Baru saja saya mempublish fanfiction terbaru saya di fanfiction.net. Kali ini NaruHina.
-YOU
ARE THE ONLY-
Path
Of Destiny Side Story
NARUTO
is only belong to Masashi Kishimoto-sensei.
But,
this story is mine. :P
-
-
Pairing
NaruHina
-
-
-
Selamat
membaca :)
CHAPTER
01: I Don't Understand
(Naruto's
Side)
Hari
itu menjelang Natal. Sesaat setelah keluar dari Bandara aku mendongak
ke langit yang gelap. Yeah, butiran salju beterbangan dengan lembut
mengikuti arah angin. Rasanya sedikit kesepian ketika tak ada
siapapun yang menemaniku terlebih lagi kenapa aku harus membuat ayah
dan ibuku marah hingga aku ditelantarkan seperti ini? Sungguh
menyedihkan.
“Buuuuugghhhhh...!!!!?”
sesuatu eh seseorang tiba-tiba menabrakku menyadarkanku dari pikiran
bersalahku pada ibu, tapi sialnya aku terjatuh.
“Hei,
kalau jalan lihat-lihat, apa kau tidak punya ma~” secara reflek aku
terdiam, tanpa sadar aku menghentikan bentakan yang mungkin akan
keluar lebih banyak jika saja orang yang menabrakku bukan gadis ini.
Dan, yahh dia juga terjatuh dengan beberapa barang berserakan di
sekitar kami.
“Go~gomennasai...!”
gadis berambut keunguan itu menganggukkan kepalanya meminta maaf
padaku. Aku memaafkannya saat itu juga.
“Aahh...tidak
apa-apa. Kau pasti sedang buru-buru.” ujarku seraya bangkit. “Apa
kau terluka?” aku membantunya berdiri.
“Aku
tidak apa-apa. Ehh, seharusnya aku yang bertanya padamu. Maafkan atas
kecerobohanku. Kau tidak terluka 'kan?” dia bertanya dengan wajah
khawatir.
Dia
cantik dan manis.
“Ahh...!”
dia teringat pada beberapa barang yang berserakan ketika menabrakku
dan memungutnya. Aku membantunya. “Terima kasih,” ujarnya sedikit
gugup. Suaranya lembut dan sedikit ragu-ragu, tapi terdengar tulus.
“Hmm?!”
diantara benda yang kupungut ada sebuah kartu pelajar. “Kartu
pelajar ini... Kau murid Seirin Girl High?” Aku mengenali kartu
pelajar itu karena sepupuku Karin bersekolah disana.
“I~iya.
Aku baru pindah kesana sekitar 3 bulan yang lalu.” jawab gadis itu
sambil tersenyum ramah padaku. Aku menyodorkan kartu pelajarnya dan
beberapa benda yang kupungut padanya tentu saja setelah melirik nama
yang tercantum di kartu pelajar itu. Tertulis, 'Hyuuga Hinata'. Aku
akan mengingat nama itu dan akan menanyakan mengenai gadis ini pada
Karin. Tapi...
“Ahh,
kalau tidak keberatan.. Aku Uzumaki Naruto,” ujarku seraya
menyodorkan tanganku sambil tersenyum, menunjukkan keramahan.
“Aku
Hyuuga Hinata.” Dia membalas uluran tanganku.
“Hyuuga
Hinata...Senang berkenalan denganmu.”
“Iya.
Ahh maaf aku sedang buru-buru. Sampai bertemu lagi” dan gadis
lavender itu pun berlalu. Membuat ayah dan ibu marah lalu kabur dari
acara liburan keluarga ternyata bukan keputusan yang buruk. Meskipun
sekarang aku akan menjadi manusia termiskin di dunia. Tapi, itu tidak
menjadi masalah buatku. Sampai bertemu lagi katanya? Mungkin aku akan
bertemu dengannya lagi.
==oOo==
“Sasuke,
kau harus menolongku. Tolong kirimkan orang untuk menjemputku di
bandara. Aku kedinginan.” Aku tidak punya pilihan. Meskipun aku dan
si Teme sering berkelahi tapi dialah teman terbaikku selama ini.
Menelponnya adalah pilihan terbaik.
“Bukankah
kau sedang liburan ke Asia Tenggara??” tanya Sasuke dari saluran
seberang.
“Aku
sudah pulang dan sekarang aku butuh tumpangan. Aku tidak punya uang
karena kartu kreditku sudah diblokir. Di dompetku sekarang hanya ada
uang logam 100 yen. Bahkan untuk membeli minuman pun ini tidak
cukup,” ujarku memelas.
Terdengar
Sasuke menghela napas. Sesaat kemudian ia berkata, “Itu salahmu
sendiri..Tuutt tuutt...” tanpa permisi ia menutup telpon oh bukan,
ponselku lowbat??!!! Ooohhh lengkaplah penderitaanku hari ini.
Haruskah aku bermalam di bandara? Tanpa uang, bahkan ponselpun mati,
tanpa jaket, kedinginan, tanpa seorang pun yang menolongku. Sigh....
Hidup
ini benar-benar kejam. Bahkan ayah dan ibu pun kejam padaku. Aku
tidak ingin membahas ini tapi,...ini benar-benar di luar kendaliku.
Beberapa
jam yang lalu.
“Haaahhhh??!!
jangan bercanda untuk hal-hal seperti itu, Kaa-chan. Aku bertunangan
dengan Karin itu hal yang mustahil, itu tidak mungkin terjadi.
Hahahahaha..” baru saja aku mendengarkan pernyataan kedua orang
tuaku tentang pertunanganku dengan sepupuku Karin. Cewek kasar dan
pemarah itu? Yang benar saja. Tentu aku tidak menanggapinya dengan
serius.
“Apanya
yang tidak mungkin?” Suara Karin tiba-tiba mengusikku. Entah sejak
kapan dia mendengarkan pembicaraan kami bertiga. Aku menoleh padanya,
awalnya aku ingin mengatakan pertunangan itu hanyalah sebuah
kekonyolan yang dibuat-buat oleh ayah dan ibuku tapi melihat ekspresi
Karin membuatku mengurungkan niat itu. Tidak mungkin Karin.. Ah dia
tidak selemah itu. Aku yakin dia pasti menjebakku.
“Heh,
Naruto, apa sih salahnya menerima Karin sebagai tunanganmu? Lagipula
warna rambut ibu dan dia sama-sama merah. Kau menyukai warna rambut
ibu kan?” bentak ibuku dengan sorot mata seram. Menjebak!
“Aku
rasa kau sudah tidak bisa menolak, Naruto.” Ayahku turut ambil
andil, membela ibu tentunya.
“Tou-chan...”
aku memelas.
“Hiks”
Karin mulai menangis. Hei tunggu, kau tidak selemah itu. Kau yang
selalu berlaku kejam padaku tidak mungkin menangis hanya gara-gara
aku menolak pertunangan. Rencana apalagi yang kau buat untuk
menyiksaku?
“Meskipun
kau menangis, aku tetap tidak akan menerima pertunangan itu. Itu
sangat tidak mungkin!”
Buuuggghhhh!!!!
Tinju
ibuku bersarang di kepalaku.
“Itai
itai itai..” aku tersungkur sambil memegang kepalaku.
“Jangan
pernah membuat seorang wanita menangis, Narutoooo...!!!!” ujar
ibuku dengan penekanan pada namaku. Seram.
“Aku
mau pulang saja...!!!!” Aku berlari sekencang mungkin. Keluar dari
hotel, masuk ke dalam taksi, sampai di bandara, memesan tiket,
terbang dan tibalah aku di tempat ini. Sesaat setelah sampai, tepat
saat aku akan membeli sesuatu menggunakan kartu kredit aku tahu kalau
ternyata kartu kreditku sudah diblokir. Kalau sudah ada maunya ibuku
tidak akan membiarkan aku kabur. Sigh...
Kembali
ke masa sekarang.
“Sedang
apa kau di tempat seperti ini?” sebuah suara nan dingin
menyadarkanku dari lamunan. Suara itu sangat kukenal. Aku segera
mengangkat kepalaku yang tertunduk tak berdaya dan menoleh ke arah
sumber suara.
“Sa-sukeeeee....”
aku segera bangkit dan memeluknya dengan girang meskipun dia segera
menolak pelukanku. “Aku tidak sedang bermimpi kan? Kau benar-benar
Sasuke. Baru kali ini aku benar-benar merindukanmu, Sasuke-sama~”
“Jangan
sentuh aku!” ujarnya ketus, seperti biasanya.
“Kau
tidak tahu betapa menderitanya aku tadi. Syukurlah kau datang.”
“Iya,
iya. Ayo sekarang kuantar kau pulang.”
Pulang?
Disaat seperti ini sebaiknya aku tidak pulang. “Nee, Sasuke. Boleh
kan aku menginap di rumahmu? Kau tahu kan aku sedang bertengkar
dengan Tou-chan dan Kaa-chan, aku tidak mungkin pulang ke rumah. Ibu
tidak akan membiarkan aku hidup, kau tahu.”
Sasuke
menghentikan langkahnya dan menoleh padaku. “Kau benar-benar
merepotkan,” ujarnya dengan sorot mata dingin seperti biasanya lalu
kembali melanjutkan langkahnya.
“Lama-lama
kau seperti Shikamaru, dattebayo.” Aku mengikuti langkahnya. Aku
senang. Setidaknya di malam dingin bersalju ini, ada sosok teman
seperti Sasuke yang menolongku.
==oOo==
Pada
akhirnya, Kaa-chan mengalah. Tentu kaachan juga tidak ingin
kehilangan putra semata wayangnya, yaitu aku. Aku bilang aku tidak
akan pulang dan meminta agar keluarga Uchiha mengadopsiku -tentu saja
aku tidak serius mengatakannya- tapi ibuku mungkin terlalu
menyayangiku dan akhirnya mengalah. Tidak buruk. Dan sikap Karin
padaku juga tidak berubah. Belakangan aku baru tahu kalau malam itu
Karin memang sedang berpura-pura menangis untuk mengerjaiku. Dia
tidak pernah puas bila aku belum mendapat siksaan. Tapi, aku senang
dia juga menolak pertunangan itu. Karena Karin menolak, ibuku tidak
bisa memaksaku lagi. Good job, Karin! Baru kali ini rasanya kau
memberikan satu keberuntungan bagiku. Tapi, tentu Karin tidak
melakukan itu dengan gratis. Dia meminta hal lain.
“Aku
hanya ingin kau melakukan satu hal, Naruto.” kata-kata yang sengaja
dimaniskan olehnya terlontar seperti es. Ini yang paling kubenci dari
dia. Kata-kata manis tidak selalu semanis kedengarannya.
“Katakanlah,
tapi aku tidak janji bisa melakukannya,” jawabku.
“Kalau
begitu aku akan membuatmu bisa melakukannya,” kilahnya. “Buat aku
agar bisa berkencan dengan Sasuke di hari Valentine.” ia tersenyum.
Crack!!
Apaaaaaa.....???!!
Kencan
dengan Sasuke?!
“Aku
tidak mau! Yang lain saja. Minta aku membelikanmu baju impor dari
Paris, atau Tas Channel, atau Parfum Paris Hilton. Atau kalau kau mau
yang lebih ekstrim, minta aku terjun dari puncak Tokyo Tower!”
“Apa
kau tahu kalau kau terjun dari puncak Tokyo Tower kau bisa mati, lalu
siapa yang akan membantuku mendekati Sasuke?”
“Eeeehhhh...!!”
“Aku
tunggu kabarmu minggu depan.”
“Apaa...!
Hei Karin, kau jangan bercanda!” aku mulai takut.
“Aku
serius,” ujarnya asal.
“Ta..pi..”
Percuma.
Kalau sudah ada maunya si licik Karin tidak akan menerima bantahan.
Sial! Kenapa aku harus memiliki sepupu seperti dia?! Lalu, bagaimana
caraku membujuk si dingin Sasuke untuk berkencan dengannya? Sejak
dimulainya semester dua mood Sasuke benar-benar buruk. Itu juga
gara-gara cewek aneh bernama Sakura. Kenapa perempuan di sekelilingku
sangat menyebalkan. Aarrggghhh...!!!
Gedubraaakkk....!!
seseorang menabrakku. Membuatku terjungkir di jalan. Bahkan
berjalan-jalan di sore hari yang cerah ini pun mendapat gangguan.
Siaa... are? Aku mencoba membuka kembali rekaman di CPU otakku
mengenai gadis ini. Gadis berambut ungu lavender..
“Gomennasai.
Aku dicegat preman jalanan, jadi aku berlari sekencang mungkin. Apa
kau terluka?”
“Ti-tidak
apa-apa. Aku baik-baik saja.” Aku segera berdiri lalu membantu
gadis itu berdiri juga. “Sepertinya preman yang mengganggumu tidak
mengejarmu sampai kesini.” aku menoleh ke arah datangnya gadis ini
tadi. Hanya ada jalanan yang lengang.
“Haaahhh...
Yokatta...” gadis itu menghela napas lega sambil memegang dadanya,
dada yang cukup besar.. eh.
“Hyuuga
Hinata?” Aku mengenalinya dari name tag yang terpasang di
seragamnya. Seragam Seirin Girl High yang sama dengan Karin. Tapi,
bukan cuma karena name tag itu aku mengetahui nama gadis ini. Aku
pernah bertemu dengannya sebelum ini. Tentu aku mengingatnya dengan
jelas. Aku tidak mungkin melupakan pertemuan dengan gadis cantik.
“Ah,
sebelumnya bukankah aku pernah menabrakmu di Bandara? Apa kau masih
ingat?” ia bertanya padaku.
Waw,
secara mengejutkan dia punya ingatan yang tajam.
“Kau
ingat aku?” tanyaku penasaran.
Dia
tersenyum. “Tentu saja.” ia menyodorkan sesuatu padaku. “Aku
tidak sengaja memungut ini” ujarnya. Itu Buku Saku sekolahku.
Memang ada fotoku disana. Aku melemparkannya beberapa hari lalu di
jembatan dekat sekolah. Itu karena.. ah tidak. Hinata tidak
seharusnya melihat isinya. “Aku menemukannya di pinggir sungai di
bawah jembatan. Kau punya banyak catatan kelakukan buruk,
Uzumaki-san”
Crack!! tidak seharusnya dia melihat itu.
“Laki-laki
memang harus seperti itu kan?” ia tersenyum. Waw, kalau ibuku pasti
sudah memukul kepalaku lalu melemparku ke jalanan, tapi gadis
ini....dia memujiku? Atau menghiburku?
“Apa
kau terburu-buru?” tanyaku.
Dia
menggeleng. “Tidak. Sebenarnya bisa dibilang aku sedang tersesat.”
“Haahhh?”
Tersesat di kota kecil ini? Apa dia bercanda?
“Aku
belum hapal semua jalan di kota ini. Aku baru pindah kesini beberapa
bulan yang lalu.” lagi-lagi dia tersenyum tapi aku merasakan ada
sesuatu dibalik senyumnya itu. Mungkin semacam kekhawatiran atau
entahlah.
“Kalau
begitu aku akan mengantarmu pulang, tapi bagaimana kalau sebelumnya
kita makan dulu?” ajakku. Aku ingin mengenalnya lebih jauh.
Dia
menatapku. Entah tatapan apa namanya. Dia mungkin tidak mempercayaiku
seratus persen, tapi dia juga bermaksud menerima maksud baikku. “Aku
tidak keberatan.” ujarnya kemudian sambil tersenyum.
“Aku
akan mentraktirmu ramen. Akan kutunjukkan kedai ramen terenak di
dunia!” Aku senang. Pertemuanku dengan Hinata terbilang unik. Dia
selalu menabrakku. Dan aku tidak akan pernah melewatkan momen
pertemuan ini.
Hinata
tipe yang tidak banyak bicara. Disepanjang jalan dia hanya diam.
Nuansanya sedikit membosankan bagiku, tapi karena dia cantik aku akan
mengabaikan sifat pendiamnya itu.
“Uzumaki-san”
panggilnya tiba-tiba. Hampir saja aku melompat saking kagetnya
mendengar dia akhirnya berbicara.
“Panggil
saja aku Naruto,” jawabku.
“Na-naruto-san”
“Ahh..
kalau kau tidak keberatan kau boleh memakai akhiran -kun kalau mau”
sanggahku. Aku tidak suka seorang gadis cantik seperti dia
memanggilku dengan panggilan formal. Gadis cantik harus memanggilku
dengan nama depanku ditambah akhiran -kun, kedengarannya lebih seksi.
Hahaha (muka mesum).
“Naruto....-kun”
ujar Hinata agak kaku tapi dia memanggilku dengan sapaan yang benar,
menurutku. Dia sepertinya berusaha keras untuk memanggilku dengan
sebutan itu.
“Kalau
begitu, aku akan memanggilmu Hinata-chan, bagaimana?” aku
menatapnya menunggu jawaban. Dia hanya mengangguk. “Tadi, kau ingin
mengatakan apa, Hinata-chan?” tanyaku teringat kembali alasan
kenapa dia memanggilku.
“Tidak
apa-apa,” jawabnya. Sesaat kemudian ia melanjutkan. “Eennggg..
Naruto...-kun, seragam sekolahmu itu.. apa kau dari Yamato High?”
ia bertanya.
“Iya.
Apa kau punya kenalan di sekolahku? Oh itu kedai ramennya. Ayo cepat
Hinata-chan, aku sudah tidak sabar ingin makan ramen.” aku menarik
lengannya memaksanya berlari menuju kedai. Sesampainya di kedai aku
segera memesan dua porsi ramen, lalu duduk di meja yang masih kosong.
“Jadi, siapa kenalanmu itu?” tanyaku.
“Sebenarnya
tunanganku bersekolah disana,” jawab Hinata berhasil membuat
seluruh tubuhku membeku.
Tunangan
katanya? Tunangan itu calon suami. Jadi dia sudah punya calon
suami????!!!! Tiiidaaaaakkkk.....!!! Ini tidak mungkin!! tidak
mungkin. Kepalaku rasanya berkunang-kunang.
“Akhir-akhir
ini, aku merasa tidak nyaman dengan pertunanganku” sambung Hinata.
Kebekuan
tubuhku sepertinya mulai mendapat angin hangat. Hinata menunjukkan
senyuman yang kulihat sebelumnya. Apakah ini arti senyuman itu? Dia
gelisah dengan pertunangannya. Karena itukah senyumannya penuh dengan
aura kekhawatiran?
“Ah,
maaf aku mengatakan sesuatu yang bersifat pribadi.”
“Tidak
apa-apa. Sepertinya kau sangat tertekan dengan pertunangan itu.
Memangnya apa yang terjadi? Kau bisa bercerita padaku” ujarku sok
cool. Bukan berarti aku ingin mengetahui urusan orang lain. Aku hanya
merasa bila seseorang menceritakan apa masalah yang dihadapinya orang
itu pasti akan merasa lebih lega. Bebannya akan sedikit berkurang.
Kurasa. Tapi, disisi lain aku masih sedikit syok mengetahui Hinata
memiliki tunangan. Kupikir, aku sudah tidak memiliki kemungkinan
untuk mendekatinya lebih jauh. Tapi, jangan panggil aku Naruto kalau
aku menyerah begitu saja.
Hinata
menatapku, mungkin dia berpikir 'apakah orang ini bisa dipercaya, aku
baru saja mengenalnya', tapi kupikir dia cukup mempercayaiku. Lihat,
tampangku bukan tampang brengsek meskipun aku mempunyai banyak
catatan kelakukan buruk di sekolah. Dia tersenyum. Baru saja dia akan
mengatakan sesuatu, pelayan mendekat ke arah kami.
“Pesanan
datang.” pelayan itu membawakan pesanan kami. “Selamat menikmati”
ujar pelayan itu setelah meletakkan masing-masing mangkuk ramen di
hadapanku dan Hinata. Pelayan itu pun pergi.
Baik
aku maupun Hinata terdiam cukup lama. Entah kenapa ramen yang
biasanya langsung kulahap kali ini aku belum ingin menyentuhnya.
Apakah karena aku menunggu Hinata bicara? Aku menatapnya. “Bukankah
tadi kau ingin mengatakan sesuatu?”
“Ah...iya..
aku hanya ingin mengatakan, arigatou, Naruto-kun. Padahal aku baru
mengenalmu tapi rasanya dengan adanya Naruto-kun membuat bebanku
lebih ringan.” Ia tersenyum.
Aku
sedikit kecewa. “Tapi, kau kan belum mengatakan apa-apa,
Hinata-chan.”
Ia
tersenyum sambil menatapku. “Tidak apa-apa. Aku sudah merasa lebih
baik sekarang. Ayo makan ramenmu, nanti dingin.”
Aku
tidak tau perasaan apa ini. Baru kali ini aku merasa tidak dibutuhkan
oleh seorang gadis. Tapi, karena perasaan itu pula membuatku merasa
ingin Hinata membutuhkanku lebih dari siapapun. Tapi, bukankah itu
tidak mungkin. Seperti apa tunangan Hinata? Apa boleh aku merebut
Hinata darinya?
==oOo==
“Hei
Teme, aku dan yang lainnya akan ikut gokon dengan siswi Seirin Girl
High, apa kau mau ikut?”
“Tidak
mungkin dia akan ikut, Naruto.” Shikamaru yang kukira sedang tidur
langsung menyahut.
Sasuke
menoleh ke arah Shikamaru lalu beralih menatapku, “Kau sudah
mendapatkan jawabannya” ujarnya dengan nada dingin.
“Kau
masih memikirkan hasil mid-test?” tanyaku menebak penyebab
badmoodnya pangeran es di hadapanku ini.
“Kalau
mengenai hasil mid-test, dia tidak mempermasalahkannya. Dia sudah tau
tidak ada yang bisa mengalahkan kejeniusanku” lagi-lagi Shikamaru
menyahut dengan mata yang terpejam.
Benar
juga. Sasuke selalu menempati urutan nomor dua meskipun dalam
beberapa mata pelajaran nilainya tertinggi, tapi tetap saja tidak
bisa mengalahkan nilai Shikamaru. Ah tapi bukan itu masalahnya.
Sakura-chan yang sebelumnya menempati posisi 10 di kelas kini
menempati posisi ke-empat. Kupikir itu yang membuat Sasuke bad mood.
Kalau bukan itu, “Lalu?” tanyaku.
“Iruka-sensei
menunjuk Sasuke dan Sakura untuk menjadi panitia persiapan ulang
tahun sekolah” jawab Shikamaru.
“Apa?
Hahaha” tanpa sadar aku tertawa.
Sasuke
menatapku dengan tatapan membunuhnya. Seketika aku menghentikan
tawaku. “Bukankah itu hal bagus. Kau bisa bersama Sakura lebih
sering. Mungkin dalam kesempatan ini dia akan kembali menjadi Sakura
yang dulu yang memuja-mujamu, Sasuke. Sakura yang sekarang
benar-benar membuatmu terganggu, iya kan?”
“Urusai!”
Sasuke menyandang tasnya lalu melangkah keluar kelas. Sesaat setelah
bayangannya menghilang, aku dan Shikamaru tertawa diam-diam.
“Apa
kau juga berpikiran sama sepertiku, Shikamaru?”
“Kurasa
yang lainnya juga berpikiran sama seperti kita, termasuk
Iruka-sensei.”
Aku
tidak yakin tapi beberapa hal selalu membuatku ingin meyakini bahwa
perasaan Sasuke terhadap Sakura adalah kebencian yang memiliki batas
hanya sepersekian milimeter dengan cinta. Aku tidak mengerti, apakah
Sakura sengaja melakukan semua ini untuk menarik perhatian Sasuke
atau dia memang benar-benar telah berubah. Aku tidak mengerti
perasaan wanita.
Begitu
aku dan Shikamaru sampai di tempat janjian dengan siswi SMA Seirin,
aku tidak tau bagaimana harus menyembunyikan keterkejutanku. Dia juga
terkejut melihatku.
“Aku
akan pergi ke toilet” ujar gadis itu. Gadis yang selama beberapa
hari ini memenuhi pikiranku. Aku menyusulnya.
“Sedang
apa kau disini, Hinata-chan?” tanyaku dengan nada khawatir, panik,
marah atau entahlah, aku tidak tahu perasaan apa yang sedang
meliputiku saat ini. “Kenapa kau ikut dalam acara seperti ini?”
“Naruto-kun,
aku hanya menemani temanku. Aku tidak bermaksud ikut acara kencan
buta ini.”
“Sayang
sekali teman-temanku tidak berpikir seperti itu. Teman-temanku tidak
berpikir kau sudah memiliki tunangan.” ujarku semakin pelan.
“Aku
hanya ingin membantu Tenten-chan.”
“Hentikan
kekonyolan ini, ayo kita pergi dari sini!” Aku menarik lengan
Hinata dan membawanya keluar dari cafe ini.
“Sebelumnya
apakah kau pernah ikut acara seperti ini?” tanyaku. Entah kenapa
aku merasa panik.
“Ini
pertama kalinya. Lagipula aku hanya menemani Tenten.”
“Jangan
katakan itu lagi! Bagaimana jika yang kalian temui hari ini bukan
kami, siswa dari SMA lain belum tentu memperlakukan kalian dengan
baik? Bagaimana jika orang-orang yang kalian temui memiliki niat
jahat? Hah?!”
Hinata
terdiam sesaat seraya menatapku yang sedang lepas kontrol.
“Hmphh...”
Aku
menghentikan langkahku. “Omae..”
Hinata
tertawa ringan.
“Ke-kenapa
kau tertawa?” aku mulai menyadari perilaku aneh yang baru saja
kutunjukkan.
“Kau,
manis sekali, Naruto-kun.” Hinata tersenyum.
Aku
melepas genggamanku dari lengannya. Manis katanya? Aku menatapnya,
dan aku menyadari aku terjebak dalam suatu lingkaran aneh antara aku
dan Hinata. Pada saat ini, aku mulai menyadari eksistensiku bagi
Hinata. Iya. Apa aku bagi Hinata? Kenapa aku mencemaskannya? Dan Apa
Hinata bagiku? Kenapa dia membuatku tidak bisa mengendalikan diriku.
==oOo==
Booooonngg...!!
Sebuah bola basket sukses mendarat di jidatku. Aku jatuh tanpa sempat
mempertahankan keseimbanganku.
“Hei,
Naruto, kau tidak apa-apa?” tanya Kiba yang dengan segera memapahku
ke pinggir lapangan.
“Aku
tidak apa-apa, hanya sedikit pusing” ujarku seraya memegang
kepalaku yang terasa berdenyut-denyut.
“Siapa
suruh kau melamun” ujar Sasuke ketus padahal dialah si pelempar
bola yang mengenai jidatku.
“Seharusnya
kau minta maaf, Teme!” Teriakku emosi.
“Aku
tidak merasa bersalah” ujarnya datar.
Hahhh
sial, dia benar. Ini salahku karena melamun di tengah lapangan.
Padahal latihan hari ini sangat penting untuk pertandingan melawan
SMA Konan. Aku bahkan tidak mendengarkan instruksi Shikamaru tadi
sebelum latihan. SMA Konan pernah menjurai kejuaraan Nasional, ini
beban berat bagi Sasuke sang kapten. Kalau tim kami kalah, maka tidak
ada kesempatan untuk masuk ke babak selanjutnya. Pertandingan dengan
Konan menentukan nasib tim basket kami. Tapi, di saat genting seperti
ini kenapa aku tidak bisa berkonsentrasi? Apa yang terjadi dengan
diriku?
“Baiklah,
latihan hari ini kita akhiri saja.” Sasuke menutup latihan lalu
melirikku. “Apa kau sudah merasa baikan?”
“Iya.
Pusing-pusingku sudah hilang.”
“Bagus.
Ayo One on One denganku.”
Jujur
kuakui, meskipun aku hebat di basket, aku tidak bisa mengalahkan
Sasuke One on One.
“Aku
tidak akan menurunkanmu dalam pertandingan melawan Konan kalau kau
tidak bisa mengalahkanku. Dapatkan lima point pertama dariku atau
duduk di bangku cadangan!” Sasuke menatapku dengan dingin seraya
memegang bola di tangannya.
“Kau
tidak serius kan?” Aku bersiap dalam posisiku.
“Aku
lebih dari sekedar serius.”
Bola
basket melambung menandakan dimulainya pertarungan kami. Sasuke, kau
tau aku tidak bisa mengalahkanmu tapi aku tidak akan mengalah begitu
saja.
Aku
telentang di tengah lapangan. Terengah-Engah. Keringatku membuat
lantai di bawah tubuhku terasa licin. Aku menatap langit-langit
gedung olah raga sambil mengatur napas yang terus memburu. Aku begitu
lelah. Baru kali ini, Sasuke mengerahkan kekuatan yang begitu besar
hanya untuk melawanku.
“Duduklah
di bangku cadangan” Kalimat Sasuke berdengung di telingaku.
Dung,
dung. Terdengar suara bola basket yang sedang didribel lalu terdengar
suara ring basket, “Splosh!”
“Dalam
sekali shoot aku sudah bisa mencetak tiga angka, lalu kenapa shoot-mu
yang puluhan kali itu tidak satu pun mencetak angka?” itu suara
Shikamaru. Aku menoleh pada sumber suara.
Aku
hanya diam sambil mengamati gerak gerik Shikamaru. Ia mengambil bola
yang tadi masuk ring lalu mendribelnya beberapa kali dan dengan
gerakan yang lincah ia memasukkan bola ke ring.
“Kau
tahu, pertandingan melawan Konan sangat penting bagi Sasuke. Bagiku
juga. Aku ingin menunjukkan pada mereka analisaku yang akurat tentang
kelemahan mereka.” Shikamaru melakukan Dunk di tengah kalimatnya.
Dengan begitu dia sudah mencetak lima angka.
Aku
bangkit dari tidurku, lalu berdiri. Bola dari tangan Shikamaru
melayang ke arahku. Aku menangkapnya. Itu bukan sekedar bola
melayang, kekuatan lemparannya terlalu besar sampai membuat telapak
tanganku kesemutan.
“Apa
kau marah, Shikamaru?” tanyaku ragu.
“Apa
kau pernah melihatku marah? Bahkan saat si pirang Ino meninju
wajahku, aku masih tetap dalam kondisi rileks.”
Yeah,
secara tidak sengaja aku menyaksikan pertunjukkan pagi itu. Tapi, aku
masih tidak mengerti Shikamaru. Apakah dia benar-benar playboy atau
apa. Ahh, tunggu dulu, bukan itu masalahnya sekarang. Sekarang bukan
mengenai Shikamaru, tapi mengenai aku. Ada apa denganku?
“Ano.........,
Shikamaru, akhir-akhir ini aku sulit berkonsentrasi. Aku tidak
mengerti.”
“Apa
ini mengenai perempuan?” tanya Shikamaru setelah beberapa saat ia
terdiam.
Aku
merasa dadaku berdesir seperti ada sesuatu yang menyayat di dalam
sana. (Catatan: Bukan ulah Kyuubi). “I-iya. Akhir-akhir ini aku
dekat dengan seorang perempuan yang selalu membuatku merasa cemas”
ujarku gugup.
“Kau
menyukainya?”
“Hah?
Apa kau bercanda? Dia sudah punya tunangan, Shikamaru.”
“Tunangan?”
mata Shikamaru yang selalu mengantuk itu menatapku. “Belum suami
'kan?” ia mengeluarkan tangannya dari kedua saku celananya lalu
mengambil bola basket dari tanganku. “Penyebab kau tidak bisa
berkonsentrasi adalah gadis yang sudah bertunangan itu.
Kesimpulannya, kau sedang jatuh cinta. Cinta yang sedikit rumit.”
Sejak kapan Shikamaru jadi pakar cinta?
Shikamaru
mendribel bola basket itu lalu melemparkannya ke ring dan “Splosh!”
ia mencetak tiga angka.
Aku
menyukai Hinata? Kupikir selama ini aku melakukan keisengan seperti
yang biasa kulakukan. Keisengan untuk mendekati para gadis, keisengan
untuk membuat mereka terpesona kepadaku, keisengan untuk membuat
mereka jatuh cinta kepadaku. Kupikir dengan Hinata pun aku telah
melakukan keisengan yang sama. “Tidak mungkin. Kau tahu kan selama
ini aku belum pernah pacaran karena aku hanya iseng dengan
gadis-gadis yang kudekati?”
“Ya,
aku sempat berpikir kau mengidap kelainan dan jatuh cinta pada
Sasuke.”
“Apa??”
Kali ini suasana serius yang menggerogoti seluruh tubuh dan alam
pikiranku sirna begitu saja.
“Bukankah
kau menyukai Sasuke?”
“Eeeeeeeehhhhh??!!”
“Katakan
saja pada gadis itu perasaanmu yang sebenarnya. Tidak usah memikirkan
tentang tunangannya. Kupikir itulah jalan satu-satunya agar kau bisa
berkonsentrasi lagi. Masalah gadis itu menerima perasaanmu atau
tidak, itu terserah padanya.”
“Tentu
saja dia pasti akan menolakku Shikamaru-baka! Dia itu tipe perempuan
yang setia. Meskipun dia mengalami banyak masalah dengan tunangannya,
tidak seharusnya aku memanfaatkan hal itu demi kepentinganku
sendiri!” Cara berpikir Shikamaru berhasil membuatku emosi. Tanpa
sadar aku berteriak membuat napasku memburu meminta udara.
“Kalau
begitu, kau memang pantas duduk di bangku cadangan.” Shikamaru
melangkah meninggalkan lapangan basket, meninggalkan gedung olah
raga, meninggalkanku sendirian.
“Sial!”
Aku geram pada diriku sendiri.
==oOo==
[Hinata-chan,
ada yang ingin kubicarakan denganmu, bisa kau temui aku di kedai
ramen sepulang sekolah?]
Pesan terkirim.
Pesan
masuk. [Ada apa, Naruto-kun?]
[Aku
akan menunggumu.] pesan terkirim.
Tidak
ada pesan baru.
Sekali
lagi kutatap layar ponselku.
Tidak
ada pesan baru.
Lalu,
benar-benar menutupnya.
Apakah
Hinata akan datang? Kalau dia datang, apa yang harus kukatakan?
Darimana aku akan memulainya? Bagaimana seharusnya ekspresiku?
Bagaimana cara bersikap dihadapannya?
Tidak.
Kenapa aku tadi mengajaknya bertemu di saat genting seperti ini?
Tapi, pertandingan dengan Konan memaksaku untuk melakukan ini,
tapi....tapi aku tidak pernah memiliki perasaan seperti ini
sebelumnya, bahkan tidak pernah terpikir olehku akan menyatakan
perasaanku. Ughh...rasanya kepalaku berkunang-kunang. Apa yang harus
kulakukan?
Hinata-chan,
yang ingin kukatakan padamu adalah... aku... aku... aku...
aaaaarrrgghhhh...... susah sekali mengatakannya... aku mengacak-acak
rambutku. Lalu kembali membayangkan pot sumpit yang ada di atas meja
adalah Hinata. “Hinata-chan,....” aku menatap pot sumpit dengan
tatapan mata penuh harap, kurasa sudah kelihatan seperti itu.
Mungkin.
“....”
tidak ada jawaban. Memangnya orang bodoh mana yang bicara dengan pot
sumpit? Aku kembali mengacak-acak rambutku.
“Aaarrrggghhh....”
aku berteriak frustasi. Sigh. Kulayangkan pandanganku ke segala arah.
Tepat disudut kedai beberapa pelayanan berkumpul tampak sedang
berbisik-bisik sambil melirik ke arahku. Jangan-jangan mereka sedang
membicarakanku. Haahhh... aku menyerah. Kutempelkan pipi kananku
diatas meja sambil menatap ke arah pintu masuk. Hinata. Apakah Hinata
akan datang?
-
-
-
-
-
To
be continued...
Klik link ini untuk membaca langsung dari fanfiction.net. otanoshimini... ^^