Sabtu, 24 September 2016

When You Choose Money Over a Guy

Beberapa waktu belakangan ini bahkan sampai saat ini aku banyak berpikir. Lalu, secara tiba-tiba sebuah pikiran terlintas. Jika saat ini ada yang memberiku pilihan, uang semilyar atau pria yang siap menikah? Ini mungkin hanya perumpamaan tapi kalau seandainya ada pilihan seperti itu, aku akan memilih uang. Bukan berarti aku tidak ingin menikah. Hanya saja, pilihan itu benar-benar muncul dari sekelebat pikiran, bukan karena aku memikirkannya cukup lama, bukan juga tanpa pertimbangan. Seperti menjawab pertanyaan cepat, yang kalau dalam beberapa hitungan tidak dijawab maka pertanyaan itu akan gugur. Ya, seperti itu. Seorang perempuan lajang di usia menjelang kepala tiga memilih uang ketimbang pria? Kalau ada yang memikirkannya dengan serius kemungkinan dia berpikir aku sudah gila. Kalau saja rekan kerjaku di kantor tahu pilihanku, aku yakin dia akan memberikan ceramah panjang lebar mengenai usia dan pernikahan. Kemungkinan dia akan mulai bercerita lagi tentang bagaimana dia dulu memaksa pacar dan keluarga pacarnya untuk segera menikahinya dengan ancaman dia akan menikah dengan orang lain kalau permintaannya tidak dipenuhi. Lalu, dia akan menyarankan padaku lagi agar melakukan hal yang sama. Memaksakan kehendak agar dinikahi? Ah tidak. Itu bukan gayaku. 
Aku bisa saja egois seperti itu, tapi aku bukan orang yang tak berpikir. Meskipun selalu terlihat tenang dan santai, di dalam kepalaku ini tak pernah berhenti berpikir. Meskipun acuh tak acuh aku selalu berpikir untuk menyelesaikan setidaknya satu atau dua persoalan setiap harinya dari banyaknya persoalan yang kupikirkan. Hanya saja aku selalu memikirkan penyelesaian termudah. Dan aku cepat mengabaikan persoalan yang berat. Saran rekan kerjaku contohnya. Itu menjadi salah satu persoalan juga yang sampai saat ini tidak bisa kutemukan cara penyelesaiannya karena tidak mungkin aku mengatakan padanya alasanku sebenarnya. Entah bagaimana kelihatannya bagi orang lain, yang jelas tentang pernikahan aku angkat tangan. Aku menyerah. Meskipun ada pacar, entah kenapa aku tidak memiliki kepercayaan diri. 
Sekali lagi, aku memilih uang. Aku lebih mempercayai uang ketimbang manusia. Entah sejak kapan aku mulai tidak mempercayai siapapun. Lebih tepatnya, kehilangan kepercayaan, terhadap manusia. Apa ini semacam penyakit? Tapi, ada yang pernah mengatakan, "Semakin dewasa seseorang semakin sulit ia mempercayai orang lain". Apa aku sedang dalam stage kedewasaanku? Entahlah. Sampai saat ini aku hanya merasa belum ada yang bisa memenuhiku. Belum ada yang bisa memenuhi celah kosong itu. Sesuatu yang sepertinya sudah sejak lama hilang dari dalam diriku. Sialnya, aku tidak tahu apa itu. Bahkan kemungkinan celah itu sudah terpenuhi pun aku tidak tahu. Mungkin juga ketika satu celah telah terpenuhi, celah lain pun muncul. Seperti bermain Sliding Puzzle, petak kunci harus dilepas agar bisa menggeser petak-petak yang lain. Yang kuingat, saat pertama kali memainkannya aku takut tidak bisa mengembalikannya ke semula, sehingga hanya berani menggeser satu dan dua petak saja lalu mengembalikannya ke bentuk semula. Tapi semakin lama aku  merasa semakin berani menggeser satu persatu petak, semakin sering bermain semakin mudah mengembalikannya ke bentuk semula sampai aku kehilangan petak kuncinya. Kehilangan kunci sama artinya dengan kehilangan cara untuk tetap dalam bentuk sempurna. Apa itu alasan dari kerapuhan?
Apakah inti dari semua ini adalah kerapuhan? Apakah alasan sebenarnya adalah karena aku rapuh? Entahlah... aku selalu merasa diriku kuat. Setidaknya aku masih bisa berdiri tegar menghadapi berbagai masalah, atau mungkin lebih tepatnya berdiri tegar dan tidak mempedulikan masalah apapun. Aku sekuat tenaga menganggap masalah sebagai bukan masalah, dan mencoba untuk menerima segalanya. Mencoba menerima tanpa mengeluh, tanpa komplain. Meskipun kenyataannya ada banyak keluhan dan komplain dan itu tersimpan rapat di dalam hati, yang kalau dipikirkan hanya akan membuat sesak tenggorokan dan bila memungkinkan untuk diutarakan hanya akan membuat bibir tercekat dan air mata mengalir. Lebay. Tapi itu kebenaran. Aku memikirkan diri sendiri dan orang lain dalam segala keluhanku. Semasih aku sanggup menahannya kenapa tidak kusimpan saja.
I choose money over a guy. Bahkan bila pria itu adalah pria yang mencintaiku, aku masih memilih uang. Bagaimana jika pria itu adalah pria yang kucintai? Hmm...aku tetap memilih uang. 
Pria yang mencintaiku ataupun pria yang kucintai, tentu adalah manusia. Manusia itu makhluk yang rumit. Mungkin tidak selamanya rumit, hanya saja situasi dan kondisi yang menjadikannya rumit. Bagiku masih jauh lebih mudah memahami uang ketimbang manusia. Uang berpikir sesuai dengan pikiran pemiliknya, bertindak sesuai dengan tindakan pemiliknya, uang berbicara seperti apa yang pemiliknya bicarakan. Ia mengikuti pemiliknya tanpa komplain. Meskipun uang memiliki dua sisi yang saling bertolak belakang, di satu sisi ia sangat setia, di sisi yang lain ia mudah berpindah tangan, tetap saja lebih mudah memahami uang.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar