Senin, 11 Mei 2020

Apa Yang Sebenarnya

Dear burogu~

Akhir-akhir ini aku mendapati status whatsapp temanku terkesan frustrasi dan dipenuhi kata-kata kasar.

Sambil menulis blog ini, aku mendengarkan lagu Peterpan "Bintang di Surga" dari kejauhan, entah siapa yang memutarnya.

Aku bisa paham kalau seandainya si empunya status itu anak abege yang notabene masih harus banyak belajar tentang kehidupan. Bukan berarti aku sendiri sudah belajar banyak. Paling tidak belajar dari pengalaman. Pengalaman diri sendiri dan pengalaman orang lain. Banyak menginstrospeksi diri dan sadar akan diri sendiri.

Temanku yang lebih tua setahun dariku itu, kupikir setelah menikah dan memiliki anak akan mulai menikmati kehidupan yang bahagia. Tapi, nyatanya setahun belakangan aku mulai sering mendapati statusnya dengan kata-kata kasar.

Mungkin dia tidak puas dengan kehidupannya.

Kenapa seseorang bisa sedemikian rupa? Masalahnya aku juga mendapati teman sealumni SMA ku juga seperti itu. Hanya saja kasusnya berbeda. Anak itu selalu merasa dikritik orang lalu berkoar di status Facebook nya tentang bagaimana seharusnya orang lain tidak mencampuri urusannya.
Ok, setiap orang memilih cara yang berbeda untuk menyelesaikan masalah. Tapi, bagaimana jika dengan cara yang dipilihpun masalah tidak pernah selesai?

Aku dulu pernah melakukan hal yang sama. Ketidakpuasan kan kehidupan, akan orang lain, akan suatu keadaan, hubungan, segala hal aku tuangkan di sosial media. Alhasil, tidak ada satupun masalah yang terselesaikan, yang ada justru menambah masalah baru. Ada yang merasa tersinggung, ada yang mengompori, ada yang merasa senasib, ada juga yang menasihati. Tapi, tidak menimbulkan rasa puas di dalam hati.

Sampai suatu ketika, aku hanya merasa lelah dengan semua itu. Kumulai menata kehidupan, mencari-cari yang positif darinya lalu menyadari bahwa selama ini aku memilih cara yang salah.

Aku tidak suka ada orang yang tersinggung atas apa yang kubagikan, aku tidak mau dikompori, tidak mau juga ada yang merasa senasib apalagi dinasihati. Daripada ribut di sosial media lebih baik berbicara langsung kepada siapa yang menyebabkan ketidakpuasan hidup itu. Kalau tidak cukup berani maka kuburlah, pendamlah, simpanlah, dan hilangkanlah, anggaplah tak ada.

Ketika itulah aku menyadari, saat kuanggap suatu masalah bukanlah sebagai masalah ternyata masalah tersebut menjadi tidak ada. Aku cukup puas dengan cara itu. Dan lagi, aku mulai memiliki cukup keberanian untuk berbicara langsung kepada siapapun yang terlibat masalah denganku. Daripada ribut di sosial media.

Kupikir kita hanya perlu mengetahui satu hal saja. Apa yang sebenarnya kita inginkan?

Karena inti dari ketidakpuasan terhadap hidup kita pasti disebabkan oleh keinginan yang tidak sejalan dengan kenyataan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar