Sabtu, 09 Juli 2022

Satu dari Sejuta

Dear Burogu~
Ohisashiburichi~

Kalau tidak karena merasa sesak mungkin aku tidak berada disini untuk melepas uneg-uneg di dalam hati. 

---

Di dunia ini, menantu dan merasa bersyukur serta menyayangi mertuanya dengan segenap hati mungkin hanya ada satu dari sejuta. Saking langkanya, aku tidak termasuk yang "satu" itu. 
Dan kemungkinan sebaliknya juga ada. Mertua yang bersyukur dan menyayangi menantunya dengan sepenuh hati juga dalam perbandingan yang sama. 
Jadi sebenarnya, di dunia hubungan menantu dan mertua itu sangat rapuh dan rentan. Namanya juga "terpaksa" berada dalam hubungan. 
Abaikanlah mereka yang tinggal terpisah dari menantu atau mertua, karena mereka mungkin masih bisa merasa sayang dan rindu. Jauh berbeda dengan mereka yang tinggal bersama dibawah satu atap. Jangankan rasa sayang, bertemu saja ogah dan pengin buang muka, gimana mau rindu, lahwong ketemu saja tak sudi. 
Hidup sebagai menantu kadang mungkin dianggap benalu, penumpang. Mungkin juga si menantu yang merasa seperti itu, karenarumah yang ditinggali bukan hasil jerih payah suami, bukan hasil jerih payah sendiri, juga bukan/belum jadi warisan. Seperti rumah yang kutinggali bersama anak dan suami. Inilah kisahku tinggal di rumah milik orangtua suamiku alias mertua dan kecil kemungkinan untuk tinggal berpisah dari mertua karena suami adalah anak cowok satu-satunya. Suatu saat rumah ini akan jadi miliknya, tapi entah kapan. Yang jelas jangan cepat-cepat karena biaya ngaben itu mahal, dan aku yakin mertua bahkan tidak berpikir untuk nabung biaya tersebut. Yang ada malah warisan hutang. 

---

Ini kisahku. Menantu yang tinggal serumah dengan mertua. Bukan si "satu" dari sejuta. 

---

Tinggal dengan mertua itu banyak konflik. Karena sering bertemu, sering terjadi gesekan. Hanya saja, ibaratnya seperti tinggal dengan orang tunarungu, tunanetra dan tunawicara, aku si tunawisma yang hanya menumpang menjadi sulit menyatukan diri. Untungnya aku pegawai negeri. Punya kedudukan sosial di mata masyarakat. Setidaknya itu yang menjadi kekuatanku selama ini untuk menghadapi tirani hidup menumpang ini. Karena disini, meskipun aku menumpang aku tidak pernah bergantung pada suami atau mertua. Disini, aku menghidupi diriku sendiri, anak dan suami, juga termasuk membantu menghidupi mertuaku juga nggak sih? Kebutuhan rumah sebagian besar aku yang penuhi, ditambah kebutuhan anak. Mertua hanya membiayai kebutuhan pribadi mereka. 
Perlu diketahui, aku tidak ikut-ikutan dalam membayar hutang mertua, meskipun dulu sempat terjebak karena mereka berhutang atas nama suami. Karena sekarang hutang yang itu sudah lunas, aku juga bebas. Syukur suami tidak mau lagi dipake namanya. Termasuk pinjaman untuk kakak tertuanya. Amit-amit dah.. Tiap bulan kena mental terus dicariin debt kolektor, diteror lewat telpon berhari-hari. Uh gak mau lagi dah mengalami seperti itu lagi. 
Kadang aku berpikir, kok bisa sih orang ngutang gak mikir ngembaliinnya gimana, kumpulin kek biar gak sampe lewat tanggal. Padahal mertua laki punya pensiunan. 

---

Sampai-sampai aku bisa membuat tebak-tebakan. Apakah aku, menumpang tapi bukan benalu? 

---

Hidup sebagai tunawisma yang menumpang sudah berjalan sekitar dua setengah tahun. Ada satu hal yang sampai saat ini terus menjadi momok dalam lukanya hatiku akibat hanya hidup menumpang. 
Bapak mertua itu seorang perokok aktif yang kolot. Tau kan maksudnya? Perokok yang tidak memikirkan sekitarnya, dimana saja asal ngasep, sombong, berasa bangga ngasep dimana-mana dan yah begitulah. Anggaplah seperti perokok jaman dulu sebelum di bungkus rokok ada peringatannya, sebelum ada edukasi bahaya menjadi perokok pasif. Tiap kali ingat dan memikirkan bagaimana perilaku merokok mertua laki di dalam pikiranku aku sudah menginjak-injaknya ratusan kali sampai penyet. Padahal sebelumnya aku tidak begitu. 
Semua berawal ketika aku mengetahui diri ini tengah hamil. Sepertinya dari sejak itulah aku aware kalau mertuaku merokok. Sebelumnya aku kemana saja ya.. Kok rasanya aku tidak tahu kalau mertuaku merokok? :-/
Mengetahui diri hamil, aku berpikir untuk lebih menjaga diri, berharap juga orang-orang di sekitar lebih tanggap karena kupikir ini tubuh bukan lagi milikku seorang. Ada benih yang sedang tumbuh lho di dalamnya, dan benih ini adalah penyambung keturunan keluarga ini lho sodara-sodara, jadi wajar dong aku ngarep. Pada kenyataannya, mertua laki seenak jidat merokok di depanku. "Di situ saya merasa sedih"
Di sisi yang lain aku mendengar obrolan ibu mer dengan anak bungsunya di telpon, 'gak tau beneran apa gimana hamil soalnya gak kelihatan' dengan nada yang benar-benar seperti mempertanyakan dengan penuh keragu-raguan. Ditambah lagi satu pertanyaan yang terlontar kepada suami, 'beneran apa itu anakmu apa anak orang lain?' Entah bercanda atau memang bercanda, ditelingaku terdengar aneh. 

Fix. Sejak itulah bibit korsleting ini muncul. 

---

Saat aku benar-benar tidak bisa mentoleransi perilaku dan sikap mertua (plus suami), saat itulah kuistilahkan dengan "konslet". 

---

Seingatku, saat itu usia kehamilanku menginjak 8 bulan, saat itu kebetulan sedang ada masalah antara ipar tertuaku dengan suaminya. Aku dan suami seperti biasa jalan-jalan sore dan kebtulan obrolan mengarah pada ketidaksukaanku pada perilaku merokok pak mer. Memang dia memberikan pengertian, mengatakan aku harus sabar, orang hamil tidak boleh emosi berlebihan, jangan terlalu diambil hati. Aku memang sering dengar suami memperingati pakmer supaya tidak merokok dekat ventilasi kamar atau jangan merokok di dekat aku. Hanya saja mertua laki itu tipe orang tunarungu, gak mau mendengarkan. Alhasil, tau-tau suami berkata. 'Ya mau gimana lagi, orang dia yang punya rumah, kamu cuma numpang bisa apa?'

Mendengar kalimat itu ditambah dengan nada samar mengejek, akupun terdiam. Dalam hati "uwaaasssu, aku lho yang biayai hidup kamu, kalo bukan karena kamu yang tidak mampu mana mau aku tinggal di rumah itu! Andai kamu punya penghasilan yang sepadan dengan penghasilanku dan cukup untuk ngontrak rumah udah dari dulu aku ngontrak rumah!" 

Sejak itu, aku menyerah dengan suamiku. Ini orang gak bisa Stand Up buat aku. Begitu pikirku. Sedih, marah, kesal, bercampur aduk menemani masa-masa kehamilanku. Rasa yang terus melekat hingga hari ini. Dan kata "menumpang" selalu jadi kata mati yang terus mengingatkanku bahwa aku tidak diterima sepenuhnya disini, sebesar apapun aku berkorban. 


--- 000 ---