Kamis, 20 Desember 2018

I want to get Married to a Perfect Husband

Hal yang paling mengerikan yang pernah terjadi padaku adalah ketika aku mulai memiliki harapan terhadap orang lain.

Saat harapan itu ada meskipun hanya sedikit, besar kemungkinan menimbulkan luka yang sangat besar bagiku saat "orang lain" itu tidak mampu memenuhi harapan.

Mungkin seharusnya aku menemukan seseorang yang memahami kerapuhan dan kelemahanku, bukan yang mengetahui kekuatanku. Kebanyakan orang tahunya aku kuat, aku mampu, kebanyakan tak melihat betapa besar usahaku untuk bertahan. Memang sih lebih banyak untuk menjaga harga diri.

Tapi, mungkin memang kelihatannya seperti itu ya.. diriku yang selalu tampak kuat.

Beberapa hari yang lalu tiba-tiba saja terlintas dalam benak, "biasanya apa ya yang kulakukan setiap hari, kenapa akhir-akhir ini aku merasa bosan?" Ketika pikiran itu muncul tandanya aku memiliki harapan pada seseorang tapi orang itu tidak sesuai harapan.

Beberapa waktu lalu aku bertemu dengan orang yang diperkenalkan oleh temanku. Dulu saat dikenalkan aku merasa dia tidak potensial, tapi ketika bertemu kenapa rasanya dia menjadi potensial? Hati ini benar-benar sulit ditebak. Jadi, mulailah strategi untuk mendekat padanya, berharap dia membalas dengan senang hati. Tapi, mungkin itu salahku juga karena dulu mengabaikannya, wajar saja bila sekarang aku diabaikan juga secara perlahan.

Dan aku melarikan diri dari rasa kecewa itu.

Apkah aku pernah bercerita tentang pemuda yang dua tahun lebih muda dariku yang ingin mempersuntingku sekitar bulan November lalu?
Kemarin aku bertemu dia.
Ya...dari semua orang kenapa aku bertemu dia di tempat yang sudah jarang kukunjungi pula.
Dilihat dari dekat meskipun cuma sejenak, aku menyadari warna kulitnya yang bersih, cara berpakaiannya yang rapi, wajahnya yang tampan, senyumnya yang ramah meski canggung. Sejujurnya, aku menyukainya. Tapi, dilihat dari segi yang lain, pendidikan cuma sampai SMP, pekerjaan buruh, dan ekonomi keluarga agak kurang, aku menolaknya hadir dalam hidupku.

Rasa kecewaku teralihkan karenanya.

Kalau saja aku pria dan dia wanita, mungkin aku mau saja mempersunting dia. Haha

Hidupku sepertinya belum cukup rumit sehingga perlu ditambahkan banyak bumbu penyedap, yang terang-terangan kutolak.

Aku tak harus menambah kerumitannya lagi dengan drama. Misalnya seperti saat ini, tiba-tiba saja timbul keinginan untuk menawarinya ajakan keluar "temani aku makan, aku yang traktir." Atau "temani aku belanja". Atau mungkin yang lain, meskipun hanya sebagai teman.  Seandainya aku pria.

Jelas-jelas sebenarnya aku menyukainya, dari dulu malah, tapi terlalu banyak pertimbangan. Logikaku kadang-kadang terlalu keras kepala.

Kadang aku berandai-andai, kalau saja dia berpendidikan lebih tinggi, minimal D1 laahh, kalau memungkinkan sih Sarjana, pekerjaannya kurang lebih setingkat, paling tidak bekerja kantoran atau semacamnya, dan coba keluarganya lebih mampu sedikit lagi. Mungkin seleranya bukan aku lagi. Haha.

Apakah Tuhan sedang mengujiku? Benar-benar ujian yang tidak lucu.

Padahal sejak berhasil move on dari kegalauan karena sudah menolak si pemuda berondong itu aku terus berdelusi tentang pria impianku.

Dalam delusiku semua terasa indah. Aku bertemu dengannya di dalam pesawat menuju Singapura, seorang pengusaha yang wara wiri keluar negeri, menawarkan dirinya sebagai pemandu wisata secara gratis, lalu sekembalinya ke Bali masih tetap mempertahankan komunikasi dan akhirnya mengakui ketertarikan masing-masing. Dia akhirnya melamarku, lalu mau tinggal dan menetap di daerah dekat tempat kerjaku.

Selama berdelusi aku memikirkan, bila aku bertemu dengannya, masalah macam apa yang akan dan seharusnya kami hadapi. Aku tidak mau memikirkan masalah tentang adanya orang ketiga. Tidak mungkin. Masalah dengan orang tua? Juga tidak. Aku juga yakin bahwa masalah yang memungkinkan untuk kami hadapi tidak berasal dari internal diri kami sendiri. Aku masih nemikirkannya.

Delusi ini sebenarnya memberiku inspirasi untuk menulis "I'm Married a Perfect Husband".

Akankah perfect husband itu ada dalam hidupku?
Kalau aku berdoa terus, apakah Tuhan mau mengabulkan doaku?