Selasa, 26 Mei 2020

Being Pregnant is Like...

Dear burogu~

Minggu ini mungkin aku telah memasuki fase baru gejala-gejala kehamilan. Kusebut fase baru karena berdasarkan pengalaman menjalani kehamilan selama sekitar 3 bulan ini setiap minggunya aku mengalami gejala yang berbeda-beda. Gejala normal masih tetap sama, muntah. Di fase baru ini, aku mempunyai keinginan makan yang sangat besar, ingin makan apa saja dengan jumlah yang banyak, minum apa saja, tapi kondisi pencernaan masih belum bisa diajak kompromi. Sebelumnya aku hanya mengalami muntah sebanyak 1-2 kali sehari, sekarang aku mengalami muntah berkali-kali.

Karena kondisi terus seperti ini aku terus menahan diri untuk minum obat. Aku khawatir akan memuntahkan obat yang kuminum. Ya maklumlah, harga obatnya tidak bisa dibilang murah, sejauh ini, baru semenjak hamillah aku mengetahui ada obat yang harganya bisa mencapai 500K satu pel-pel isi 7 butir. Mungkin yang disebut dengan kesiapan kehamilan itu ada di pendanaannya kali ya, haha. Belum biaya USG setiap bulan.

Menjadi wanita hamil itu bukanlah hal yang mudah. Membuat kehamilan itu sendiri juga bukan hal yang mudah. Banyak hal yang harus diperhitungkan. Begitu hamil, lebih banyak hal yang tidak mudah harus dijalani, dihadapi dan dilewati tanpa boleh merasa stres. Ibu hamil tidak boleh stres. Tapi, untuk tidak stres itu adalah yang tersulit. Bagaimana mungkin tidak stres? Mengalami morning sickness hampir sepanjang hari, susah makan, susah minum, susah BAB, susah kentut, susah bersendawa, perut begah, kadang dibarengi dengan sakit kepala dan nyeri di sekitar perut, di saat tertentu mengalami asam lambung naik sampai rasa terbakar di jantung, beberapa lama juga sempat mengalami hipersalivasi dan gangguan genital.

Bagaimana bisa kujalani kehamilan dengan menyenangkan?

Setiap hari rasanya ingin menangis. Makan ini itu muntah. Yang paling banyak memicu muntah adalah setelah minum. Sekarang sudah tidak bisa lagi minum segelas air. Paling tidak harus seteguk atau dua teguk. Lebih dari itu muntah. Efeknya, mengalami dehidrasi, air kencing pekat, dan BAB menjadi makin sulit. Pemicu muntah yang lainnya adalah gosok gigi. Hampir setiap kali selesai menggosok gigi aku muntah.

Tapi, aku masih bersyukur suami selalu mensupport. Selalu siap menyediakan air panas di termos kalau-kalau aku muntah, karena gak bisa minum air dingin. Selalu siap juga membelikan apapun yang ingin kumakan. Meskipun sebagian besar makanan tersebut berakhir kumuntahkan.

Disamping semua kesulitan dalam menjalani kehamilan ini, aku masih bersyukur bisa hamil. Semoga kondisi kehamilan ini segera membaik dan aku bisa menjalani kehamilan dengan menyenangkan sampai waktu kelahirannya nanti.

Senin, 11 Mei 2020

Apa Yang Sebenarnya

Dear burogu~

Akhir-akhir ini aku mendapati status whatsapp temanku terkesan frustrasi dan dipenuhi kata-kata kasar.

Sambil menulis blog ini, aku mendengarkan lagu Peterpan "Bintang di Surga" dari kejauhan, entah siapa yang memutarnya.

Aku bisa paham kalau seandainya si empunya status itu anak abege yang notabene masih harus banyak belajar tentang kehidupan. Bukan berarti aku sendiri sudah belajar banyak. Paling tidak belajar dari pengalaman. Pengalaman diri sendiri dan pengalaman orang lain. Banyak menginstrospeksi diri dan sadar akan diri sendiri.

Temanku yang lebih tua setahun dariku itu, kupikir setelah menikah dan memiliki anak akan mulai menikmati kehidupan yang bahagia. Tapi, nyatanya setahun belakangan aku mulai sering mendapati statusnya dengan kata-kata kasar.

Mungkin dia tidak puas dengan kehidupannya.

Kenapa seseorang bisa sedemikian rupa? Masalahnya aku juga mendapati teman sealumni SMA ku juga seperti itu. Hanya saja kasusnya berbeda. Anak itu selalu merasa dikritik orang lalu berkoar di status Facebook nya tentang bagaimana seharusnya orang lain tidak mencampuri urusannya.
Ok, setiap orang memilih cara yang berbeda untuk menyelesaikan masalah. Tapi, bagaimana jika dengan cara yang dipilihpun masalah tidak pernah selesai?

Aku dulu pernah melakukan hal yang sama. Ketidakpuasan kan kehidupan, akan orang lain, akan suatu keadaan, hubungan, segala hal aku tuangkan di sosial media. Alhasil, tidak ada satupun masalah yang terselesaikan, yang ada justru menambah masalah baru. Ada yang merasa tersinggung, ada yang mengompori, ada yang merasa senasib, ada juga yang menasihati. Tapi, tidak menimbulkan rasa puas di dalam hati.

Sampai suatu ketika, aku hanya merasa lelah dengan semua itu. Kumulai menata kehidupan, mencari-cari yang positif darinya lalu menyadari bahwa selama ini aku memilih cara yang salah.

Aku tidak suka ada orang yang tersinggung atas apa yang kubagikan, aku tidak mau dikompori, tidak mau juga ada yang merasa senasib apalagi dinasihati. Daripada ribut di sosial media lebih baik berbicara langsung kepada siapa yang menyebabkan ketidakpuasan hidup itu. Kalau tidak cukup berani maka kuburlah, pendamlah, simpanlah, dan hilangkanlah, anggaplah tak ada.

Ketika itulah aku menyadari, saat kuanggap suatu masalah bukanlah sebagai masalah ternyata masalah tersebut menjadi tidak ada. Aku cukup puas dengan cara itu. Dan lagi, aku mulai memiliki cukup keberanian untuk berbicara langsung kepada siapapun yang terlibat masalah denganku. Daripada ribut di sosial media.

Kupikir kita hanya perlu mengetahui satu hal saja. Apa yang sebenarnya kita inginkan?

Karena inti dari ketidakpuasan terhadap hidup kita pasti disebabkan oleh keinginan yang tidak sejalan dengan kenyataan.