Kamu tidak pernah menyadari bahwa aku tidak pernah merasa bangga terhadapmu. Aku bisa memahami bila kamu tidak bisa memahamiku karena aku juga sama, aku tidak bisa memahamimu hanya saja aku selalu merasa tahu apa yang sebenarnya ada di benakmu. Apakah ini insting seorang perempuan? Entahlah..
Aku hanya tahu bahwa seperti itulah kamu, kamu yang di mataku tidak mensyukuri apapun yang kamu miliki, mungkin kita punya pengertian rasa syukur yang berbeda, entahlah. Kamu yang di mataku selalu mengeluh, sering membuat bathin ini terbebani, karena aku bukan orang yang tepat untuk memberikan layanan komplain dan keluhan, sungguh aku tidak pernah bercita-cita hidup menanggung beban orang lain. Kamu yang di mataku selalu terlihat menderita tetapi aku tidak bisa berbuat apa-apa, karena apapun yang kukatakan tidak mempan bagimu, kamu menganggapku manusia di atas angin yang tak mungkin mengerti penderitaan orang lain, secara tak sengaja kamu telah membuatku merasa seolah-olah aku orang bodoh. Kamu yang di mataku terlihat begitu mencintaiku dan tak ingin kehilanganku, berusaha mengikatku dengan perasaan itu tapi sayangnya yang kamu cintai itu hanya sebagian kecil diriku. Kamu yang di mataku tidak memahami bagaimana diriku yang sesungguhnya. Kamu tidak tahu bahwa di dunia ini bukan cinta yang kukejar. Kamu juga tidak tahu bahwa di dunia ini bukan kekayaan materi yang kucari. Kamu tidak tahu apa-apa tentangku. Hidupmu terlalu fokus pada dirimu sendiri. Kamu tak menyadari bahwa selama ini kamu tidak menerimaku seperti apa diriku.
Aku hanya tidak menyangka bahwa kamu tidak pernah berubah. Semakin mengenalmu aku semakin menyadari banyak hal yang ternyata menjadi tidak memiliki arti bagiku. Aku semakin menyadari bahwa aku tidak memiliki perasaan bangga terhadapmu, bukan karena kamu tidak kaya, bukan karena kamu tidak punya penghasilan tetap, bukan karena kamu memiliki banyak hutang, bahkan perasaan cinta yang kamu utarakan yang membuatmu tak mau kehilanganku sama sekali tak membuatku merasa bangga.
Dulu di mataku kamu itu keren, yang jelas bukan karena tampang, tapi karena kamu pekerja keras, kamu kuliah sambil bekerja, membiayai kuliah dengan uang sendiri, kamu hidup dengan hemat dan sederhana. Saat itu aku merasa bahwa kamu memiliki impian yang besar, fokus pada satu jalan, punya tujuan yang jelas, aku suka dengan jurusanmu, saat itu bagiku itu adalah hal yang keren dan aku bangga.
Tapi semua berubah, mungkin itu terjadi saat kamu mengaku bahwa pendidikan yang kamu tempuh adalah karena terpaksa, itu bukan minatmu, itu bukan cita-citamu. Saat itu aku mulai berpikir mungkinkah sebenarnya kamu tidak punya impian?
Masih ingatkah kamu ketika aku menyampaikan keinginanku untuk pergi ke pulau seberang demi mewujudkan cita-citaku? Saat itu kamu bertanya padaku mengenai bagaimana dengan dirimu, bagaimana nasibmu sepeninggalku. Kamu tidak tahu bahwa itu membuat pikiranku buntu. Aku merasa seperti sedang berjalan ke arah tujuanku dengan membawa tas besar berisi batu. Berat rasanya membawa beban itu yang dulunya kukira emas. Kamu memikirkan dirimu sendiri. Kamu tidak memberiku dukungan. Kamu tidak memahami bahwa impianku jauh lebih berarti daripada kamu. Kamu juga tidak memahami bahwa itulah alasan sebenarnya aku memutuskan pergi dari hidupmu saat itu. Aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan yang tak mendukung itu. Aku memutuskan untuk membuang tas besar berisi batu itu. Lalu entah darimana datangnya, dewi keberuntungan berpihak padaku, aku tak perlu ke pulau seberang untuk mewujudkan impianku. Aku mendapatkannya di tanah kelahiranku. Saat itu aku bagaikan sekali mendayung dua pulau terlampaui. Tujuanku sudah kuraih, keinginan orang tuaku pun terpenuhi karena aku akan tetap tinggal di tanah kelahiranku. Tidak ada alasan bagiku untuk meninggalkan tanah ini seperti harapan mereka. Ya. Aku pun berpikir begitu. Hidupku terasa ringan tanpa beban, aku bisa hidup seperti apa yang kumau. Itulah yang kupikirkan. Tapi semua tidak berakhir sampai disitu, tidak, sampai saat aku mulai dipaksa untuk memikirkan tentang pasangan hidup.
Semua orang berpikir bahwa dengan apa yang sudah kumiliki bisa membuatku dengan mudah medapatkan apapun. Tapi, percayalah, aku tidak berpikiran seperti itu. Sebenarnya aku justru berpikir bahwa dengan semua yang kumiliki justru membuatnya semakin sulit. Orang pasti berpikir bahwa aku punya selera yang tinggi. Harus memenuhi banyak kriteria? Tidak. Orang tidak tahu bahwa aku tidak punya kriteria mengenai pria. Hanya saja pasti ada hal-hal yang fundamental, seperti kecocokan karakter, mungkin?
Kalau aku dengan kamu, jelas-jelas bahwa aku merasa kamu berada di level intelektual yang sama denganku, paling tidak kamu memahami bahasa inggris, kamu juga setidaknya bisa memahami hobi dan minatku. Hal-hal seperri itu yang tidak bisa kudapat dari pria lain. Paling tidak aku mengenal kamu cukup lama, begitu pun sebaliknya. Saat memutuskan untuk kembali dengan kamu, aku merasa bahwa kamu telah menemukan impianmu karena kamu melanjutkan kuliah. Aku berpikir itu hal yang bagus. Menemukan impian akan membuat seseorang berada di jalan yang benar, itu yang kupikirkan. Lalu, apa? Ditengah jalan ternyata kamu memilih untuk berhenti. Aku mulai berpikir, apa ini salahku? Kenapa saat aku hadir kembali dalam hidupmu kamu memutuskan untuk mengubur impianmu? Aku sungguh tidak mengerti. Apa seperti itu pengorbananmu untukku? Kenapa aku sama sekali tidak merasa keberartian dari pengorbanan itu? Karena menurutku itu keputusan yang salah. Aku tidak komplain, kalau aku komplain aku 100% yakin semua yang kukatakan akan kamu balas dengan segudang alasan. Aku muak dengan semua itu, aku hanya bisa diam dan berpura-pura percaya padamu. Hebatnya kamu tak pernah menyadari itu.
Aku tidak akan mengeluh atau komplain. Hanya demi kamu tidak mengeluh dan komplain padaku. Sekali lagi, aku bukan pekerja layanan masyarakat yang bersedia menerima keluhan. Bukan itu tujuanku menjalin hubungan. Aku ingin merasa bahagia dan perasaanku lega. Aku ingin setidaknya ada satu atau dua hal yang terpuaskan agar aku tidak terus merasa kecewa. Paling tidak, jangan beri aku beban yang sama seperti dulu, apa kamu tidak pernah belajar? Apa kamu tidak pernah sekalipun merasa dirimu bersalah? Apa kamu tidak pernah sekalipun merasa ingin memperbaiki dirimu? Aku hanya tidak mengerti. Aku mulai menyesali keputusanku kembali padamu. Seharusnya aku tidak pernah kembali. Seharusnya aku tidak mengulangi membuat kesalahan yang sama.
Saat kamu bilang kamu mengubur impianmu demi aku, semakin membuatku yakin, semua ini murni kesalahanku. Di satu sisi kamu merasa telah berkorban banyak demi aku, sementara di sisi yang lainnya, aku merasa pengorbanan sama sekali tidak berarti. Dulu aku pergi untuk mengejar impianku, sekarang lebih baik aku pergi agar kamu tidak perlu mengubur impianmu, seharusnya itu menjadi impas.
Paling tidak buatlah dirimu bangga menjadi dirimu sendiri, baru kamu ciptakan satu kebanggan buatku. Aku tidak pernah berpikir bahwa kebanggaan itu harus dinikmati bersama. Aku hanya berpikir, kehadiranku sama sekali tidak membawamu ke jalan yang benar. Suatu saat nanti aku ingin merasa bangga telah meninggalkanmu sehingga kamu bisa menjadi manusia yang hebat. Karena mungkin kehebatan itu tidak bisa kau dapat bersamaku. Aku menolak menanggung beban seumur hidupku karena telah membuat hidup seseorang menderita dan tak berarti. Karena itu, buatlah aku bangga karena telah meninggalkanmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar