Seminggu setelah meninggalkan Kuta, aku kembali lagi tapi tidak bisa langsung kesana. Gungmas sakit, sehingga selama beberapa hari aku menunda keinginanku untuk ke Kuta.
Tiga hari tiga malam aku menginap di rumah paman di Batubulan, baru di hari ketiga pada sore harinya aku pergi ke rumah Gungmas di Ketewel. Besar harapanku untuk bisa ketemu dengan Masa. Tapi mengingat bahwa temanku sedang sakit, aku tidak bisa begitu saja meninggalkannya. Benar-benar sangat dilematis. Tapi, aku tidak ingin menyesali itu. Aku mempercayakan kepada Tuhan apapun yang terjadi, aku berharap beliau mengaturnya sedemikian rupa agar sesuai dengan apa yang beliau rencanakan. Aku memang merasa sedih. Tapi, aku belajar untuk ikhlas.
Hari pertama di rumah Gungmas, aku mengambil passport sendirian, rencananya aku akan ke warung di Kuta sekembalinya dari Kantor Imigrasi. Tapi, semua rencana itu pupus sudah karena Gungmas mendadak mengatakan akan pulang kerja lebih awal karena sakitnya. Aku mengurungkan niatku ke warung. Padahal itu adalah kesempatan langka tapi Tuhan mengujiku. Mana yang kuutamakan, teman atau keegoisan hatiku? Itulah yang kupikirkan. Entah kenapa aku tidak bisa mengatakan dengan jelas apa yang kuinginkan sebenarnya. Aku juga tidak bisa mengungkapkan kekecewaanku. Aku tidak mungkin menyalahkan apa dan siapa. Aku berusaha menerima.
Barulah pada keesokan harinya, aku memberanikan diri, meskipun aku malu, aku ingin mengungkapkan sekali saja dalam hidupku keinginanku. Maka dari itu, aku memutuskan untuk ke Kuta karena hari itu adalah hari terakhirku disana. Aku meninggalkan gungmas yang masih terbaring sakit. Entah kenapa dia seolah tahu apa yang sedang terjadi. Seolah sangat terlihat jelas bahwa aku menyukai Masa tapi kemungkinan bahwa perasaanku tidak akan terbalas juga terlihat sangat jelas. Aku merasa sedang dikasihani. Saat berangkat menuju pantai Kuta, ada banyak hal yang kupikirkan. Aku sudah berencana akan mengungkapkan isi hatiku padanya. Aku memikirkan cara seperti apa yang akan kulakukan. Aku memikirkan tentang bagaimana reaksiku nanti bila mendapat penolakan. Atau bagaimana reaksinya, apa yang dia pikirkan tentangku. Dalam perjalanan sekitar satu jam itu, di satu sisi terasa begitu berat tapi di sisi lain terasa begitu ringan. Ada perasaan takut yang begitu dalam, ada juga perasaan bahagia. Aku mulai memikirkan bahwa aku tidak harus mendapat jawaban darinya. Paling tidak itulah yang terpikir saat itu. Tapi, tentu saja khayalan liarku tidak menginginkan itu. Aku sudah mengkhayalkan masa depan dengannya, tentang bagaimana aku dan dia akan menjalani sebuah hubungan, tentang bagaimana bila annti kami menikah, tentang bagaimana bila nanti kami memiliki anak, tentang bagaimana nanti aku akan menemui keluarganya. Semua khayalan itu penuh dengan harapan, aku tidak bisa membayangkan kalau akhirnya tidak ada satu pun khayalan itu akan menjadi nyata.
Begitu sampai di pantai Kuta, radarku aktif seketika. Dalam sekali lihat, entah kenapa aku tahu dia berada disana. Dari parkiran yang cukup jauh aku bisa melihatnya, duduk di sebuah warung di sebelah timur dari warung keluarga temanku. Aku mengulum senyumku, merasa diri begitu luar biasa hanya karena jatuh cinta.
Aku berjalan mendekatinya, begitu dia menyadari keberadaanku aku menyapanya lalu mengambil duduk di sebelahnya. Kami ngobrol cuma sebentar karena dia kembali sibuk dengan ponselnya, dan tidak ada hal yang bisa kami bicarakan. Entah kenapa aku tidak bisa menjadi diri sendiri saat bersamanya, maksudnya aku menjadi jauh lebih pemalu, dan lebih memperhatikan mannerku. Hello, aku tahu aku memang seperti itu, aku memang jaim, tapi apakah aku sejaim itu? Tidak, aku tidak jaim di hadapannya, hanya saja, aku tidak tahu apa yang harus kubicarakan. Apa aura yang dia berikan terasa tidak bersahabat? Entahlah.
Akhirnya aku memutuskan untuk ke warung temanku. Bertemu dengan keluarga temanku yang baru aku temui tadi pagi, lalu mulai membantu beres-beres. Tidak banyak yang kulakukan, hanya membantu melap sendok. Pekerjaan pertamaku saat pertama kali ikut bekerja disana.
Hari itu aku sedikit down, walau bagaimana pun kerasnya berusaha, aku sulit sekali menjadi dekat dengan Masa seolah-olah ada tembok penghalang besar di antara kami. Sampai pada detik itu, mungkin dia masih menganggapku orang asing.
Pagi menjelang siang hari itu, setelah selesai beberes, aku duduk saja di kursi tempat biasaku duduk. Tak berapa lama, ajik memanggil Masa untuk menyuruhnya makan. Dia pun mendekat ke warung lalu duduk di kursinya dan memulai makan. Aku tidak begitu ingat apa yang dia makan saat itu dan apa yang kulakukan. Aku juga tidak ingat apakah setelah makan dia merokok atau langsung menuju pantai. Yang paling kuingat hanyalah, di antara kami tidak ada kemajuan sedikit pun. Aku merasa down sepanjang waktu karena meskipun aku ingin melakukan banyak hal, aku tidak bisa melakukannya.
Siang itu, ia memulai aktivitas membersihkan pantai, seperti biasa, dia pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Aku duduk sambil menghela napas panjang, di kursi tempat biasanya dia merokok. Tak lama kemudian datang sebuah pesan messenger darinya, "まっててね" isi pesannya. Aku tidak bisa menyembunyikan perasaan senangku, aku tidak bisa menyembunyikan senyumku. Meskipun kutahan, rasanya aku ingin melompat-lompat kegirangan.
Lalu, ketika dia kembali, coba tebak apa yang terjadi. Yap. Sekali lagi kukatakan, tidak ada yang terjadi. Ia kembali, entah apa yang dia pikirkan, ia akhirnya pergi dengan motornya. Aku kembali down. "Apa-apaan dia, sebentar-sebentar membuatku terbang tinggi melambung di angkasa, sebentar-sebentar dia membuatku tenggelam ke dalam lautan nan dalam."
Akhirnya kuputuskan untuk pulang ke Ketewel, dengan sedikit perasaan kecewa. Setelah melayani beberapa pelanggan dan warung mulai sepi, aku duduk terdiam di kursi favorit Masa sambil memainkan ponsel. Bertukar pesan dengan Gungmas. Aku sudah pasrah dan berpikir untuk pulang lebih awal, lagipula hari itu aku memang berjanji pada gungmas untuk mengantarnya ke dokter.
Karena warung sepi Gustu tidak melakukan apa-apa, akupun disuruh makan dengan membuat makanan sendiri. Saat itulah aku sadar ada Masa di warung, sedang duduk sambil merokok di kursi tempat biasaku duduk menunggu pelanggan. "Huh, kapan dia datang? Kenapa? Bukankah biasanya dia baru akan kembali ke pantai sekitar jam 5 sore?" Saat itu masih sekitar jam 3. Aku sempat mengambil fotonya dari belakang, bagian favoritku dari tubuhnya. Punggung. Entah kenapa aku senang melihat punggungnya.
Siang menjelang sore hari itu, pertama kalinya aku masuk ke dapur warung untuk memasak. Aku tidak tahu memasak apa, yang terpikir olehku hanyalah nasi goreng, karena itu makanan termudah yang bisa kumasak. Aku malu mengakuinya, sebenarnya saat itu aku sengaja menambahkan porsi nasi untuk nasi goreng yang kumasak karena aku menyimpan harapan nantinya bisa memberikan masakanku pada Masa. Aku memasak nasi goreng yang seperti biasanya kumasak. Aku tidak cukup percaya diri pada masakanku tapi aku ingin melakukan sesuatu untuk seseorang yang kusukai, oleh karena itu kupikir tidak apa-apa.
Demi mendapatkan alasan yang bagus untuk mengajak Masa makan, aku menawari Gustu dan Ajik makan terlebih dahulu, meskipun as expected mereka menolak. Barulah kutawari Masa makan, dan aku tahu dia tidak akan menolak makanan. Tak lupa aku juga memberikan nasi goreng buatanku pada Gek Devi.
Aku mengatakan pada Masa bahwa nasi goreng itu buatanku, bahkan sampai saat ini aku masih tersenyum-senyum saat mengingatnya. LOL.
Dia duduk di kursinya bersiap untuk makan sementara aku mengambilkan telur dadar untukku dan dia. Saat dia memakan masakanku sesendok, "Hooohh enak yo!" Serunya. Aku benar-benar malu. Aku tidak berhenti tersenyum dan merasa senang meskipun aku menyadari masakanku tidak seenak seperti yang dia gambarkan, maksudku nasi goreng buatanku sebenarnya tidaklah enak, benar-benar tidak enak. Percayalah.
Aku lalu duduk berhadapan dengannya sambil memberikannya setengah telur dadar yang kuambil. "Dou desu ka?" Tanyaku. Berulang kali dia menjawab "enak enak!" sambil makan dengan lahap, dan berulang kali pula aku bertanya, "hontou?" sambil menyangsikan jawabannya. Meskipun pada akhirnya aku mengucapkan "arigatou" atas reaksinya yang sedikit berlebihan bagiku dengan sedikit keraguan. Tapi aku benar-benar merasa senang, karena satu keinginanku telah terkabul, membuatkan makanan untuk Masa.
Seperti biasanya, Masa makan dengan sangat cepat dan menghabiskan semua yang ada di piringnya sampai bersih, sementara aku makan sangat lambat, sambil berusaha keras menghabiskan masakanku sendiri. Selain karena rasanya yang memang kurang enak, porsiku juga terlalu banyak. Saat itu, Masa tidak meninggalkanku. Anehnya dia menemaniku makan, dan itu membuatku cukup senang, aku makan sambil memperhatikannya. Hal yang biasa dia lakukan adalah membersihkan giginya lalu menyelipkan tusuk gigi itu di telinganya. Lol.
Aku mungkin terlalu gila untuk menerima kebiasaannya itu. Aku tidak tahu bagaimana wanita lain akan menanggapinya. Bagiku itu hal yang imut. Lol.
Tak berapa lama Gek Devi kembali ke warung dengan membawa sisa nasi goreng yang kuberikan padanya, yang akhirnya harus dibuang karena porsinya kebanyakan, dia juga mengatakan kalau nasi goreng buatanku kurang kecap dan saus. Aku tidak kecewa mendengarnya, aku justru merasa kasihan pada orang-orang yang memakan masakanku, karena sepertinya seleraku berbeda dari orang lain. Mungkin karena itu juga aku tidak begitu percaya diri memasak untuk orang lain.
Setelah aku berhasil menghabiskan makananku, aku mengambil piringku dan piring Masa untuk kucuci. Aku selalu ingin melakukannya. Dan memang sudah beberapa kali kulakukan. Ketika suasana sudah mulai tennag sedikit, terjadi hal yang tidak kusangka-sangka. Ada tamu datang dan meja tamubmasih kotor! Kami panik dan segera membersihkan meja, segera mengambil pesanan dan memenuhi pesanan. Mungkin karena ikut terbawa suasana panik, Masa pindah duduk ke warung sebelah. Saat suasana tenang, aku berpikir untuk mengajaknya berjalan-jalan di tepi pantai. Tapi, mungkin memang bukan rejekiku. Aku diingatkan untuk mengantarkan Gungmas ke dokter. Aku juga berjanji mengantarnya ke pasar Sukawati untuk membeli bahan banten persiapan untuk persembahyangan buda kliwon esok harinya. Dengan berat hati akhirnya kuputuskan meninggalkan pantai Kuta. Dan mengurungkan niatku mengatakan pada Masa mengenai isi hatiku terhadapnya.
Sebenarnya hari itu aku sedang melarikan diri, mengatakan bahwa tidak bisa mendapatkan kesempatan dan waktu yang tepat untuk mengatakannya. Itu hanyalah alasan. Karena sebenarnya aku takut. Aku takut hari itu akan mendapatkan penolakan. Aku mulai berpikir untuk menundanya sampai waktu kami akan bertemu lagi. Berpikir bahwa semua akan baik-baik saja.
Kuhampiri Masa yang tengah duduk sambil memainkan ponselnya. Kukatakan padanya bahwa aku harus pergi dan tidak akan kembali ke Kuta dalam waktu dekat. Entah kenapa aku seperti merasa dia sedikit kecewa. Aku telah membuatnya kecewa.
Satu hal yang baru kusadari hari itu, bahwa beberapa orang di sekitar warung tampaknya menyadari bahwa aku memperhatikan Masa. Sepertinya orang-orang yang merasa aneh dengan keberadaanku disana menyadari bahwa kedatanganku adalah untuk Masa.
Saat aku mengucapkan perpisahan dengan Masa, seorang bapak pemilik warung yang ternyata juga merupakan salah satu keluarga ajik menghampiriku dan Masa, dia seolah tahu apa yang kurasakan terhadap Masa, dia membantuku menerjemahkannya, hanya saja aku segera memberi penjelasan bahwa aku pergi untuk mengantar Gungmas, karena dia berpikir aku tengah berusaha mengatakan ke Masa bahwa aku ingin mengajaknya ke PKB.
Bapak, ketahuilah bahwa hal itulah yang sangat ingin kulakukan pak, hanya saja tidak ada kesempatan lagi. Sepertinya.
Masih banyak hal yang ingin kulakukan untuk Masa. Ada banyak hal yang ingin kubagi dengannya. Aku ingin berbicara dengannya, aku ingin mendengar cerita-ceritanya meskipun sepertinya cerita yang akan dia sampaikan seputar pengalaman uniknya Lol. Aku ingin membuatkan berbagai masakan untuknya, aku ingin melihatnya makan dengan lahap, aku ingin melihat senyumnya, aku ingin melihat dia tertawa, dan tak lupa aku ingin memberitahukan judul lagu yang ingin dia ketahui. Seeeemuuuuaaannyaaaa...
Hari itu, sebagian hatiku, jiwaku dan pikiranku tertinggal di tempat itu. Di Pantai Kuta Bali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar