Semuanya menjadi semakin jelas sekarang. Membenahi rumah adalah awal yang sudah kupikirkan sejak lama. "Ah, adikku sepertinya akan segera menikah". Aku sebagai kakak yang masih single, bahkan sedang tidak memiliki pasangan ini merasa lega. Sekitar setahun lalu aku mengusulkan hal tersebut kepadanya. "Silakan menikah duluan." Aku memberinya ijin.
Aku bukan menganut anti-mainstream, juga tidak terikat pada budaya ketimuran, bila adik menikah melangkahi sang kakak maka sang kakak akan sulit menikah, kalau itu benar-benar terjadi maka ya sudahlah, aku tidak usah menikah, meskipun aku sangat menginginkannya.
Sejak kecil, aku hidup dengan memikirkan masa depan. Sampai seberapa tinggi sekolahku, di umur berapa aku akan bekerja, berapa penghasilanku, apa yang akan kubeli dengan uang milikku sendiri, di umur berapa aku akan menikah, dengan orang yang seperti apa, apa pekerjaannya, berapa anak yang kuinginkan, apa jenis kelaminnya, rumah seperti apa yang ingin kutinggali, berapa jumlah kamar, seberapa besar garasinya, seperti apa tamannya, bagaimana aku akan menghabiskan masa tuaku, bahkan sampai bagaimana aku akan mati. Aku sudah memikirkan semua itu sejak SD meskipun tentu saja dengan gaya pemikiran alay, tidak seperti saat ini.
Dulu, entah kenapa memikirkan masa depan begitu mulus, seolah jalannya begitu licin hingga mudah dilewati. Sekarang, segalanya berjalan serba lambat. Bukan waktu, tapi aku yang melangkah dengan sangat lambat, terlalu berhati-hati, terlalu waspada, selalu was-was, setiap saat merasa awas. Aku tidak bisa mengimbangi kecepatan waktu. Tahu-tahu sekitar sebulan lagi umurku 30 tahun!
Dulu, aku berpikir bahwa usia ideal perempuan untuk menikah adalah 23 tahun. Aku memikirkan itu sejak SMP. Ya. Aku ingin menikah di usia 23! Aku pernah punya tekad seperti itu. Di SMA aku pernah punya pikiran untuk menikahi pria Jepang. Mungkin sejak itu aku memendam impian untuk berlibur ke negara itu. Saat itu aku berpikir, tidak apa-apa bila itu hanya sekedar angan. Aku tidak bisa mengontrol sampai sejauh mana otakku bisa berpikir. Bahkan aku pernah berpikir untuk tinggal dan hidup di luar negeri bahkan menjadi warna negara lain.
Semua bayangan akan masa depan berubah-ubah seiring berjalannya waktu dan pengalaman hidup yang kualami. Tadinya kupikir dalam hidup, aku ingin jatuh cinta satu kali, pacaran satu kali, menikah pun hanya satu kali. Semua berubah saat aku belum menyadari bahwa aku hidup untuk belajar dari pengalaman, aku bukan tipe manusia yang bisa serta merta belajar dari pikiran-pikiran yang sebagian besar tak rasional.
Jadi, meskipun aku tidak pernah mengalami masa kejayaan, aku pernah mengalami masa kemunduran dan tenggelam jauh ke lubang hitam seolah aku tak bisa lagi menemui pijakan.
Itu terjadi di tahun 2009. Aku putus dari pacar yang usianya lebih muda 2,5 tahun dariku. Kalau kupikirkan lagi periode itu, aku tidak paham apa yang telah membuatku begitu terpuruk saat itu. Aku hanya bisa berkesimpulan bahwa saat itu aku terlalu muda dan tidak berpengalaman.
Berkat seorang sahabat dan keluarganya aku berhasil bangkit dari keterpurukan itu. Lalu, selama periode pertengahan 2009 saat aku mulai memiliki akun facebook sampai pertengahan 2010 aku memiliki pacar online. Aku juga berteman dengan teman-teman online. Itu seperti kehidupan baru. Di dunia online aku bebas berekspresi, hampir tidak mengenal rasa malu. Kalau mengingat masa itu sekarang sebagian diriku merasa malu tapi juga merasa sedikit bersyukur, "aku melewatinya dengan baik" pikirku.
Aku telah belajar banyak dari hal-hal yang terjadi dalam hidup tapi tetap saja sepertinya itu tak pernah cukup. Katakan saja seperti menemukan pasangan hidup. Hari ini mungkin aku merasa sangat mencintai seseorang, sangat menginginkannya dan ingin menghabiskan hidup dengannya, berpikir bahwa hanya dia seorang yang akan membuatku bahagia, tapi bukankah ada kemungkinan di masa depan aku justru akan merasakan hal yang sama terhadap orang lain. Dulu aku tidak berpikiran seperti itu. Dulu aku berpikir "mungkin aku akan mati jika berpisah dari orang ini." Tapi waktu berjalan aku aku masih tetap hidup. Itu pengalaman yang berharga bagiku. Saatu saat semua hal itu akan menjadi hal konyol di masa sekarang bahkan di masa depan dan di masa depannya lagi akan ada hal-hal konyol lainnya yang mungkin terjadi, tak ada yang pernah tahu.
Saat ini perasaanku benar-benar campur aduk. Aku berusaha membawanya dengan pikiran santai dan tenang seperti biasanya. Aku tidak mungkin menunjukkan tangisanku di hadapan orang-orang yang berbahagia. Lagipula, suatu saat tangisan ini akan menjadi hal yang konyol juga.
Aku akan segera memasuki usia 30an, tapi sungguh aku tidak pernah merasa diriku cukup dewasa untuk memiliki usia itu. Jiwa dan gaya pemikiranku mungkin masih usia belasan. Mungkin ada hubungannya dengan lingkungan keseharianku yang kuhabiskan bersama anak-anak.
Menjelang usia 30an itu, aku sudah menentukan jalan hidupku. Ada begitu banyak pilihan jalan dan setiap jalan akan membawaku pada tempat yang berbeda. Tentu setiap mengambil langkah aku telah memikirkannya matang-matang, mekipun aku tidak tahu apakah jalan yang kuambil adalah jalan yang terbaik. Dan ada beberapa kali dalam hidupku aku mengambil jalan yang teramat egois karena aku merasa perlu untuk menyelamatkan diri sendiri. Ya, aku memiliki sistem pertahanan diri yang cukup baik yang kadang-kadang mengesalkan. Seperti ketika aku memutuskan untuk balikan dengan mantan lalu memutuskan untuk putus di saat dia telah memikirkan tentang pernikahan. Itu bukan keputusan yang mudah tapi aku merasa perlu untuk melakukannya. Demi menyelamatkan diriku dan orang lain.
Di antara pembaca yang sedang membaca tulisan blog ini, adakah yang pernah berpikir, "tidakkah aku sedang menjaga jodoh orang lain?".
Pertanyaan itu tiba-tiba terlintas dalam kebuntuan pikiranku tentang lamaran yang kunjung datang, dan pembahasan mengenai arah sebuah hubungan yang menemui solusi yang pasti. Karena aku yakin pada intuisiku, aku tak pernah membuatku keputusan gegabah dalam hidupku, jadi kuputuskan saat itu untuk tidak gegabah. "Mau sampai kapan kebuntuan ini akan terjadi? Dan apakah akan terus ada pengulangan?" Karena aku benci ketika pemikiranku mulai terkekang dan buntu. Aku menyadari betul bahwa aku berpikir dengan cara yang berbeda dan tak segan untuk membuat sebuah keputusan. "Jika tidak sekarang, kapan lagi?" Menjadi pribadi yang egois mungkin adalah keahlianku. Tapi aku tidak berpikir begitu. Saat aku membuat keputusan itu aku telah memikirkan berbagai aspek, dan mencoba melihat dari berbagai sudut pandang. Ini terkesan seperti sebuah pembelaan. Aku menyadari betul di satu sisi aku akan menjadi pihak yang bersalah dan dipersalahkan, tapi dari sisiku aku merasa telah mengambil keputusan yang tepat. Aku menyalahkan diriku sendiri atas semua penderitaan yang orang lain rasakan. Penyesalanku hanyalah aku melibatkan banyak orang dan melukai mereka semua padahal mereka tak bersalah. Tapi, jika dipikirkan dengan cara rasional seharusnya tak ada yang tersakiti. Atau setidaknya aku berpikir bahwa rasa sakit dan terluka yang dialami semua orang akan hilang seiring berjalannya waktu. Lagipula, aku takkan lupa pernah melakukan kesalahan hingga membuat orang lain terluka. Aku tak kan pernah lupa karena itu merupakan sebuah pembelajaran bagiku.
Saat itu yang ada dalam pikiranku ada kepasrahan. Tak apa bila aku tak menikah seumur hidupku daripada aku merasa menderita menikahi orang yang tak kucintai dan membuat orang lain menderita karena aku tak mencintainya. Setiap hal pasti memiliki sesuatu untuk disyukuri dan aku mensyukuri semua hal yang terjadi. Rasa sakit dan rasa terluka akan membuat setiap orang belajar untuk lebih berhati-hati, aku pun belajar untuk lebih berhati-hati agar tak melukai orang lain lagi ke depannya ataupun agar diri sendiri tak sampai terluka. Meskipun sepertinya itu hal paling sulit dalam hidup ini.
Dalam beberapa waktu ini aku harus siap-siap untuk terluka. Karena aku tidak bisa menghindarinya aku berusaha mempelajari seperti apa sakitnya. Dan tanpa sadar aku juga telah berusaha memikirkan apa obat yang tepat. Entahlah apakah waktu akan cukup?
Bila aku harus mengingatnya dan membahasnya aku hanya bisa menangis dalam diam. Aku tak punya tempat untuk mengungkapkan perasaan campur aduk ini. Di hadapan orang lain aku hanya bisa tertawa untuk menyembunyikan kegugupan di dalam hatiku sambil berkata dengan penuh canda. Di saat seperti ini, aku lebih memilih terluka sendirian daripada melukai banyak orang bila kuperlihatkan lukaku. Ini masih belum seberapa. Aku masih baik-baik saja.
Sebenarnya aku sangat berharap akan ada pengobat luka dalam hidupku. Entah kenapa sepertinya ini akan sulit bagiku. Kadang aku ingin berteriak dan menuntut kepada Tuhan kenapa beliau menciptakan makhluk sepertiku. Oh okay, di luar sana juga banyak makhluk sepertiku yang bertebaran. Apa mereka juga menuntut hal yang sama?
Apa ini bayaran atas keegoisan tang telah kulakukan?
Aku tidak merasa salah karena mengharapkan kebahagiaan.
Aku iri pada setiap orang yang hidup bahagia dalam cinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar