Jumat, 18 Agustus 2017

I Forgive You

Kali ini tentang mantan.

Beberapa waktu lalu, aku melihat status mantan di facebook. Melalui statusnya itu aku tahu bahwa dia masih merasa tidak puas dengan keputusan sepihakku untuk putus, meskipun dia sudah menerimanya, mungkin tidak seratus persen. Padahal sudah cukup lama rasanya. Mungkin terlalu banyak hal yang dia sesali, mungkin selama denganku dia mengorbankan terlalu banyak hal sehingga menjadi sulit melepaskan diri. Aku bisa memahami itu. Aku juga pernah mengalaminya sekitar 8 atau 9 tahun yang lalu. Apa aku sudah menjadi lebih dewasa sekarang, aku sama sekali tidak tersulut untuk membalas, untuk membuat pembenaran, dan terlebih-lebih aku tidak merasa kasihan. Tunggu. Mungkin bagiku tidak tepat kalau mengatakannya sebagai rasa kasihan karena di dalam diriku aku menyesalkan juga mengapa hubunganku dan dia berakhir seperti ini. Butuh 9 tahun bagiku untuk menghadapi hal-hal seperti ini, untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana menanganinya. Tuhan tahu bahwa aku sangat lelet dalam hal-hal seperti ini, tidak heran beliau memberiku banyak ujian.

Aku menyayangkan status mantan. Kupikir semua sudah clear saat itu. Kapan itu? Awal Mei? Bukankah itu sudah hampir 4 bulan yang lalu? Dia baru membahasnya sekarang? Baru merasa galau sekarang? Baru sadar sekarang? Apa itu berarti bahwa dia juga tipe yang lambat? Yang berarti juga dia belum lulus dari ujian yang sama? Hanya Tuhan yang tahu. Tapi, terlepas dari semua itu, aku merasa lega. Aku lega sudah tidak berpacaran dengannya lagi. Meskipun aku akan dicap buruk oleh teman-temannya, oleh keluarganya, oleh orang tuanya, oleh orang yang hanya sekedar kenal dengannya atau denganku. Itu tidak apa-apa. Toh bukan mereka yang merasakan. Bukan mereka pula yang membuatku kenyang, atau terbebas dari panas dan hujan. Tapi, untung juga ada orang yang peduli pada mantanku untuk berbagi cerita, meskipun itu adalah cerita sedih. Dan aku mungkin perlu mengingat-ingat kapan terakhir kali dia menceritakan hal yang membahagiakan. LOL
Entah kenapa dalam memoriku yang tersimpan hanyalah perasaan berat, entah dimana lembaran memori yang memberi rasa ringan. Yang kuingat hanya keluhan-keluhan. Tapi, aku juga ingat banyak sekali pengorbanannya.

Aku mungkin tidak tahu berterima kasih, tapi aku tidak berpikir bahwa adalah hal yang baik mempertahankan sebuah hubungan hanya karena rasa terima kasih.

Aku saja yang mungkin menjadi tidak paham. Esensi sebuah hubungan adalah untuk menjadi bahagia. Bahkan bila hubungan itu harus berakhir adalah juga demi kebahagiaan. Jadi, intinya sekarang, hanya aku yang ingin bahagia. Maka dari itu hanya aku sendiri yang mengetahui hal-hal yang akan membuatku bahagia. Tapi, bahagiaku ternyata tidak serta merta membuat orang lain juga bahagia. Contohnya adalah mantan.
Dia tidak paham akan arti sebuah kebahagiaan bagiku. Aku juga tidak paham arti kebahagiaan baginya. Sekarang aku menyadari bahwa kebahagiaanku bukan kebahagiaannya. Aku menyesalkan hal itu.

Aku merasa beruntung telah melepaskan diri darinya. Kalau tidak, mungkin hidupku akan terus berada dalam tekanan.

Sebenarnya, aku benar-benar tidak paham hal-hal apa yang bisa membuatnya bahagia. Selama denganku dia tidak pernah mengatakan tidak bahagia, tapi ketidakbahagiaannya mungkin bukan karenaku. Selama ini dia dalam tekanan yang secara tidak langsung membuatku merasa tertekan. Dia mengeluhkan bisnis kecil-kecilannya yang selalu tidak dapat untung. Itu membuatku khawatir, aku mengkhawatirkan tentang masa depanku bila nantinya menikah dengannya. "Apakah dia akan terus-terusan mengeluh?" Selalu itu yang terpikir olehku. Seolah aku tidak paham kondisinya. Oke, mungkin aku memang tidak paham. Aku tidak paham dimana letak bagusnya mengeluhkan masalahmu pada orang yang notabene ingin kamu nikahi. Mengeluhkan masalah keuangan, masalah bisnis, kondisi keluarga yang secara ekonomi memang tidak mampu, sementara disisi lain menikah membutuhkan banyak biaya. Ah, aku benar-benar tidak tahan. Semua itu membebaniku. Dia tidak pernah paham. Padahal aku sudah mengatakannya berkali-kali, bahwa aku tidak suka dia mengeluh. Anehnya dia mengatakan dia hanya ingin curhat. Dia ingin orang yang dia cintai memahami kondisinya. Oke, anggap saja aku tidak bisa memahami, jadi tolong jangan curhat padaku. Memangnya apa gunanya curhat dengan orang yang tidak bisa memahamimu?
Aku masih bisa mencoba untuk lebih memahami. Aku juga mencoba memikirkan solusi, tapi pada saat bersamaan solusi apapun terasa buntu. Dia tidak mengerti bagaimana jalan pikiranku dan aku juga tidak mengerti jalan pikirannya.

Mungkin permasalahannya cuma satu, apa yang dia rencanakan tidak sama dengan apa yang kurencanakan.

Dalam pikiranku, saat menjalin hubungan lagi dengannya, aku ingin ini untuk yang terakhir kali. Aku tidak ingin lagi mempedulikan apakah ke depannya aku hidup bahagia atau tidak. Aku ingin tidak terlambat menikah. "Paling tidak, enam bulan lagi aku pasti akan dinikahi." Pikirku yakin. Toh aku dan dia sudah pernah gagal sebelumnya, aku yakin kali ini pasti akan ada perubahan, akan ada kemajuan, akan ada sinkronisasi.
Lalu apa?
Enam bulan berlalu begitu saja.
Nyaris tanpa tanda.
Hanya ada wacana.
Aku mulai gelisah. Aku sudah mengorbankan waktu dan tenaga menunggu selama enam bulan. Oke, akan kutunggu sedikit lagi, paling tidak 3 atau 6 bulan ke depan akan ada kabar. Paling tidak pembicaraan tentang tanggal.
Lalu apa? Hampir setiap hari aku harus mendengar keluhan tentang seretnya kondisi keuangannya. Tentang tidak berkembangnya toko rintisannya. Tentang usahanya mencari pinjaman untuk bisa menikah, tentang hal-hal yang harus dilakukan agar aku dan dia bisa menikah. Paling tidak, pada saat itu aku bisa memaklumi kondisinya, ya tidak perlu acara besar, bahkan upacara pun sederhana saja asal sah, menikah di Griya pun aku tak masalah. Meskipun itu bisa saja menjadi hal yang paling nista yang akan dilakukan orang di keluargaku. Aku tidak masalah. Yang kumau hanya disahkan sesegera mungkin. Aku malu dengan usiaku yang semakin tua, aku malu pacaran lama-lama tanpa kepastian, aku malu melajang. Apapun akan kujalani demi menghindari cap "perawan tua".
Itu yang kupikirkan saat itu.
Sampai pada suatu hari, saat aku membahas mengenai pernikahan dengan dia, aku merasa ada ketidakikhlasan darinya ketika menerima bahwa aku tidak mau pindah tempat kerja. Saat itu mungkin akar permasalahannya. "Kalau aku tinggal disana aku kerja apa?" Dia bertanya seolah pikirannya mulai buntu.
Dalam hati aku terkejut, "Hah? Dia mempertanyakan pekerjaan padaku?" Bahkan kalau dia tidak bekerja dan hanya mengurus kebun di tempat yang kutinggali saja aku tidak masalah. Mau dia jadi kuli bangunan, jadi pegawai swasta, atau menerima tawaran ibuku membuka toko disini juga aku tidak masalah. Ibuku yang memberi ide untuk mengajaknya tinggal disini dan bersedia membuatkan lapangan pekerjaan. Tapi, dari cara dia bertanya, aku merasa seolah dia mendapat tekanan hebat. Pada saat yang sama semua rencanaku dan ibuku seolah retak sedikit demi sedikit. Tidak bisa diharapkan. Dia bahkan tidak bisa memikirkan pekerjaan apa yang akan dia lakukan bila pindah ke tempatku. Saat kuutarakan niat ibuku untuk membuatkan toko untuknya, entah apa jawabannya, aku bahkan tak ingat. Aku tahu dia tidak senang. Dari gelagatnya aku sudah menyadari dia punya keinginan untuk memiliki pekerjaan selevel denganku. Gajiku tidak besar tapi konsisten.
Lalu tawaran itu datang.
Dia mengatakan padaku bahwa dia mendapat tawaran untuk menjadi sekretaris desa atau apalah, yang katanya selevel pegawai negeri sipil. Saat itu, aku sudah mulai hilang harapan. Aku yakin dia akan menggunakan alasan pekerjaan itu untuk menarikku kesana kalau seandainya dia menerima pekerjaan itu. Maka dari itu aku memberinya pilihan, "Aku rasa aku tidak perlu mengulang lagi keputusan bulat yang sudah kukatakan. Kalau kamu menerima pekerjaan itu maka aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini."
Kupikir semua sudah clear pada saat itu. Tapi, ternyata tidak semudah itu berbicara dengan dia. Aku tahu dia sangat menginginkan pekerjaan itu. Sebenarnya aku sangat yakin dia akan memilih pekerjaan itu lalu ya sudahlah, berarti dia bukan jodohku. Karena aku yakin sebenarnya dia tidak ikhlas ingin tinggal disini. Aku telah memberikan dia tekanan yang begitu hebat, yang mungkin dirasakan oleh pria yang akan "nyentana" padahal dia tidak dalam status itu.
Berkali-kali dia membahas mengenai peluang pekerjaan itu, berkali-kali pula aku memberinya pilihan yang sama, meskipun sebenarnya aku sudah bosan, dan dalam hati sudah dongkol memikirkan betapa lambatnya sistem problem solvingnya, dia bahkan tidak tahu mana prioritas dalam hidupnya. Aku bahkan sudah menyarankannya untuk menerima pekerjaan itu, dengan resiko berpisah denganku. Sebenarnya aku merasa senang saat itu, "akhirnya aku punya alasan untuk mengakhiri hubungan buntu ini" hati kecilku berkata.
Tapi, dia berkata telah menolak tawaran itu. Astaga. Teriakku dalam hati. Apa itu artinya dia ingin mengatakan bahwa dia rela mengorbankan apa saja demi aku? Tapi, kenapa aku merasa tidak senang?
Alasannya mungkin terdengar rumit. Aku tidak paham dengan jalan pikiran orang yang tidak mempunyai mimpi. Dia sepertinya salah satunya. Mungkin dia mempunyai mimpi hanya saja mimpinya terlalu sulit untuk diwujudkan. Lalu dia beralih pada hal-hal lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan mimpi itu. Aneh. Dia tidak punya passion. Dia berpatokan padaku. Seandainya dia anakku, aku mungkin akan merangkulnya dan memeluknya erat, lalu memberikannya arahan menuju mimpinya. Tapi, ini berbeda. Dia seorang pria dewasa yang seharusnya bisa lebih memikirkan mana yang baik untuknya. Lalu kenapa, meskipun dia tidak ikhlas dia berkorban untukku. Dia tampak tak bahagia. Terlihat dari pembahasan mengenai hal yang sama (lagi) -tentang pekerjaan sekretaris desa- yang tampaknya belum move on padahal sudah dia tolak. Dia menyatakan penyesalannya, padaku. Aku turut menyesal. Aku sedih. Aku terpukul. Aku menangis dengan perasaan menderita. "Kenapa aku dihadapkan lagi dengan hal semacam ini dari orang yang sama?" Tanyaku dalam hati dengan perasaan yang hancur karena merasa telah membuat orang lain tidak bahagia. Aku telah membuat seseorang menjadi tidak bahagia karena memilihku. Itu benar-benar membebani. Seolah ada berton-ton beban yang menimpaku. Dia tidak akan paham rasanya. Karena selama ini yang dia lakukan hanyalah menuntut dariku, menuntut agar aku berfokus padanya, mencintainya, tidak lagi memikirkan mantanku yang sebelumnya (memangnya kapan aku memikirkan mantan? -seolah dia tahu segalanya tentangku, padahal dia sama sekali tidak tahu apa-apa). Kalau dia tahu, dia tidak akan curhat hal-hal yang bagiku tidak penting itu. Kalau dia tahu, dia tidak akan mengeluhkan masalah-masalah sepele di tokonya padaku. Kalau dia tahu, dia tidak akan meminta pertimbanganku untuk menerima pekerjaan penting itu atau tidak. Kalau dia tahu, dia seharusnya rela melepasku. Dia seharusnya tahu aku sudah meneriakkan alarm darurat untuk segera dinikahi.

Dia seharusnya menyadari bahwa aku tidak bahagia.

Setelah masalah pekerjaan sekretaris desa itu usai meskipun masih sering dibahas olehnya sehingga membuatku muak, dia sertakan pula masalah keuangan dalam pembahasan. Dia sudah berusaha mencari pinjaman tapi belum berhasil. Oke aku bisa bersabar. Karena hal ini sudah dibahas berkali-kali aku sudah hapal. Entah kenapa semua itu harus dibahas berkali-kali. Aku nggak bodoh. Diberitahu sekali saja rasanya sudah cukup bagiku, aku paham, fix, selesai masalah. Sudahlah nggak udah dibahas lagi, cukup.
Tapi apa?
Aku merasa diriku dianggap terlalu bodoh untuk bisa memahami kondisi keluarganya. Kadang aku berpikir, sebenarnya jawaban apa sih yang dia harapkan? Karena sepertinya aku tidak pernah menjawab dengan benar. Apa seharusnya pada saat itu aku mestinya mengatakan, "Bagaimana pun kondisi keluargamu, aku bisa paham, aku menerima kamu apa adanya, aku mencintai kamu, aku rela melakukan apapun demi kamu" begitu? Lalu dia akan kembali lagi membahas masalah dari awal? Ya Tuhan, ampuni aku. Aku tidak akan mengatakan hal segamblang itu. Apa tidak cukup jelas dari "penerimaan-penerimaan" yang sudah kulakukan selama ini? Menikah di griya, oke. Tidak ada pesta, oke. Upacara sederhana, oke. Keluargaku tidak punya, oke. Kami tidak punya tanah, oke. Sawah yang kami garap adalah sewaan bukan milik kami, oke. Semuanya, oke. Apalagi? Itu tidak cukup? Memangnya apa yang pernah aku tuntut?

Untuk kesekian kalinya, aku merasa diperlakukan seperti orang idiot olehnya.

Pernah suatu kali aku mengatakan aku tidak bahagia. Dia bertanya, "Apa sih yang menyebabkan kamu tidak bahagia?" Lalu, hal yang menurutku riskan itu berujung pada, "Kenapa sih masih mengingat-ingat tentang mantan?"

"Hah?"

Oke, aku menyerah. Aku tidak paham. Cukup. Tidak usah dibahas. Lalu dia mulai mengoceh lagi. Demi Tuhan, aku ingin hubungan yang damai. Yang tanpa prasangka, tanpa curiga, yang tanpa pertengkaran, yang bisa sejalan, yang seiya sekata, tapi mungkin memang bukan jalannya aku menemukan hubungan semacam itu. Aku merasa buntu.
Suatu hari, di tengah kebuntuan itu, aku mulai mendapatkan pikiran-pikiran aneh. Tidakkah hubungan ini menjadi penghambat bagiku untuk bertemu jodohku? Atau lupakanlah mengenai jodohku (karena kupikir aku tidak akan pernah jatuh cinta dalam hidupku), bagaimana dengan dia? Mungkin saja di luar sana jodohnya telah menunggunya. Tidakkah keberadaanku menghambat jalan jodohnya? Abaikan tentang jodohku yang entah berada dimana, dengan siapa, dan apa yang sedang dia lakukan. Bagaimana dengan dia? Aku tidak bahagia dengannya. Bukan berarti dia tidak boleh bahagia. Aku ingin dia bahagia. Aku ingin dia mendapatkan apa yang dia inginkan, yang tidak mungkin dia dapat dariku. Aku ingin dia menikmati hidupnya. Aku ingin dia bahagia dengan orang yang bisa mencintainya dengan tulus. Aku ingin dia merasakan kebahagiaan dalam sisa hidupnya. Aku tidak ingin dia membuang-buang waktu denganku, menjalani hal yang jauh dari nuraninya. Aku ingin dia melakukan hal-hal yang dia suka.
Abaikan tentangku, tentang mimpiku untuk menikah sebelum usia 29, tentang mimpiku untuk memiliki anak di usia 30, tentang mimpiku memiliki keluarga kecil yang bahagia, tentang hidup yang penuh dengan senyum dan tawa tanpa beban, tentang hal-hal yang ingin kulakukan setelah menikah. Lupakan semua itu. Saat itu aku benar-benar merasa tidak membutuhkannya lagi. Aku ingin sendirian. Aku ingin melepas semuanya. Semua rasa jenuh, beban, bosan, muak, tersakiti, kegelisahan, kebuntuan. "Ikhlaskan semuanya", bisikku dalam hati sambil menangis. Mungkin belum saatnya. Kucoba menguatkan diri.
Abaikan semua gunjingan orang, abaikan usia yang semakin tua, abaikan harapan orang tua, abaikan harapan adikku yang sudah siap menikah, abaikan semuanya. Ikhlaskan. "Kamu berhak meraih kebahagiaan". Setelah sekian lama, aku mengucapkan kalimat itu lagi. Kalimat yang sebenarnya sangat egois. Sambil berlinangan air mata, aku menguatkan diri. Kutahan rasa sakit, rasa kecewa, rasa penyesalan, semuanya. Aku bukan siapa-siapa yang berhak membuat orang lain menjadi tidak bahagia. Aku bukan siapa-siapa yang berhak membuat orang lain mengorbankan banyak hal untukku. Aku bukan siapa-siapa yang membuat orang mencintaiku dengan membabi buta. Aku tidak pantas. Semua hal itu terlalu berharga bila untuk orang sepertiku. Aku tidak seberharga itu untuk diberi banyak pengorbanan.
Mimpiku adalah meraih kebahagiaan.
Aku tidak bisa mewujudkannya bila terus bersama dia. Dan aku mulai tidak yakin bahwa dia akan bahagia bersamaku.
Paling tidak aku paham bagaimana rasanya ketidakbahagiaan dalam sebuah hubungan. Ada contoh nyata dalam hidupku. Dan mereka masih hidup. Lihat bagaimana mereka hidup. Mereka hidup dalam satu atap tapi sama-sama tidak bahagia. Orang tuaku.
Aku hanya merasa bila hubunganku dengannya dilanjutkan, bahkan bila aku harus memaksakan diri menikah dengannya, aku yakin keadaanku dan dia akan sama seperti keadaan kedua orang tuaku. Tidak ada keseimbangan. Tidak saling mendukung. Saling mencurigai. Tidak bisa saling memahami. Tidak pernah seiya sekata. Seperti ada tembok transparan tebal yang memisahkan mereka.
Aku tidak menginginkan hal seperti itu terjadi.
Pada saat itulah, keputusanku bulat untuk berpisah dari dia. Dia berhak meraih kebahagiaan. Aku juga berhak meraih kebahagiaanku sendiri.
Itulah yang menjadi tolok ukur keputusan itu.
Itulah bagaimana aku dengan begitu cepat dan tepat mengakhiri sebuah hubungan, dengan melalui pemikiran panjang, melihat dari berbagai sudut pandang. Lihat sisi positifnya.
Pada saat itu aku juga telah memikirkan bahwa selama beberapa waktu aku harus tahan dengan rengekan, curhatan di sosial media yang membicarakan tentang keburukanku, keluhan, tangisan, banyak hal buruk yang akan menimpaku, tapi, semua itu akan berakhir suatu saat nanti. Karena aku memiliki keyakinan bahwa setiap orang menghadapi kegagalan untuk suatu saat siap menghadapi kesuksesan.

Suatu saat nanti, entah kapan. Aku berharap dia bahagia bersama orang lain yang mencintainya dengan setulus hati.

Aku telah memaafkan semua pengorbanan sia-sia yang telah aku dan kamu lakukan selama ini. Aku telah memaafkanmu untuk waktu yang telah terbuang, bukan tanpa arti, karena ini memberikan pelajaran bagiku, entah bagimu.
Aku memaafkanmu atas sakit, kecewa, lelah, semua perasaan negatif yang telah kamu ciptakan untukku, meskipun itu tidak kamu sadari. Semoga maafku akan membukakan jalan jodohmu.
Terima kasih karena kamu pernah hadir dalam hidupku. Terima kasih kamu pernah memberikan harapan-harapan besar dalam hidupku. Terima kasih kamu telah berkorban begitu banyak untukku. Terima kasih atas pengalaman yang berharga ini. Ini menjadi pelajaran bagiku.
Maafkanlah aku telah mengecewakanmu. Maafkanlah aku agar pintu jodoh terbuka untukku.

🙏

Tidak ada komentar:

Posting Komentar