi. ika memungkinkan aku lahir sebagai manusia lagi, aku ingin lahir di keluarga ilmuwan. Aku akan menjadi ilmuwan yang bercita-cita menjelajahi luar angkasa. Space traveler. Jika pada saat itu bumi belum mengalami kehancuran total.

Dalam bayanganku, beberapa waktu di masa yang akan datang bumi akan mengalami pembaharuan zaman. Sebagian besar permukaan bumi akan mengalami perubahan penampakan. Tapi peradaban manusia akan tetap maju. Aku berharap di zaman itu manusia tidak meributkan persoalan agama dan kepercayaan. Juga, semoga tidak terjadi perang antar negara. Mungkin negara-negara di dunia akan bersatu saat itu menjadi sebuah union. Kuharap saat itu manusia bumi sudah menemukan teknologi untuk menumbuhkan tumbuhan di luar angkasa, atau teknologi lain yang bisa menciptakan oksigen agar manusia bisa hidup di planet lain.

Jika saja alam semesta menjadi tempat penjelajahan yang memungkinkan, aku ingin menjelajahi seluruh alam semesta. Aku ingin memiliki kapalku sendiri, menjelajahi luar angksa seorang diri.

Jika saja memungkinkan, kuharap di masa depan manusia masih memiliki moral, etika dan budi pekerti. Tapi aku juga ingin agar sains selalu dipertimbangkan dan bisa melegalkan beberapa hal. Karena di kehidupan ini banyak hal yang menjadi terhambat karena pertimbangan agama dan moral, aku harap di masa depan sains yang digunakan sebagai pertimbangan. Jika memungkinkan, aku berharap bisa menciptakan kloningan, atau melahirkan bayi tanpa menikah. Misalnya, aku tidak bisa menemukan pria yang kucintai, lebih baik aku hidup sendiri dan melanjutkan hidup dengan kloningan, atau bila ada pria yang kucintai tapi pria itu mencintai oang lain aku ingin dilegalkan melakukan program bayi tabung dengan sperma pria itu. Kalau hal seperti itu terjadi, munin tak kan pernah ada pernikahan ya. Karena, jika itu aku, yang kubutuhkan bukanlah seorang suami, tapi seorang atau dua oang anak. Dengan adanya hal seperti itu, ada berapa banyak impian wanita yang akan terwujud. Paling tidak impian wanita sepertiku, yang tidak memiliki harapan akan cinta.

Di kehidupanku yang sebelumnya, aku penasaran, visi masa depan macam apa yang kumiliki? Di kehidupan ini, apa aku telah memenuhi ekspektasi diriku di kehidupan sebelumnya? Siapa diriku di kehidupan sebelumnya? Apa waktu itu aku menikah dan hidup bahagia? Meskipun aku menanyakannya aku tidak akan pernah mendapatkan jawaban. Karena itulah, aku hanya akan nemikirkan masa depan.

If only it could be changed. 

Selasa, 20 Februari 2018

Aku Ingin Pindah ke Finlandia

Aku bahkan tidak tahu Finlandia itu dimana dan bagaimana kehidupan orang-orang disana, tapi aku punya feeling bahwa jika aku ingin pindah tinggal ke luar negeri maka negara itu adalah pilihan yang tepat.

Dari namanya saja sudah membuat hati merasa adem. Seandainya saja aku bisa pindah ke luar negeri, aku ingin pindah kesana, aku ingin menmukan pria Finlandia, menikah dengannya lalu mendapatkan green card sehingga aku bisa tinggal sepuasnya disana. Aku ingin menghabiskan hidup dengan pria yang penuh cinta, perhatian, dan mencintai sepenuh hati dan tulus. Meskipun pria semacam itu hanya ada dalam cerita romantis.

Kehidupan percintaanku aku yakin bukan cerita romantis. Mungkin cerita hidupku adalah komedi tragedi. Rasanya genre itu yang paling masuk akal. Setragis apapun kisah hidupku, aku yakin pasti ada hal lucu yang bisa membuatku tertawa. Suatu saat ketika aku mengenang kembali masa-masa yang telah kulewati aku pasti akan menertawakannya.

Saat ini aku merasa sangat patah hati. Hatiku terluka, tapi aku masih bisa tersenyum. Aku merasa bodoh dan konyol. Dan tiba-tiba saja terpikir kembali keinginan untuk pindah ke luar negeri. Perasaan yang sama ketika adik laki-lakiku menikah sebulan yang lalu. Aku ingin pergi ke luar negeri, ke mana pun, jauh dari negara ini, jauh dari semua yang mengenalku, mencari kehidupan baru, menemukan hal-hal baru dalam hidup. Aku ingin memiliki hidup yang baru.

Aku ingin pergi dari negara ini dimana orang-orangnya mulai terasa menyebalkan. Orang-orangnya yang mulai melihatku sebagai wanita 30 tahun yang belum menikah. Melihatku sebagai wanita 30 tahun yang tinggal sendiri dan berpikir bahwa aku menyembunyikan pria di rumahku. Oh ayolah, aku bukan manusia mainstream. Dan apalagi yang orang pikirkan tentangku, sebenarnya aku tidak peduli, hanya saja aku merasa diri ini menyedihkan.

Seharusnya aku cukup depresi untuk memutuskan menikahi siapa saja yang tertarik kepadaku, tapi kenyataannya apa. Di tahun 2017 sudah berapa pria yang kutolak? Mengawali 2018 saja aku sudah menolak seorang pria yang notabene sudah mendekatiku selama 3 tahun. Apa aku terlalu keras pada diri sendiri? Tapi toh aku telah membulatkan tekad. Yang kubutuhkan bukan pria biasa yang mencintaiku, aku butuh pria luar biasa yang dapat membuatku jatuh cinta kepadanya. Maksudku, pria seperti itu tidak mudah. Aku memang tidak mematok syarat apapun, cukup dengan modal perasaan "jatuh cinta" itu saja dulu, aku bisa memaafkan yang lainnya. Lagipula aku juga bukan manusia luar biasa yang bisa membuat pria jatuh cinta.

Kembali pada topik ingin pindah ke luar negeri. Aku tidak tahu apa-apa tentang Finlandia, aku hanya merasa negara itu adalah negara yang cukup bersih, aman, bermoral, manusiawi dan sehat. Dan kuharap bukan negara yang religius. Aku bosan dengan segala hal yang berbau terlalu religi. Entah kenapa kesannya selalu sok suci dan selalu paling benar. Aku tidak benci, hanya tidak suka saja.

Fantasiku tentang Finlandia mungkin akan semakin panjang dan lebar. Padahal mungkin aku bahkan tidak akan mungkin menginjakkan kaki di negara itu. Tapi, tetap berdoa dan berharap.

Jumat, 16 Februari 2018

Menikah Tanpa Cinta

"Aku dan istriku menikah tapi tidak saling mencintai", itu kata temanku beberapa hari yang lalu. Pria yang dulu pernah mendekatiku tapi kutolak.
Apa rasanya menikah tapi tidak saling mencintai? Aku pernah mencoba membayangkannya, bahkan pernah ingin melakukan hal yang sama. Hampir. Tapi, takdir berkata lain. Aku disadarkan oleh kata hati yang menjerit-jerit itu. Rasa sakit yang tak tertahankan. Yang pada akhirnya membuatku berada dalam situasi saat ini.

"Di dunia ini tidak ada yang namanya cinta, cinta tidak bisa membuat kita kenyang. Yang lebih dibutuhkan wanita bukan cinta tapi uang", temanku menambahkan.

Saat mendengarnya, aku hanya bisa diam. Dalam hati aku mulai mempercayai bahwa pria ini sebenarnya percaya pada adanya cinta hanya saja dia mungkin mendapatkannya dalam bentuk yang berbeda dari yang dia harapkan.
Mungkinkah aku juga akan mendapatkan hal yang sama seperti itu? Menikah dengan orang yang notabene tidak mencintai kita dan kita juga tidak mencintainya? Jika aku yang mengalaminya berapa lama hatiku akan bertahan, berapa banyak korban perasaan yang harus kulakukan, berapa banyak penyesalan yang akan kusisakan? Aku tidak bisa membayangkan hidup semacam itu.

Meskipun begitu, sampai pada dua tahun yang lalu, aku masih menggantungkan harapan pada logika dibandingkan perasaan. Tapi, sekeras apapun aku berusaha semua itu tidak mudah. Apa yang dilakukan, apa yang dikatakan, bertolak belakang dengan apa yang dirasakan. Aku merasa kosong, gelap, buntu, tanpa arah. Di dalam hatiku ini ada celah yang tak bisa menutup. Ada bagian yang hilang disana dan aku tidak bida menemukannya di manapun. Entah dengan apa harus kutambal. Sampai saat ini masih terus menganga dan itu mudah sekali terasa sakit.

Aku hanya berpikir untuk paling tidak, tidak membuatnya tersakiti terus menerus. Entah sejak kapan celah itu ada, dan entah karena apa celah itu menganga. Yang kutahu hanya ingin celah itu tertutup.

Kembali pada topik tentang cinta.
Sampai saat ini, aku tidak pernah memiliki gambaran yang sempurna tentangnya. Belum pernah ada kejadian dimana saat aku mencintai seseorang, orang itu balas mencintaiku juga, atau di saat seseorang mencintaiku aku bisa membalas cintanya.
Meskipun di dalam hati aku ingin sekali mengalami salah satunya.

Sejak dulu aku juga sering mengatakan bahwa aku tidak percaya pada cinta, bahwa cinta sejati itu tidak ada, bahwa cinta hanyalah omong kosong, tetapi sesungguhnya saat aku mengatakannya aku sedang berusaha menekan kejujuran hatiku. Sebebarnya aku adalah orang paling mengharapkan akan adanya cinta sejati.

Kenapa rasanya begitu menyakitkan mengingat nasihat teman-temanku tentang hubungan percintaan? Yang membuatku semakin sakit adalah karena aku merasa mereka sedang menekan hati mereka dan sedang menahan rasa sakit. Dan hal itu mengingatkanku akan rasa sakitku sendiri.

Jumat, 09 Februari 2018

Aku dan Diriku yang Jatuh Cinta pada Cinta

Hey Blog!
Aku mulai berpikir tentang bagaimana caraku menghadapi semua ini. Tidak! Bukan semua. Tapi hanya satu hal saja.
Karena aku telah berpikir berkali-kali tentang apa yang sebenarnya harus kulakukan menanggapi apa yang mungkin akan terjadi.
Aku tidak punya kepercayaan diri.
Sejak awal aku memulainya dengan rasa tidak percaya diri dan seharusnya itu membuatku tidak memiliki banyak harapan. Tidak banyak yang bisa kulakukan. Tidak ada yang bisa menolong selain diri sendiri. Rasanya begitu berat.
Aku bertanya-tanya apakah orang lain mungkin merasakan hal yang sama? Tapi, kasusku mungkin sedikit berbeda. Hanya saja aku masih terlalu pengecut dan masih sering ingin melarikan diri.
Selalu berpikir bagaimana cara agar membuat hatiku tidak begitu sakit. Berada dalam ketidakpastian dan keragu-raguan benar-benar bukanlah hal yang baik. Begitu menakutkan. Aku harusnya bisa melewati ini sejak lama kalau saja kesempatan demi kesempatan tidak kulewatkan begitu saja.
Dan berpikir bahwa ini hanyalah sebuah rasa yang timbul tanpa sengaja. Itu bukanlah jatuh cinta. Atau mungkin saja itu memang jatuh cinta. Hanya saja, aku mungkin jatuh cinta pada konsep cinta itu sendiri. Jadi sebenarnya kepada siapapun aku mungkin akan merasakannya asalkan orang itu memiliki passion yang sama.
Semudah itu aku jatuh cinta. Karena passionnya, karena mimpinya, karena harapannya.. tapi bukankah apa yang dia lakukan tidak sebanding dengan apa yang ada dalam fantasy-ku. Passionnya, mimpinya, harapannya, tidak seberharga itu.
Ayolah... aku telah membuka mata, aku melihat kenyataan tapi kenapa aku tidak merasa kecewa dengan ketidaksesuaian itu? Mata yang mana lagi yang harus kubuka?