Halo, apa kabar?
Aku mengabarimu dari Bali.
Kalimat itu yang sering kubaca dalam pembukaan blognya. Dia suka menulis dan berbagi dengan banyak orang. Dia membagikan kesehariannya selama bekerja di Pantai Kuta. Dia seorang environtmentalis, earth warrior. Dia bekerja membersihkan pantai dari sampah yang kuyakini hal itu sebagai panggilan jiwanya. Bukan mengenai apa yang dia lakukan tapi mengenai apa yang membuatnya melakukan itu. Apa yang ada di dalam dirinya adalah pengabdian. Dia mungkin satu dari sekian banyak manusia yang bisa melakukan hal-hal yang dia inginkan berasal dari hati dan semua itu terpenuhi. Hidupnya adalah hal yang menakjubkan. Bertemu dengannya adalah hal yang sangat menakjubkan. Apalah aku. Aku tidak cantik, tidak putih, tidak seksi, aku mungkin salah satu perempuan yang gagal menjadi wanita tetapi aku masih berusaha. Sementara dia, sempurna secara fisik bahkan jiwanya sempurna. Aku mungkin belum mengenalnya dengan baik. Tapi, orang-orang yang mengenalnya memuji-muji dia mengatakan bahwa dia orang yang sangat sangat baik dan sangat penuh kasih sayang. Aku beruntung mengenalnya. Aku rasa bisa mengenalnya saja sudah cukup meskipun fantasiku mengharapkan lebih dari itu. Pikiranku tak pernah berhenti menampilkan figurnya, cara dia melihat ke arahku dan tersenyum membuat hatiku berdebar-debar. Aku selalu bertanya-tanya, apa seperti ini rasanya jatuh hati? Atau jatuh cinta? Selalu bisa menemukan dia meski di kejauhan? Hal-hal seperti itu mungkin memang biasa terjadi. Aku mungkin hanya terbawa perasaan. Berpikir bahwa hal seperti ini seolah baru pertama kali terjadi. Berpikir bahwa semua hal yang terjadi di dalam hidupku selama ini adalah untuk hal ini. Mengapa dia hadir di waktu yang tepat? Terlambat atau terlalu dini 1 detik saja akan membuat segalanya berbeda. Aku terus berpikir seperti itu. Seandainya saja bukan foto itu yang kulihat, aku mungkin tidak akan tertarik padanya. Seandainya dia tidak hadir dalam kehidupan keluarga temanku mungkin aku tidak akan pernah mengenalnya dalam hidupku. Seandainya minggu pertama liburan ini aku mengikuti diklat, aku mungkin akan kehilangan kesempatanku untuk bertemu dengannya.
Aku yang seminggu yang lalu begitu terpuruk memikirkan diri ini akan gagal menemuinya, berdoa sambil berusaha mengikhlaskannya. Aku menyerahkan sepenuhnya kepada Tuhan. Perjalanan hidupku Beliau yang paling tahu. Meskipun aku yang membuat pilihan pada akhirnya Beliau akan membawaku ke tempat yang seharusnya. Aku hanya perlu ikhlas. Ya, aku ikhlas. Bertemu dengannya atau tidak memang akan mengubah banyak hal dalam hidupku, tapi apapun yang terjadi biarlah terjadi. Itu yang kupikirkan. Lalu, keesokan harinya aku diberitahu bahwa sekolah tempatku bekerja tidak mendapat jatah diklat. Aku yang paling pertama tersenyum-senyum seperti orang gila, bersyukur dalam hati, bersorak dalam diam, rasanya air mataku ingin meluap karena terlalu senang. Tapi, meskipun liburanku sesuai dengan rencanaku, pertemuanku dengannya yang selalu kutunggu-tunggu tidak lantas berjalan sesuai rencana yang kususun diam-diam. Dari sejak pertama aku sampai di rumah temanku hingga bertemu dengannya membutuhkan waktu yang terasa begitu lama. Aku tidak bisa secara gamblang mengatakan pada temanku bahwa aku ingin menemui dia. Apa yang akan dipikirkan temanku tentangku? Lagipula di dalam diriku dipenuhi pro dan kontra. Di satu sisi aku ingin sekali menemuinya, di sisi lain aku takut bertemu dengannya. Saat itu, sekali lagi aku ikhlas. Kapan pun aku akan menemuinya tidak masalah. Yang kubutuhkan adalah ikhlas dan berserah padaNya.
Ketika tiba saat aku menemuinya, di hari Jumat sore tanggal 16-06-2017, dia datang ke warung keluarga temanku dan menyalamiku. Aku hanya bisa tersenyum. Terlalu mendadak tapi seharusnya hatiku sudah siap, meskipun ternyata tidak. Di hadapannya aku tidak bisa mengatakan apa-apa. Aku hanya bisa mencuri-curi pandang pada figurnya yang mengesankan. Dia terlihat begitu menawan di mataku, rambutnya yang lebat tergerai polos, kulitnya putih dan terlihat begitu mulus, aku bertanya-tanya apa benar setiap hari dia bekerja di pantai ini dan berpanas-panasan sementara kulitnya begitu bersih, pdhal temanku bilang dia hanya mandi 1x sehari? Lol
Yang tak ketinggalan dia tinggi dan wajahnya sama sekali tidak memperlihatkan usianya sebenarnya. Dia 32 tahun tapi wajahnya menampakkan usia 20-an. Terlihat sangat muda, lugu dan polos. (^^) Kalau secara spiritual dia bisa digambarkan sebagai malaikat. Hey, aku tidak berlebihan! Setidaknya aku yang melihatnya demikian pada kesan pertama. Tidak hanya fisiknya saja yang menakjubkan, sikapnya pun bisa menggambarkan bagaimana jiwanya. Dia tidak banyak bicara, mungkin karena perbedaan bahasa. Tapi, dia dicintai banyak orang.
Di hari pertama pertemuan itu aku tak bisa berlama-lama disana. Karena satu dan lain hal aku harus pergi. Meskipun aku masih sangat ingin melihatnya. Oke, tidak perlu mengobrol, hanya agar bisa melihat dia beraktivitas di tempat itu aku merasa senang. Saat itu aku mulai memutar otak memikirkan apa yang harus aku lakukan agar bisa melihat figur itu lebih lama dan mengenalnya lebih baik.
Lalu aku memintanya untuk mengizinkanku mengikutinya bekerja di pantai pada keesokan harinya, hanya saja aku tidak bisa memenuhi itu karena keluarga temanku yang kutumpangi sampai di pantai ketika dia telah selesai bekerja. Di hari kedua bertemu dengannya aku bisa melihatnya dari kejauhan. Bahkan dari celah kecil aku bisa mengenalinya berjalan dengan membawa sapu andalannya mendekati warung. Aku berpura-pura tidak melihat. (*´罒`*) Karena malu bila ketahuan aku terus memperhatikannya. Lol
Begitu sampai di warung, dia menyapaku. Menyapa semua orang yang dilihatnya. Lalu duduk di hadapanku sambil menelungkup di atas meja. Dia sepertinya kelelahan. Tak lama kemudian dia memutuskan untuk pulang. Benar-benar sedih rasanya tapi tak apa karena dia butuh istirahat. Malam hari dia tidur hanya sekitar 4-5 jam. Kebiasaannya menulis blog menyita cukup banyak waktu. Kurasa. Di warung, aku diminta untuk diam saja tapi karena terlalu banyak tamu, akhirnya aku pun dimintai bantuan untuk bekerja. Oke. Ini mulai terasa mendebarkan. Aku belum pernah berbicara dengan turis sebelumnya, setidaknya dengan cara yang benar. Lalu kini aku masuk ke business service area, benar-benar membuatku tak tahu harus melakukan apa. Namanya jg baru belajar. Aku dibimbing oleh suami temanku, dan dibantu ayahnya. Hari itu cukup sibuk. Waktu yang kulalui terasa begitu menyenangkan. Tak sedikitpun merasa lelah. (*•̀ᴗ•́*)و ̑̑
Sore harinya sekitar jam setengah lima, dia datang ke warung dengan senyum sapa kepada semua orang yang dikenalnya disana. Setelah dia duduk di hadapanku, tak banyak yang bisa kami bicarakan. Aku hanya bisa mencuri-curi pandang darinya dan tersenyum padanya. Aku benar-benar tidak bisa mengungkapkan apa yang ingin kuungkapkan. Tidak bisa membuka percakapan. Senja itu dia membawa banyak post card yang akan dia kirimkan ke suporternya di Jepang. Ratusan post card yang harus dia tulis. Aku hanya bisa memperhatikannya. Senja itu adalah kali pertamanya aku dan dia makan di atas meja yang sama berhadap-hadapan. Dia makan dengan lahap dan cepat. Sangat berkebalikan denganku. Lol
Dia sangat berterima kasih pada keluarga temanku. Sambil menunjukkan jempolnya dan deretan giginya yang putih dia berkata padaku, "Good family ne!", yang kubalas dengan senyum dan anggukan. Dia tidak perlu mengatakan banyak hal, aku juga merasa tidak perlu menanyainya banyak hal karena aku sudah mengetahuinya dari blog yang dia tulis, aku membacanya hampir setiap hari sebelum memulai aktivitas. Semua yang ingin kutahu ada disana. ( ˙ᵕ˙ )
"Uchuu no ko Masa desu" adalah cara dia mengalamatkan dirinya. Dia adalah anak dari alam semesta. Itu yang dia yakini.
Suki na Hito ga Iru Koto part 1 end.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar