Minggu, 13 Agustus 2017

Hey Kamu, Orang Yang Terikat Benang Merah Denganku

Apakah itu kamu?
Yang muncul di mimpiku, memegang tanganku.
Apakah itu kamu?
Orang yang terikat benang merah takdir denganku.
Apakah itu kamu?
Orang yang sepanjang hidupku kutunggu.
Apakah itu kamu?
Belahan jiwaku yang telah lama terpisah.

Apakah pada akhirnya kita akan bersama?

Sebenarnya aku diliputi keraguan, apakah benar mimpi berjalan denganmu lalu kamu memegang tanganku berarti kamu adalah jodohku, atau aku akan segera bertemu jodohku. Apakah jodohku mengambil wujudmu dalam mimpiku? Atau dia benar adalah kamu. Aku tidak yakin 100%. Aku tidak pernah yakin sepenuhnya. Tapi, jauh di dalam hatiku yang terdalam, aku percaya akan satu hal. Bahwa kita dipertemukan oleh takdir. Entah takdir itu sebagai pasangan yang terikat benang merah, atau hanya ikatan hutang masa lalu. Tapi, aku mempunyai firasat yang kuat saat membaca tulisan dalam blogmu. Bagaimana perjalanan hidupmu membawamu sampai di tempat ini, bertemu dengan orang yang kukenal, hingga akhirnya kita bisa berkenalan dan bertatap muka. Bukankah ini hal yang luar biasa? Aku jatuh cinta padamu bahkan sebelum kita bertemu. Ada perasaan aneh yang kurasakan. Tapi, aku tidak paham apa itu.

Aku dan kamu, seperti apapun kita nanti, aku sedang berusaha mengikhlaskannya. Bila seandainya bukan kamu orangnya, aku hanya bisa mensyukuri semuanya, setidaknya aku bisa memahami apa yang disebut jatuh cinta. Meskipun begitu, aku juga tidak tahu berapa persen perasaan jatuh cinta yang kurasakan. Aku belum pernah mendapat ujian itu. Setidaknya selama ini, sejak aku mengenalmu, ada banyak hal yang berubah dalam diriku. Aku mulai mengurangi berpikiran negatif, berusaha menjadi positif, menjadi lebih banyak tersenyum, menjadi lebih ingin menjalin silaturahim dengan sahabat, kerabat, menjadi banyak bersyukur, dan sangat sedikit mengeluh. Aku menjadi pribadi yang lebih baik, kurasa. Kecuali bila kita membicarakan mengenai tindakan sehari-hari. Aku masih pribadi yang malas. Lol.

Aku meyakini bahwa pertemuan kita adalah takdir.

Bila saja kita bertemu di waktu-waktu sebelumnya, aku yakin perasaan yang kumiliki saat ini tidak akan pernah terjadi. Kamu tahu, Tuhan tahu benar bagaimana mengatur segalanya. Dia tahu benar pribadi macam apa aku ini. Aku yang harus banyak belajar dari pengalaman, harus melalui berbagai macam hal untuk dapat lebih memahami tentang satu hal. Aku memahami sesuatu dengan sangat lambat. Bahkan untuk memahami bahwa yang kubutuhkan adalah perasaan jatuh cinta dengan pasangan saja butuh waktu bertahun-tahun dan menjalani dengan berbagai macam orang. Hanya pada saat aku pacaran untuk pertama kali di usia menjelang akhir 20 tahun aku pernah merasa hidupku sempurna. Hanya saja saat itu aku belum dewasa. Diriku yang labil belum saatnya bertemu denganmu.

Masa-masa awal hingga pertengahan umur 20an adalah masa yang penuh dengan ketidakpastian. Yang kulakukan adalah penerimaan. Seperti yang banyak orang katakan padaku, lebih baik dicintai daripada mencintai. Jadi, aku mengabaikan rasa jatuh cinta. Tanpa jatuh cinta, aku berusaha mencintai seseorang yang notabene mencintaiku. Sampai pada titik dimana aku merasa sedang membuang-buang waktu. Aku telah membuang waktu berharga baik itu waktuku maupun waktu orang lain.

Terhadap mantan pacar yang terakhir, yang katanya sudah siap untuk meminang namun selalu mengeluhkan biaya pernikahan, yang membuatku selalu berpikir bahwa bagiku dia telah banyak berkorban, dan telah banyak menderita, tetapi justru itu menjadi senjata yang membuatku berpikir bahwa hubungan itu tidak sehat. Harapannya supaya aku bahagia tapi justru segala macam usaha yang dibarengi keluhan itu membuatku merasa sebaliknya. Aku tidak bahagia diperlakukan seperti itu. Hatiku menangis menahan perasaan tidak bahagia itu. Seperti ada beban berton-ton di dalam dadaku, aku sulit bernapas, kemana pun kakiku melangkah seperti menemui jalan buntu. Tidak tahu kepada siapa aku mengadu. Tidak bisa membagi beban itu dengan siapapun.
Sampai pada akhirnya setelah melalui proses berpikir yang panjang, keputusan untuk mengakhiri hubungan itu membulat sempurna. Yang kupikirkan saat itu hanyalah, "lebih baik sekarang sebelum semua menjadi sangat  terlambat". Saat itu aku tidak peduli, umur yang sudah semakin tua, pandangan orang tentangku, pandangan orang tuaku, pikiran orang lain, aku tidak ingin memusingkannya. "Aku punya hak untuk merasa bahagia. Lebih baik hidup sendiri daripada hidup berpasangan tapi tidak bahagia". Orang tuaku adalah sampel yang sempurna untuk situasi itu. Mereka bersama tapi sama-sama tidak bahagia.
Apakah hal itu yang kemudian membuatku terobsesi dengan perasaan bahagia?
Entahlah.

Yang kutahu, di saat hati ini melepas beban, merasa lega, datang temanku yang sudah begitu lama tidak kutemui, tak ada angin tak ada hujan, hanya kebetulan dia sedang libur, dia datang ke rumah membawa kabar tentang seseorang.

Setelah kupikir-pikir, ini seperti telah ditakdirkan. Tapi sekali lagi, entah takdir apa itu. Hal itu masih menjadi rahasia Tuhan.

Hey, kamu, orang yang terikat benang merah denganku, apakah itu kamu yang muncul dalam mimpiku memegang tanganku?
Jika itu kamu, balas messengerku! Lol.
Hahaha 😂

Tidak ada komentar:

Posting Komentar