Selasa, 26 Desember 2017

Itterasshai

Malam ini, 26 Desember 2017, aku, Gungmas, Gustu dan ajik nganterin Masa ke airport. Jam 11 malam ini dia akn berangkat ke Jepang selama dua minggu untuk memperbaharui visanya dan bertemu dengan keluarganya.
Entah apakah aku termasuk beruntung atau bagaimana. Seharian ini aku terus memikirkan kapan waktu yang tepat untuk memberitahunya perasaanku dan mendengarkan apa jawabannya. Saking galaunya aku merasa ingin menjedotkan kepalaku ke tembok dan aku memang benar-benar melakukannya meskipun tidak di tembok, tapi di pilar kayu yang ada di warung pinggiran pantai Kuta. Lol.

Seharian ini sosoknya terus bermunculan dalam benakku. Suaranya seolah-olah bisa kudengar. Mataku secara otomatis mencari sosoknya. Begini rasanya galau.

Besok akan kutuliskan detailnya agar suatu saat nanti aku tidak lupa. :)

Senin, 25 Desember 2017

Sitting Alone on the Sand at Kuta Beach

Hari ini, aku mencoba melakukan sebuah gerakan. Mengikuti Masa melakukan kegiatan membersihkan pantai Kuta. That's the plan. But, it was not going okay. Pada akhirnya aku bahkan tidak bisa menyapanya saat dia bekerja. Orang sepertiku yang pasif dan sulit mendekati orang rasanya apapun yang kulakukan tidak akan menghasilkan apa-apa. Usaha yang kulakukan sepertinya tidak berarti apa-apa. Aku tidak kemana-mana. Aku stuck di tempat yang sama lagi dan lagi. I want to do something about it but it seems like it also will not going well. Yameta to omoutta.
Ini kedua kalinya aku duduk sendirian di pantai Kuta. Di atas pasir yang terbilang putih. Dengan angin yang berhembus dengan kencang, cukup dingin hingga membuat bulu kudung merinding. Suara ombak yang berdebur bagaikan irama alat musik. Sepertinya aku harus bersiap-siap untuk masuk angin. Tapi, aku telah mempersiapkan obat. Selalu sedia payung sebelum hujan adalah salah satu motoku. Haha.

Pagi tadi hujan mengguyur cukup awet, kupikir seluruh Bali pasti sedang dilanda hujan. Seperti hujan di dalam hatiku. Ada badai disana yang kelihatannya tenang tapi sepertinya mematikan. Ada suara ombak disana yang meraung-raung seperti mengikuti terjangan angin yang menggebu-gebu. Rain in my heart. Munhkin prase itu cukup bagus untuk dijadikan sebuah judul novel. Ada yang mau memakainya, silakan.

Dalam dinginnya angin, aku masih bisa mendengar canda tawa pengunjung pantai. Dari tempatku duduk aku bisa melihat beberapa orang meluncurkan papan selancarnya di dalam air, menghadapi ombak. Ada juga wisatawan asing yang tengah berenang melawan dinginnya air dan angin. Aku saja yang hanya duduk menonton merasa begini dingin, bagaimana mereka?
Di sisi lain, ada penjaja makanan yang berjalan menyusuri pantai. Ada juga yang duduk menunggu seperti yang dilakukan Gustu dan Ajik di warung. Tak lupa, di hadapanku tertumpuk sampah kiriman yang entah datang darimana, baru saja dikumpulkan oleh petugas kebersihan secara gotong royong. Aku membantu sedikit meskipun tidak begitu berarti.

I wonder, is there someone noticing me? I'm not sure. Selain petugas kebersihan, sampai saat ini belum ada satu orang pun yang kuajak berbicara. Termasuk Masa. Padahal aku tadinya ingin mengamatinya dan mengambilkan video untuknya tapi seperti yang kukatakan tadi semua tidak berjalan dengan lancar. Kenapa aku seperti ini? Aku sendiri heran. Haha.

Hari ini, entah kenapa ada helikopter yang lewat beberapa kali di wilayah pantai ini. Helikopter merah yang tak bisa kulihat mereknya. Haha.

Kalau saja aplikasi blogger android bisa memposting foto, pasti sudah kutautkan banyak foto di tulisanku. Sayangnya, itu kekurangan terbesar aplikasi ini. Tapi, tak mengapa.

Catatan hari ini: di dunia ini ada banyak hal yang ingin kulakukan paling tidak satu kali dalam hidupku.

Bagaimana Aku Akan Melawan Alam Semesta?

Sebelumnya, Selamat Hari Natal :-*

Sayang sekali moment natal ini aku merasa sedikit lesu. Setelah akhirnya dengan doa dan usaha keras aku sampai di tempat ini, akhirnya aku harus menghadapi kenyataan bahwa mungkin aku hanya tak bisa melawan alam semesta.

Semalam aku bermimpi kehilangan anting-anting baik yang sebelah kiri maupun yang sebelah kanan. Artinya, aku kehilangan harapan, kehilangan kepercayaan terhadap diri sendiri dan orang lain yang bersifat khusus. Itu sebenarnya mimpi buruk yang menjadi nyata.
Aku memang telah menghadapi itu. Kehilangan harapan akan sesuatu. Seperti saat ini. Saat aku telah tiba disini, orang yang kuharapkan ternyata akan segera meninggalkan Bali. Jadi, waktu untuk bisa melihatnya hanya hari ini.
Aku merasa alam semesta sedang berusaha mengatakan padaku untuk berhenti. Segalanya berjalan dengan tidak normal, tidak sesuai harapan. Aku mungkin tidak sanggup menghadapinya dengan senyuman. Jadi, apa yang harus kulakukan?
Bagaimana aku akan melawan alam semesta?

Tapi, aku sudah bertekad bahwa ini akan menjadi yang terakhir. Aku mungkin tidak bisa berhenti dengan segera. Tentu harus ada waktu yang harus kujalani dan kulewati untuk bisa overcome terhadap apa akan terjadi. Intuisiku cukup kuat. Aku sepertinya menjadi lupa akan perasaan bahagia dan berdebar-debar yang kurasakan di jalan kemarin. Bagaimana senyum yang tak bisa kusembunyikan. Tak ada yang tahu gejolak macam apa yang ada di dalam dada ini. Aku kelewat bahagia dalam kesendirianku, tak bisa membagi dengan siapapun. Bila kubagi, mungkin ini akan terdengar konyol.
Saat ini yang bisa kurasakan hanyalah rasa sesak, sedih, kecewa, takut, semua perasaan negatif yang entah kenapa harus kusembunyikan dibalik senyuman. Aku harus tetap tersenyum agar tak ada yang tahu perasaan negatif ini. Lagipula aku juga tak mau membaginya dengan siapapun.

Aku juga bermimpi tentang Aris, mantan pacarku yang baru saja melangsungkan pernikahan. Dalam mimpiku dia mencariku yang sedang dalam kekecewaan dan memberikan pilihan untuk kembali bersamanya. Karena perasaan kecewa yang sedang kurasakan akupun menerima ajakannya bahkan bermesraan dengannya.

Entah apa arti mimpi itu. Mungkin aku harus mencari informasi lainnya tentang mimpi.

Hari ini benar-benar sangat lesu. Seperti perekonomian pantai Kuta yang juga lesu. Mungkin selesu itu. Masa telah meninggalkan pantai Kuta yang tengah diguyur hujan. Aku datang dia pergi. Sepertinya alam semesta benar-benar ingin mengatakan sesuatu tentangku dan dia. Apakah itu berarti aku dan dia tidak bisa menjadi "kami" atau "kita"? Benar-benar sesak rasanya memikirkan hal ini. Dadaku sakit, tenggorokanku sakit, mataku terasa berair bahkan air mata itu tak tahan ingin meluap.

Tuhan, beri aku keajaiban Natal. :) 

Ini sebuah curahatan hati yang kuposting di ig.

Aku sudah membulatkan tekad ini,
Dengan seluruh daya dan upaya,
Usaha yang walaupun sangat kecil,
Doa yang seperti tanpa harap,
Bagaimana aku akan melawan alam semesta?

Meski kukeraskan hati,
Meski kukuatkan bathin,
Meski kusempurnakan raga,
Ada hal yang tak bisa diraih,
Saat tangan malaikat itu menyapaku,
Aku hanya bisa tersenyum,
Sampai tangan itu menjauh dariku,
Aku masih ingin tersenyum,
Bagaimana aku akan melawan alam semesta?
Saat ia mencoba memberitahuku untuk berhenti,
Bagaimana caraku tetap tersenyum?
Aku takut,
Mencoba mengakhiri dengan cara yang sempurna,
Bagaimana alam semesta memberikan jalannya?

Ada rasa yang harus dikubur,
Ada waktu yang harus dikenang,
Ada pendaran cahaya dari mata yang harus padam,
Ada tangan yang tak bisa berpegangan,
Tapi senyum harus tetap mengulum.
Bagaimana aku akan melawan alam semesta?

Kamis, 21 Desember 2017

Sebuah Tanggal Penting Yang Terlupakan

Tanggal 20 Desember 2006 adalah tanggal yang selama 10 tahun tak pernah absen dalam ingatan. Hari itu adalah hari kematian seseorang. Bagiku dia adalah sosok yang mungkin akan mapu membuatku meninggalkan segalanya demi dia. Bahkan bila dia masih hidup saat ini dan mau menerimaku, aku akan rela meninggalkan apa saja demi dia. Aku juga rela seandainya nyawaku bisa ditukar dengan nyawanya.
Dewa Putu Santiadi. Pemuda yang lahir tanggal 22 Januari 1987, umurnya lebih tua setahun satu hari dariku. Aku jatuh cinta padanya menjelang umurku yang ke 17.
Saat itu, 31 Desember 2004, secara tak terduga dia muncul di depan rumahku sambil tersenyum mengatakan bahwa dia adalah anak teman ibuku. Aku dan dia pernah menghabiskan masa kecil bersama, keluargaku dan keluarganya punya hubungan yang cukup dekat. Tapi, saat dia berumur 7 atau 8 tahun, dia dan keluarganya pindah, sehingga kami pun berpisah. Aku tidak begitu ingat keberadaannya tapi dia mengingatnya meskipun tidak begitu baik. Dia pemuda yang ramah, suka tersenyum, pandai bicara, suka mengungkapkan guyonan, senang membuat orang lain tertawa. Dari segi fisik, dia tinggi dengan rambut lurus. Dia benar-benar sosok pemuda idamanku waktu itu. Aku menggilainya. Kehidupan masa SMA-ku di pertengahan kelas 2 hingga kelas 3 kujalani dengan memikirkannya, mencoba lebih dekat dengannya. Aku rela mendatangi sekolahnya dengan alasan mengantar temanku yang punya pacar di sekolah yang sama. Aku juga rela mendatangi rumahnya yang terbilang jauh dari rumahku dengan alasan main ke Bendungan Palasari. Kalau dipikir-pikir, sampai saat ini pun ternyata caraku mendekati seseorang masih seklasik itu dan itu sangat lucu dan lugu. LOL.
Sebenarnya aku bukan tipe perempuan yang percaya pada adanya cinta pandangan pertama, tapi pada Dewatu sepertinya itu yang terjadi padaku. Aku menyukai semua yang ada pada dirinya. Sayangnya, perasaan itu tidak pernah tersampaikan. Aku bahkan tidak tau apa yang dia rasakan terhadapku. Sampai pada suatu siang bertepatan dengan tanggal hari ini, aku yang sedang menjadi suporter bagi temanku yang sedang lomba nyanyi mendapat telpon dari ibu yang mengabari tentang kematian Dewatu. Awalnya, aku tidak tahu detailnya. Aku pulang sesegera mungkin dan mendapati rumah kosong. Hanya ada nenek di rumah sebelah.
Aku menghampiri nenek yang kemudian memberitahuku bahwa kedua orang tuaku telah pergi ke rumah duka.
Aku hanya bisa menangis.
Kakiku lemah, seluruh tubuhku lemas. Sambil terus menangis aku berharap bahwa itu hanyalah mimpi buruk. Tapi sepertinya aku tidak pernah bangun dari mimpi buruk itu.
Sepulang dari rumah duka orang tuaku memberitahuku detail penyebab kematiannya, kecelakaan motor. Sore itu di tanggal 20 Desember 2006, Dewatu meminta ijin pada ibunya untuk membeli sepatu ke kota. Sepatu itu rencananya akan dia pakai untuk ikut tes kepolisian. Pada saat meminta ijin dia mengatakan hanya pergi sebentar. Menurut cerita, ketika dia sudah sampai di jalan raya, melaju dengan cukup kencang, sampai di sebuah tanjakan yang tidak begitu curam disertai tikungan dia mau menyalip kendaraan lain tapi dari arah berlawanan juga ada kendaraan sehingga dia pun akhirnya tertabrak. Selama beberapa tahun aku melewati tempat yang aku yakini sebagai lokasi kecelakaan itu selalu berhasil membuat perasaanku sedih dan menangis. Aku patah hati cukup lama, bahkan sampai hari ini pun kematiannya masih kutangisi. Padahal aku dan dia tidak memiliki ikatan spesial. Baginya mungkin aku hanyalah adik yang sudah lama tidak dia temui.
Aku ingat di malam setelah pengabenannya aku bermimpi dia dalam tubuh anak kecil memakai pakaian penari di dekat sebuah pura. Melalui mimpi itu, sepertinya dia ingin mengatakan bahwa dia mendapat tempat yang layak. Menurut kepercayaan orang Bali, setiap orang yang meninggal, ketika badan kasarnya telah kembali pada buana agung maka atma yang masih memiliki sifat-sifat awidya (roh) masih belum suci sepenuhnya, dipercaya masih berada di Pura dalem, berada dalam kerajaan para roh. Masing-masing roh itu akan melakukan pekerjaan disana. Dan pekerjaan yang cukup mulia dan dipandang terbagus adalah sebagai penari. Maka dari itu, aku senang dia mendapat tempat yang bagus, hanya saja aku akan lebih senang bila dia tetap hidup untuk waktu yang lebih lama. Wanti-wanti aku mengharapkan keajaiban. Dalam setiap doa, sambil menangis aku berkata, "Bagaimana pun caranya, aku ingin dia hidup, tukarkan dengan nyawaku. Keberadaannya di dunia jauh lebih berguna dibandingkan keberadaanku, kumohon Tuhan lakukan sesuatu." Padahal aku tahu, keajaiban itu hanya ada dalam film.
Hari ini tanggal 21 Desember 2017, berarti sudah 11 tahun 1 hari. Baru kali ini aku lupa hari peringatan kematian Dewatu. Tapi, tanpa sadar kemarin aku menyebut namanya, memintanya untuk membantuku mencarikan jodoh, mungkin lebih tepatnya membuat seseorang menjadi jodohku. LOL.
Karena memikirkan orang itu aku jadi lupa pada hari peringatan.
"Dewatu, buatlah Masa jadi jodohku!"
LOL

Sabtu, 02 Desember 2017

My Brother is Getting Married

Semuanya menjadi semakin jelas sekarang. Membenahi rumah adalah awal yang sudah kupikirkan sejak lama. "Ah, adikku sepertinya akan segera menikah". Aku sebagai kakak yang masih single, bahkan sedang tidak memiliki pasangan ini merasa lega. Sekitar setahun lalu aku mengusulkan hal tersebut kepadanya. "Silakan menikah duluan." Aku memberinya ijin.

Aku bukan menganut anti-mainstream, juga tidak terikat pada budaya ketimuran, bila adik menikah melangkahi sang kakak maka sang kakak akan sulit menikah, kalau itu benar-benar terjadi maka ya sudahlah, aku tidak usah menikah, meskipun aku sangat menginginkannya.

Sejak kecil, aku hidup dengan memikirkan masa depan. Sampai seberapa tinggi sekolahku, di umur berapa aku akan bekerja, berapa penghasilanku, apa yang akan kubeli dengan uang milikku sendiri, di umur berapa aku akan menikah, dengan orang yang seperti apa, apa pekerjaannya, berapa anak yang kuinginkan, apa jenis kelaminnya, rumah seperti apa yang ingin kutinggali, berapa jumlah kamar, seberapa besar garasinya, seperti apa tamannya, bagaimana aku akan menghabiskan masa tuaku, bahkan sampai bagaimana aku akan mati. Aku sudah memikirkan semua itu sejak SD meskipun tentu saja dengan gaya pemikiran alay, tidak seperti saat ini.

Dulu, entah kenapa memikirkan masa depan begitu mulus, seolah jalannya begitu licin hingga mudah dilewati. Sekarang, segalanya berjalan serba lambat. Bukan waktu, tapi aku yang melangkah dengan sangat lambat, terlalu berhati-hati, terlalu waspada, selalu was-was, setiap saat merasa awas. Aku tidak bisa mengimbangi kecepatan waktu. Tahu-tahu sekitar sebulan lagi umurku 30 tahun!

Dulu, aku berpikir bahwa usia ideal perempuan untuk menikah adalah 23 tahun. Aku memikirkan itu sejak SMP. Ya. Aku ingin menikah di usia 23! Aku pernah punya tekad seperti itu. Di SMA aku pernah punya pikiran untuk menikahi pria Jepang.  Mungkin sejak itu aku memendam impian untuk berlibur ke negara itu. Saat itu aku berpikir, tidak apa-apa bila itu hanya sekedar angan. Aku tidak bisa mengontrol sampai sejauh mana otakku bisa berpikir. Bahkan aku pernah berpikir untuk tinggal dan hidup di luar negeri bahkan menjadi warna negara lain.

Semua bayangan akan masa depan berubah-ubah seiring berjalannya waktu dan pengalaman hidup yang kualami. Tadinya kupikir dalam hidup, aku ingin jatuh cinta satu kali, pacaran satu kali, menikah pun hanya satu kali. Semua berubah saat aku belum menyadari bahwa aku hidup untuk belajar dari pengalaman, aku bukan tipe manusia yang bisa serta merta belajar dari pikiran-pikiran yang sebagian besar tak rasional.
Jadi, meskipun aku tidak pernah mengalami masa kejayaan, aku pernah mengalami masa kemunduran dan tenggelam jauh ke lubang hitam seolah aku tak bisa lagi menemui pijakan.
Itu terjadi di tahun 2009. Aku putus dari pacar yang usianya lebih muda 2,5 tahun dariku. Kalau kupikirkan lagi periode itu, aku tidak paham apa yang telah membuatku begitu terpuruk saat itu. Aku hanya bisa berkesimpulan bahwa saat itu aku terlalu muda dan tidak berpengalaman.
Berkat seorang sahabat dan keluarganya aku berhasil bangkit dari keterpurukan itu. Lalu, selama periode pertengahan 2009 saat aku mulai memiliki akun facebook sampai pertengahan 2010 aku memiliki pacar online. Aku juga berteman dengan teman-teman online. Itu seperti kehidupan baru. Di dunia online aku bebas berekspresi, hampir tidak mengenal rasa malu. Kalau mengingat masa itu sekarang sebagian diriku merasa malu tapi juga merasa sedikit bersyukur, "aku melewatinya dengan baik" pikirku.

Aku telah belajar banyak dari hal-hal yang terjadi dalam hidup tapi tetap saja sepertinya itu tak pernah cukup. Katakan saja seperti menemukan pasangan hidup. Hari ini mungkin aku merasa sangat mencintai seseorang, sangat menginginkannya dan ingin menghabiskan hidup dengannya, berpikir bahwa hanya dia seorang yang akan membuatku bahagia, tapi bukankah ada kemungkinan di masa depan aku justru akan merasakan hal yang sama terhadap orang lain. Dulu aku tidak berpikiran seperti itu. Dulu aku berpikir "mungkin aku akan mati jika berpisah dari orang ini." Tapi waktu berjalan aku aku masih tetap hidup. Itu pengalaman yang berharga bagiku. Saatu saat semua hal itu akan menjadi hal konyol di masa sekarang bahkan di masa depan dan di masa depannya lagi akan ada hal-hal konyol lainnya yang mungkin terjadi, tak ada yang pernah tahu.

Saat ini perasaanku benar-benar campur aduk. Aku berusaha membawanya dengan pikiran santai dan tenang seperti biasanya. Aku tidak mungkin menunjukkan tangisanku di hadapan orang-orang yang berbahagia. Lagipula, suatu saat tangisan ini akan menjadi hal yang konyol juga.

Aku akan segera memasuki usia 30an, tapi sungguh aku tidak pernah merasa diriku cukup dewasa untuk memiliki usia itu. Jiwa dan gaya pemikiranku mungkin masih usia belasan. Mungkin ada hubungannya dengan lingkungan keseharianku yang kuhabiskan bersama anak-anak.

Menjelang usia 30an itu, aku sudah menentukan jalan hidupku. Ada begitu banyak pilihan jalan dan setiap jalan akan membawaku pada tempat yang berbeda. Tentu setiap mengambil langkah aku telah memikirkannya matang-matang, mekipun aku tidak tahu apakah jalan yang kuambil adalah jalan yang terbaik. Dan ada beberapa kali dalam hidupku aku mengambil jalan yang teramat egois karena aku merasa perlu untuk menyelamatkan diri sendiri. Ya, aku memiliki sistem pertahanan diri yang cukup baik yang kadang-kadang mengesalkan. Seperti ketika aku memutuskan untuk balikan dengan mantan lalu memutuskan untuk putus di saat dia telah memikirkan tentang pernikahan. Itu bukan keputusan yang mudah tapi aku merasa perlu untuk melakukannya. Demi menyelamatkan diriku dan orang lain.

Di antara pembaca yang sedang membaca tulisan blog ini, adakah yang pernah berpikir, "tidakkah aku sedang menjaga jodoh orang lain?".

Pertanyaan itu tiba-tiba terlintas dalam kebuntuan pikiranku tentang lamaran yang kunjung datang, dan pembahasan mengenai arah sebuah hubungan yang menemui solusi yang pasti. Karena aku yakin pada intuisiku, aku tak pernah membuatku keputusan gegabah dalam hidupku, jadi kuputuskan saat itu untuk tidak gegabah. "Mau sampai kapan kebuntuan ini akan terjadi? Dan apakah akan terus ada pengulangan?" Karena aku benci ketika pemikiranku mulai terkekang dan buntu. Aku menyadari betul bahwa aku berpikir dengan cara yang berbeda dan tak segan untuk membuat sebuah keputusan. "Jika tidak sekarang, kapan lagi?" Menjadi pribadi yang egois mungkin adalah keahlianku. Tapi aku tidak berpikir begitu. Saat aku membuat keputusan itu aku telah memikirkan berbagai aspek, dan mencoba melihat dari berbagai sudut pandang. Ini terkesan seperti sebuah pembelaan. Aku menyadari betul di satu sisi aku akan menjadi pihak yang bersalah dan dipersalahkan, tapi dari sisiku aku merasa telah mengambil keputusan yang tepat. Aku menyalahkan diriku sendiri atas semua penderitaan yang orang lain rasakan. Penyesalanku hanyalah aku melibatkan banyak orang dan melukai mereka semua padahal mereka tak bersalah. Tapi, jika dipikirkan dengan cara rasional seharusnya tak ada yang tersakiti. Atau setidaknya aku berpikir bahwa rasa sakit dan terluka yang dialami semua orang akan hilang seiring berjalannya waktu. Lagipula, aku takkan lupa pernah melakukan kesalahan hingga membuat orang lain terluka. Aku tak kan pernah lupa karena itu merupakan sebuah pembelajaran bagiku.

Saat itu yang ada dalam pikiranku ada kepasrahan. Tak apa bila aku tak menikah seumur hidupku daripada aku merasa menderita menikahi orang yang tak kucintai dan membuat orang lain menderita karena aku tak mencintainya. Setiap hal pasti memiliki sesuatu untuk disyukuri dan aku mensyukuri semua hal yang terjadi. Rasa sakit dan rasa terluka akan membuat setiap orang belajar untuk lebih berhati-hati, aku pun belajar untuk lebih berhati-hati agar tak melukai orang lain lagi ke depannya ataupun agar diri sendiri tak sampai terluka. Meskipun sepertinya itu hal paling sulit dalam hidup ini.

Dalam beberapa waktu ini aku harus siap-siap untuk terluka. Karena aku tidak bisa menghindarinya aku berusaha mempelajari seperti apa sakitnya. Dan tanpa sadar aku juga telah berusaha memikirkan apa obat yang tepat. Entahlah apakah waktu akan cukup?
Bila aku harus mengingatnya dan membahasnya aku hanya bisa menangis dalam diam. Aku tak punya tempat untuk mengungkapkan perasaan campur aduk ini. Di hadapan orang lain aku hanya bisa tertawa untuk menyembunyikan kegugupan di dalam hatiku sambil berkata dengan penuh canda. Di saat seperti ini, aku lebih memilih terluka sendirian daripada melukai banyak orang bila kuperlihatkan lukaku. Ini masih belum seberapa. Aku masih baik-baik saja.

Sebenarnya aku sangat berharap akan ada pengobat luka dalam hidupku. Entah kenapa sepertinya ini akan sulit bagiku. Kadang aku ingin berteriak dan menuntut kepada Tuhan kenapa beliau menciptakan makhluk sepertiku. Oh okay,  di luar sana juga banyak makhluk sepertiku yang bertebaran. Apa mereka juga menuntut hal yang sama?

Apa ini bayaran atas keegoisan tang telah kulakukan?

Aku tidak merasa salah karena mengharapkan kebahagiaan.

Aku iri pada setiap orang yang hidup bahagia dalam cinta.