Kamis, 01 Oktober 2020

When Money is the Most Reason

Dear Burogu~

Ohisashiburi ne..
Saat ini aku sudah memasuki minggu ke 35 kehamilan. Dua minggu lagi bayiku akan siap untuk dilahirkan. 
Menurut hasil USG, dia adalah bayi perempuan. Aku sudah menduganya sih.. Dengan perhitungan kalender cina dan dari penggabungan urutan jenis kelamin anak di keluargaku dan keluarga suamiku. Sebenarnya sudah bisa dipastikan anak pertamaku pasti perempuan. 
Ditambah lagi selama kehamilan aku dilihat orang sangat cantik dan bersih. Pasti bawaan bayi. Semoga bayiku lahir dalam keadaan sehat, lengkap, utuh dan tidak kurang suatu apapun.
Aku terus merasa ragu apakah aku bisa menjadi ibu yang baik bagi anakku, tapi setidaknya aku akan berusaha. Menjadi ibu yang bagaimana pun aku, kuharap anakku akan tumbuh dengan baik. 

Meskipun selama kehamilan ini aku lebih banyak disarankan untuk bedrest oleh bidan, tapi bukan itu alasan kesedihanku kali ini. 

Selama menjalani pernikahan, hidup serumah dengan mertua dan berusaha memenuhi kebutuhan hidup, ada banyak hal yang menuntutku untuk tidak terlalu banyak bicara dan mengumbar kesedihan yang kurasakan. Mulai dari harus menyesuaikan dengan gaya hidup keluarga suami yang sebenarnya cukup jauh berbeda dari keluargaku. Cara berpikir, cara bersikap, cara menyelesaikan masalah, cara menanggapi situasi, cara mengurus masalah keuangan, situasi ekonomi dan sebagainya. 
Aku tumbuh dari keluarga dengan kondisi ekonomi yang sangat berkecukupan, setidaknya aku tidak pernah membahas akan mendapatkan uang darimana untuk membayar hutang atau membeli beras. Ibuku, bapakku, adikku, sampai iparku, semua berpenghasilan. Kalaupun ada yang punya hutang tidak akan sampai menyangkutpautkan anggota keluarga yang lain. 
Situasi itu jauh berbeda dengan di keluarga suami. Suamiku berpenghasilan lebih rendah dari penghasilanku. Jadi, sebagian besar kebutuhan sehari-hari diambil dari gajiku. Begitu aku sampai di rumah suami, bpkb motorku sudah kurelakan untuk dijadikan jaminan tunggakan hutang keluarga suamiku di salah satu tempat simpan pinjam. 
Seiring berjalannya waktu, ibu mertuaku yang seorang pedagang upakara agama sering juga meminjam uangku melalui suamiku. Ceritanya beliau meminjam dari suamiku sementara suamiku meminjamnya dariku. Awalnya begitu meminjam tak berapa lamanya pasti dikembalikan karena aku mengakui uang yang kuberikan kudapat dari meminjam uang penjualan buku dari sekolah yang artinya itu bukan uangku. 
Mungkin karena aku bilang begitu, uang itu selalu kembali utuh. Uang yang tidak bisa kusetorkan ke penjual buku karena pandemi korona, masih bisa kupinjamkan kembali utuh selama beberapa bulan, sampai akhirnya kusetorkan. 
Di masa-masa yang sulit saat pandemi korona, aku menjalani masa ngidam yang sangat berat. Keuangan seret, tabungan terkuras habis, kebutuhan perut harus tetap terpenuhi. Aku bahkan harus sering menunda ke dokter atau ke bidan untuk pemeriksaan, menunda membeli obat untuk memperkuat kehamilan, karena tidak bisa mengandalkan gaji suami begitupun dengan gajiku sendiri yang sudah dipotong angsuran pinjaman. 
Untungnya menjelang pertengahan tahun ada angin segar berupa cairnya tunjangan profesi dan thr idul fitri. Aku bisa bernapas lega. Bisa ke dokter, bisa usg, bisa menebus obat dan memenuhi kebutuhan hidup. 
Sampai pada suatu hari, ibu mertua meminjam uang lagi untuk ke sekian kali tapi kusadari uang itu tidak dikembalikan. Aku membahasnya dengan suami, suamiku hanya berkata, "aku nggak bisa nagih dari ibu, karena toh ibu juga pakai uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, aku juga sering minta dari ibu". Mendengarnya aku agak sedih. Itu uangku. Pikirku tapi tidak bisa kuutarakan. Kupikir aku tidak seharusnya mempermasalahkan uang yang mungkin kesannya tidak seberapa jika dibandingkan dengan pengeluaran mertua untuk suamiku. Aku tidak boleh perhitungan dengan keluarga suamiku karena sekarang mereka adalah keluargaku. Aku membesarkan hati dengan pikiran itu. 
Di pertengahan tahun aku juga membantu membayar biaya pemisahan rekening listrik yang awal menjadi satu dengan adik mertuaku, karena kesalahan mertuaku dari awal, mungkin terlalu baik dengan saudaranya sehingga biaya pemisahan semua dilimpahkan ke keluarga suami. Pertanyaanku, apakah mertuaku tahu bahwa uang yang digunakan suamiku adalah uangku untuk biaya pemisahan dan pemasangan rekening listrik baru? 
Ditambah lagi setiap bulannya aku yang membeli token listrik. 
Suamiku tergolong sangat tidak peka untuk hal-hal sepele seperti ini. Baginya, dia tidak bisa menuntut dari orang tuanya. Sementara aku, tidak enak untuk menjadi perhitungan terhadap keluarga suamiku. 
Lalu, hal terakhir yang kuingat, aku meminjamkan uang kepada mertuaku (lagi-lagi) melalui suami untuk membayar ongkos tukang memasang mesin air di kubu (rumah di tegalan) tempat mertuaku tinggal dari beberapa waktu lalu. Ceritanya akan dikembalikan tapi sampai sekarang tidak ada kabar padahal ibu mertua sudah banyak mendapat pembayaran penjualan upakara agama. Andaikan ada kejelasan uang itu diminta begitu saja, aku tidak keberatan memberi. Toh juga kalaupun uang itu kembalikan paling akan kugunakan untuk membeli beras dan kebutuhan dapur lainnya. Ujung-ujungnya untuk mereka juga. 

Aku banyak berkeluh kesah di dalam hati, tidak bisa kuutarakan. Hal seperti itu yang sepertinya membuatku menjadi judes dengan keluarga suami, tapi judesku juga terselubung. Tidak bisa dengan gamblang kuperlihatkan. 
Semoga anakku nanti tumbuh tidak seperti aku saat mengandungnya. 
Selalu sehat ya nak.