Sabtu, 17 Maret 2018

Hari Nyepi : Tahun Baru Saka 1940

Setiap tahun kami, umat hindu Bali selalu merayakan tahun baru saka, Nyepi. Sebuah hari yang sangat istimewa. Waktu masih kecil kupikir hari nyepi dirayakan seluruh dunia, maksudku waktu itu aku bahkan belum mengetahui dunia itu seperti apa. Setelah dewasa aku baru paham bahwa hanya "kami" yang melakukannya dan dunia memuji apa yang kami lakukan. Betapa hari ini begitu bermanfaat bagi dunia, mengurangi emisi, mengurangi polusi, bahkan hanya dilakukan di sebuah pulau kecil bernama Bali. Setelah dewasa aku mulai bangga melaksanakan hari Nyepi ini. Satu-satunya hari yang bisa menolak penerbangan internasional.Bayangkan, dimana lagi ada hal yang seperti ini? Hanya Bali yang bisa menghentikan pengoperasian sebuah bandara. Tapi, mungkin tidak seistimewa itu ya, Lol.

Dalam melaksanakan hari Nyepi kami memiliki 4 pantangan yang disebut "Catur Brata Penyepen" yang merupakan empat larangan, diantaranya Amati Geni tidak boleh menyalakan api, Amati Karya tidak boleh bekerja, Amati Leluangan tidak boleh bepergian, dan Amati Lelanguan tidak boleh berfoya-foya atau bersenang-senang. Tapi, pada kenyataannya kami umat hindu bukan kumpulan manusia yang fanatik, sehingga tidak semua orang melaksanakan ke empat larangan itu tanpa cela. Terkadang bila memungkinkan seharusnya kami berpuasa, tetapi puasa bukan hal yang populer yg dilakukan orang Bali. Kami tidak terikat pada aturan-aturan semacam itu. Tidak ada ajaran jelas yang menjanjikan surga bagi kami, semua tergantung diri sendiri dan tidak akan ada yang mencela atau memprotes kalo kamu tidak melaksanakan satu ajaran dengan benar. Yang kami cari adalah kedamaian.

Selama ini aku tidak pernah membahasnya tapi aku percaya bahwa Hindu yang dianut orang Bali adalah Hindu yang berbeda dari Hindu di daerah lain ataupun agama lainnya. Salah seorang teman dari organisasi kehinduan pernah mengatakan bahwa agama hindu sebenarnya baru dianut orang Bali sekitar tahun 60-70an dimana saat itu ada aturan pemerintah yang mengharuskan setiap warganya untuk menganut agama yg diakui pemerintah. Orang Bali yang notabene tidak beragama dan masih menganut animisme akhirnya memilih untuk menganut agama Hindu karena dirasa ajaran hindu-lah yang paling cocok dan paling mendekati dengan paham yang dianut orang Bali. Tidak seperti agama kebanyakan yang "diikuti" penganutnya, di Bali justru Hindu yang mengikuti paham penganutnya. Orang Bali tetap bertahan pada paham yg telah ada. Kami adalah umat yang memuja leluhur. Kami terikat bukan pada agama tapi pada leluhur, pada tanah kelahiran, pada alam, hal-hal yang tak kasat mata yang kami buatkan persemayaman berupa pura, atau sanggah, atau pelinggih. Bahkan setiap daerah di Bali memiliki caranya masing-masing.

Kembali pada topik Hari Raya Nyepi. Tahun ini berbeda dari tahun sebelumnya, nyepi kali ini aku habiskan bersama ipar. Tanpa ibu, karena ibuku pulang ke rumah mudanya.

Aku masih ingat bagaimana aku dan keluargaku menjalani hari Nyepi ketika aku masih anak-anak. Sewaktu masih ada nenek. Sewaktu hubungan kedua orangtuaku masih lebih baik dibandingkan beberapa tahun ini. Saat itu satu hari terasa begitu panjang. Pernah di suatu waktu, aku menyusuri tegalan untuk membawakan makanan untuk pamanku yg sedang berada di kubu (rumah pesinggahan di tengah tegalan). Suatu kali aku pernah berjalan-jalan di jalanan yang sepi dan bermain bersama teman-teman sekolah. Dan tradisi keluargaku saat itu adalah tidur bersama di malam hari yang gelap gulita. Menjelang malam di hari nyepi biasanya kami akan menyiapkan karpet, bantal, dan tirai di sekenem (bale bengong permanen yang memiliki enam adegan/pilar penyangga). Kami semua tidur disana sepanjang malam.

Berbeda dari tahun-tahun tersebut, tahun ini kami membaringkan diri beralaskan batu sikat yang hangat dan tikar di halaman depan rumah sambil memandang langit yang penuh bintang. Di pinggir jalan depan rumah duduk bapak bersama beberapa tetangga sedang mengobrol. Hari nyepi masih selalu menjadi hari istimewa bagiku.

Selamat hari raya Nyepi.
Happy Silent's day.

Sabtu, 10 Maret 2018

What am I Crying For?

Catatan: Ketika menulis postingan ini aku tidak menangis.
Dalam playlist JOOX-ku sedang memutar lagu Evanessence yang berjudul "Bring Me to Life", salah satu lagu favoritku. Lagu ini memutar dalam mode putar ulang hanya 1 lagu. 
Dalam beberapa moment kehidupan yang kualami, ada saatnya memang ketika mendengarkan lagu ini tiba-tiba saja timbul perasaan ingin menangis. Aku merasa diriku seperri dalam lagu. Diri ini kosong, jiwaku entah tertidur dimana, aku tidak merasa hidup. Diriku yang terkubur di dalam sana seperti sedang terus-terusan berteriak meminta diselamatkan. Kalau terus mengatakan yang sebenarnya seperti ini mungkin aku benar-benar akan menangis. Aku hanya merasa cukup menyadari bahwa entah dimana pun tidak ada yang bisa menyelamatkanku. Kadang-kadang aku terlalu mengharapkannya dan membuat diri semakin terluka dan malah mengubur diri semakin dalam.

Meskipun begitu, bahkan aku sendiri pun tidak tahu bagaimana cara menyelamatkan diriku sendiri. Harus bagaimana seseorang itu untuk menyelamatkanku. Aku tidak tahu. Itu seperti sebuah "quest box" dalam game yang hanya akan kita ketahui jawabannya ketika sudah menyelesaikan suatu misi. Tapi bahkan, meskipun kita sudah menemukan box tersebut kadang kala kita mendapatkan box kosong. Masalahnya mungkin hanya ada pada peruntungan. Meskipun sudah bekerja keras,  tanpa peruntungan yang baik semua itu akan menjadi sia-sia.

Jadi sebenarnya apa yang harus kutangiskan? Aku akan diselamatkan suatu saat nanti, entah kapan.