Sabtu, 23 September 2017

Pikiran Tradisional atau Modern (?)

Beberapa waktu belakangan ini aku tidak bersemangat untuk membuat postingan.
Entahlah, setiap kali mau menulis sesuatu aku seperti kehabisan ide, bahkan saat aku menulis postingan ini.
Beberapa waktu lalu aku akhirnya mengungkapkan rahasiaku pada rekan-rekan sekantor, bahwa aku kini berstatus jomblo. Seperti dugaanku, rekan-rekan kerjaku heboh. Mereka panik seolah aku baru saja melakukan kesalahan besar dalam hidupku. Seperti dugaanku pula, mereka mulai berpikir untuk mencarikanku kenalan, menjari cowok jomblo lainnya, mencarikan siapa saja yang available.
Aku hanya bisa berkata, "Gak usah, gak perlu sampe gitu", berkali-kali. Sebenarnya aku malu bila ada yang hendak memperkenalkanku dengan seseorang. Seperti beberapa minggu yang lalu aku terpaksa harus menemui seorang cowok hanya karena yang mengenalkannya adalah teman ibuku yang sudah seperti ibu bagiku.
Ada rasa tidak enak untuk menolak meski pada akhirnya cowok itu tidak tertarik padaku. Aku sangat bersyukur.
Lalu pada kasus pengungkapan status jombloku pada rekan kerja yang sepertinya mulai kusesali tapi juga entah kenapa aku cukup lega mengakuinya karena aku tidak akan mendapatkan pertanyaan-pertanyaan seputar mantan dari teman-temanku.
Jika ini diriku 10 tahun yang lalu, aku tidak akan memilih untuk menjomblo. Aku mungkin akan bereaksi dengan cara yang berbeda. Mungkin aku tidak akan menulis postingan. Tapi, ini adalah diriku yang sekarang. Orang-orang mungkin berpikir aku terlalu naif, mungkin juga mereka pikir aku bodoh, atau mungkin ada juga yang berpikiran berbeda. Hanya saja, sebagian besar tidak membenarkan posisi jomblo yang kusandang.
Mulai dari "sudah umur", mungkin maksudnya bukan waktunya lagi untuk berpetualang. Wanita akan sulit melahirkan di usia 30an, keburu kehabisan stok cowok (hello?), atau yang lainnya.
Setiap kali nasihat orang-orang selalu membuatku berpikir satu hal. Mereka sama seperti diriku 5 sampai 10 tahun yang lalu. Berpikiran idealis. Tapi, bahkan idealis itu sendiri berbeda-beda bagi setiap orang, hanya saja intinya sama.

Salah satu contoh pikiran idealis, cewek harus menikah di usia 20 agar tidak kesulitan melahirkan.

Dalam hati aku menjawab, apa kabar ibu-ibu yang melahirkan di usia 40an? bukankah mereka juga masih bisa melahirkan?

Contoh lain, kamu pegawai negeri, punya gaji tetap, pasti mudah mencari suami.

Jawabanku dalam hati, mungkin itu hanya tidak berlaku padaku. (?)

Yang lain lagi, mau kukenalkan pada seseorang yang juga sedang jomblo?

Dalam hati aku bahkan tidak bisa berkata-kata.

Masih lajang di usia menjelang 30 memang membawa dampak psikis yang sangat besar bagiku. Dan ternyata dampaknya juga berlaku bagi orang-orang di sekitarku. Yaahh, karena mereka peduli. Tapi, sayangnya aku sedang tidak membutuhkan kepeduliaan semacam itu.
Bahkan ketika seseorang mengajak berkenalan, tiba-tiba menjadi girang setengah mati setelah mengetahui aku jomblo, mungkin dia berpikir itu lampu hijau, oh please, tolong jangan berdelusi. Kenapa tidak ada yang bertanya padaku, "apa kamu sedang menyukai seseorang?". Bukankah itu pertanyaan yang sangat penting?

Tidak ada yang tahu betapa kerasnya hatiku. Hanya dengan memikirkannya saja aku merasa sudah mau menangis. Bayangkan, kamu sedang jatuh cinta pada seseorang yang tidak kamu ketahui bagaimana perasaannya terhadapmu, takut untuk bertanya, kamu bingung tidak tahu harus bagaimana, kamu takut terluka dan kecewa, tapi kamu bahkan gak bisa berpaling darinya. Sementara di sisi lain ada banyak pilihan yang bisa dengan mudah dipilih seperti memencet tombol-tombol di touchscreen. Tapi, hati yang keras ini seperti telah memahat wajah dan nama hanya untuk satu orang.

Orang-orang seperti melupakan esensi dari sebuah hubungan.

Di hidupku, aku telah melihat berbagai bentuk ketidakharmonisan hubungan. Mulai dari pertengkaran, perselisihan, perceraian, kebisuan (?). Semua itu membuatku tidak paham akan apa yang sebenarnya diinginkan setiap orang dalam hubungannya dan dengan apa sebenarnya mereka membangunnya. Tapi, kemudian itu membuatku berpikir lebih keras. Memiliki kekayaan, memiliki pekerjaan, memiliki cinta dan kasih sayang saja tidak cukup.
Dan ini salah satu pengalaman pribadiku. Di usiaku yang ke 25 tahun, aku mulai menyadari apa yang yang kuinginkan dari seseorang. Di tahun itu menjelang kelulusanku dari universitas, aku mengalami kebuntuan dalam hubungan. Aku tidak tahu apakah orang-orang juga memungkinkan untuk mengalaminya atau tidak, hanya saja pada saat itu, aku berpikir, "ini gak akan berhasil, aku merasa aku tidak bisa merasa bahagia".
Aku memutuskan hubungan itu. Lalu memulai sebuah hubungan dengan orang lain. Berselang satu tahun hubungan itu pun harus berakhir. Dan merasa bahwa bebanku telah hilang.
Kenapa sebuah hubungan bisa menjadi beban bagiku? Aku pun tidak paham, meski aku mencoba untuk memikirkannya tidak ada jawaban. Sampai akhirnya aku menyerah pada apa yang sesungguhnya aku cari. Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku balikan dengan mantan. Sedari putus dengannya aku memang sempat berpikir bahwa suatu saat nati mungkin kami akan kembali bersama. Kupikir ini takdir.
Tapi apa? Berhubungan lagi dengan mantan membuatku sadar bahwa selama ini aku telah mengambil langkah yang salah. Tidak. Bukan mengenai balikan dengan mantan. Tapi, tentang konsep kebahagiaan dalam hubungan.
Pikiran yang sama terus muncul. "Aku tidak merasa bahagia". Dan akhirnya, aku memutuskan untuk sendiri. Awalnya kupikir aku harus mempercayai kesempatan kedua itu. Rupanya kesempatan kedua yang diberikan padaku untuk membuatku menyadari banyak hal dalam hidup ini. Tuhan tahu benar bagaimana cara membuatku belajar. Karena aku cukup tumpul dalam hal-hal semacam ini (?).

Orang berpikir usia matang berarti harus terburu-buru, tergesa-gesa, harus segera, jangan ditunda-tunda, dan aku lelah mengatakan bahwa aku santai saja. Tentu saja aku tidak bisa mengatakan "Aku sudah meminta adikku untuk menikah duluan dan mungkin di saat aku sudah memastikan bahwa aku tidak akan menikah dalam hidupku ini, aku akan meminta adikku dan istrinya memproduksi seorang anak yang akan kujadikan sebagai anakku, untuk persiapan masa tuaku nanti, setidaknya hanya agar ada yang mengurusku kelak".
Tidak mungkin kan?
Meskipun itu adalah pikiranku yang sebenarnya.
Meskipun itu adalah niatku yang sebenarnya.

Usia matang berarti bahwa aku membutuhkan seseorang? Ya..setidaknya aku tidak pernah mengatakan aku terlalu sibuk untuk cinta. Entahlah, aku membutuhkan seseorang yang bisa membuatku jatuh cinta. Seseorang yang mungkin sudah kutemukan tapi sekali lagi harus kukatakan, aku menemukannya tapi dia tidak menemukanku.

Orang-orang berpikiran terlalu tradisional. Atau mungkinkah itu adalah pikiran modern? Sebenarnya aku hidup di jaman apa sampai-sampai aku percaya pada rasa jatuh cinta, takdir dan semacamnya? Sebenarnya siapa yang berpikir tradisional? aku atau orang-orang?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar