Selasa, 03 April 2018

Sampai Nanti di Waktu Yang Tepat

Malam ini, ibuku mendapat telpon dari teman masa SDku yang saat ini notabene sedang mencoba mendekatkan jarak denganku. Dia dari kasta yang lebih tinggi dan saat ini sedang berada di Jepang sebagai TKI. Disana dia memiliki ipar seorang wanita Jepang.

Saat dia menelpon kebetulan aku sedang berada disamping ibuku dan mendengar percakapan mereka. Tak lama kemudian ibuku memberikan telpon itu padaku.

Aku tak memiliki banyak ingatan tentang orang itu di memoriku. Yang kuingat dia hanya teman SD. Aku dan dia mungkin sebelumnya belum pernah saling bicara. Bahkan aku bertegur sapa. Aku bahkan tak ingat kapan terakhir kali bertemu dengannya.

Dalam obrolan yang cukup panjang antar negara itu, dia sebenarnya sudah dengan jelas menyatakan bahwa dia memiliki ketertarikan padaku bahkan sejak masih kecil. Tapi, seingatku tak pernah sekalipun aku menyadarinya atau mendapat sinyal-sinyal itu. Mungkin karena aku terlalu tumpul atau tidak terlalu memperhatikan. Mungkin juga karena tak pernah ada pikiran tentang dia dalam benak ini.

Kalau saja ini 2-3 tahun yang lalu, mungkin aku akan dengan senang hati menerimanya tapi dengan pemikiran yang tidak matang dan perasaan yang abal-abal. Sudah setahun lebih aku membuat keputusan mengenai masa depanku. Aku mungkin bukan tipe manusia yang bisa memiliki hubungan romantis dengan manusia lainnya. Jadi, aku memutuskan untuk melepas semuanya, beban, harga diri, rasa tanggung jawab, semuanya. Aku sudah pasrah, tak mungkin bagi diriku untuk jatuh cinta, jadi tak mungkin relasi yang kujalani akan bahagia. Aku ingin merasakan hati yang penuh. Hati yang terisi. Di usiaku, tidak mungkin aku menemukannya. Maka dari itu, aku tidak akan menikah dengan orang yang tidak kucintai dari dasar hati.

Determinasi itu tertanam begitu kuat sampai saat ini. Bahkan saat aku menemukan diriku jatuh cinta dengan Masa, aku masih berpikir bahwa tidak apa-apa bila cinta ini tak terbalas, berarti bukan untukku. Meskipun rasanya mungkin akan melebihi dari rasa menyakitkan. Hampir setahun aku mengenal Masa, jatuh cinta dan berpikir bahwa ini mungkin bukan sesuatu yang akan terwujud dengan mudah. Kalaupun ada kesempatan dengannya mungkin saat itu sudah terlalu terlambat.

Lalu datang teman masa SDku ini.

Bagi ibuku, dia membawa angin segar.

Saat dia bertanya alasan aku belum menikah sampai saat ini. Aku tidak mungkin mengatakan hal yang sebenarnya. Tidak mungkin kukatakan tentang harapan besarku pada sebuah keluarga yang bahagia dan tanpa banyak masalah. Saking besarnya harapan itu aku menjadi takut kecewa dan terluka. Tak mungkin kubilang bahwa orang tuaku menjadi contoh nyata sebuah pernikahan yang tidak bahagia.

Aku hidup dalam keluarga semacam ini. Makanya bukan hal kebetulan bila aku akhirnya memiliki ketakutan-ketakutan tersendiri. Menjadi terlalu paranoid? Entahlah.. Dalam pikiranku aku terlalu sering berpikiran negatif, bahwa suatu hal yang mustahil untuk memperoleh kebahagiaan.

Mungkin sudah cukup diriku hidup dalam idealisme. Sudah saatnya aku memasuki realita. Maksudnya realita yang benar-benar nyata. Bisa juga dibilang, sudah cukup bermimpi. Sudah saatnya bangun. Apa selama ini aku menjalani kehidupan hanya untuk memahami hal ini?

Aku yakin bila saatnya tiba akan ada waktu yang tepat. Aku tak harus berada dalam kebimbangan. Aku tak harus selalu dipenuhi rasa penasaran. Aku juga mungkin tak perlu banyak menimbang-nimbang.
Sampai nanti di waktu yang tepat.